Seorang mukmin hidup di dunia ibaratnya
seperti orang asing atau musafir. Suatu permisalan yang penuh makna dan
pesan yang agung. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang selayaknya dijadikan pelajaran dan diterapkan oleh seorang mukmin dalam kehidupannya di dunia.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
بِمَنْكِبَيَّ فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ
عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ:
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ
تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ، وَمِنْ
حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, "Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian)." Lalu Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu menyatakan, "Apabila
engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari.
Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga
sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan
pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Bukhariy no.6416)
Para 'ulama menjelaskan
hadits ini dengan mengatakan, "Janganlah engkau
condong kepada dunia; janganlah engkau menjadikannya sebagai tempat
tinggal (untuk selama-lamanya -pent); janganlah terbetik dalam hatimu
untuk tinggal lama padanya; dan janganlah engkau terikat dengannya
kecuali sebagaimana terikatnya orang asing di negeri keterasingannya
(yakni orang asing tidak akan terikat di tempat tersebut kecuali sedikit
sekali dari sesuatu yang dia butuhkan �pent.); dan janganlah engkau
tersibukkan padanya dengan sesuatu yang orang asing yang ingin pulang ke
keluarganya tidak tersibukkan dengannya; dan Allah-lah yang memberi
taufiq."
Permisalan Seorang Mukmin di Dunia
Inilah permisalan yang disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan inilah kenyataannya. Karena sesungguhnya seseorang di dunia
ibaratnya seorang musafir. Maka dunia bukanlah tempat tinggal yang tetap
(selama-lamanya). Bahkan dunia itu sekedar tempat lewat yang cepat
berlalunya. Orang yang melewatinya tidak pernah merasa letih baik malam
maupun siang hari.
Adapun seorang
musafir biasa, kadang-kadang dia singgah di suatu tempat
lalu dia bisa beristirahat. Akan tetapi musafir dunia (yakni permisalan
orang mukmin di dunia �pent.) tidak pernah singgah, dia terus-menerus
dalam keadaan safar (perjalanan). Berarti setiap saat dia telah menempuh
suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat.
Maka bagaimana sangkaanmu terhadap suatu perjalanan yang pelakunya
senantiasa berjalan dan terus bergerak, bukankah dia akan sampai ke
tempat tujuan dengan cepat? Tentu, dia akan cepat sampai. Karena inilah
Allah Ta'ala menyatakan,
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
"Pada
hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan
tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau
pagi hari." (An-Naazi'aat:46)
Makna Hadits Ini
Berkata Ath-Thibiy, "Kata 'atau' (dalam hadits ini) tidaklah
menunjukkan keraguan bahkan menunjukkan pilihan dan kebolehan dan yang
paling baiknya adalah bermakna 'bahkan'." Yakni maknanya: "Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau bahkan seperti musafir."
Orang mukmin ketika hidup di dunia, kedudukannya seperti orang asing.
Maka hatinya pun tidak akan terikat dengan sesuatu di negeri
keterasingannya tersebut. Bahkan hatinya terikat dengan tempat tinggal
(negerinya) yang dia akan kembali kepadanya. Dan dia menjadikan
tinggalnya di dunia hanya sekedar untuk menunaikan kebutuhannya dan
mempersiapkan diri untuk kembali ke negerinya. Inilah keadaan orang yang
asing.
Atau bahkan seorang mukmin itu seperti musafir yang tidak pernah menetap
di suatu tempat tertentu. Bahkan dia terus-menerus berjalan menuju
tempat tinggalnya.
Maka seorang mukmin hidup di dunia ini ibaratnya seperti seorang hamba
yang ditugaskan oleh tuannya untuk suatu keperluan ke suatu negeri.
Hamba tersebut tentunya ingin bersegera melaksanakan apa yang ditugaskan
oleh tuannya lalu kembali ke negerinya. Dan dia tidak akan terikat
dengan sesuatu kecuali apa yang ditugaskan oleh tuannya.
Keadaan Orang Asing dan Musafir
Berkata Al-Imam Abul Hasan 'Ali bin Khalaf di dalam Syarh Al-Bukhariy,
"Berkata Abu Zinad, "Makna hadits ini adalah anjuran untuk sedikit
bergaul dan berkumpul serta zuhud terhadap dunia."
Kemudian Abul Hasan berkata, "Penjelasannya adalah bahwa orang asing
biasanya sedikit berkumpul dengan manusia sehingga terasing dari mereka.
Karena hampir-hampir dia tidak pernah melewati orang yang dikenalnya
dan diakrabinya serta orang-orang yang biasanya berkumpul dengannya.
Sehingga dia pun merasa rendah diri dan takut.
Demikian pula dengan seorang musafir. Dia tidak melakukan perjalanan
melainkan sekedar kekuatannya. Dan dia pun hanya membawa beban yang
ringan agar tidak terbebani untuk menempuh perjalanannya. Dia tidak
membawa apa-apa kecuali hanya sekedar bekal dan kendaraan sebatas yang
dapat menyampaikannya kepada tujuan.
Hal ini menunjukkan bahwa sikap zuhud terhadap dunia dimaksudkan agar
dapat sampai kepada tujuan dan mencegah kegagalan. Seperti halnya
seorang musafir. Dia tidak membutuhkan membawa bekal yang banyak kecuali
sekedar apa yang bisa menyampaikannya ke tempat tujuan.
Demikian pula halnya dengan seorang mukmin dalam kehidupan di dunia ini.
Dia tidak membutuhkan banyak bekal kecuali hanya sekedar bekal untuk
mencapai tujuan hidupnya yakni negeri akhirat."
Dia tidak mengambil bagian dari dunia ini kecuali apa-apa yang bisa
membantunya untuk taat kepada Allah dan ingat negeri akhirat. Hal inilah
yang akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat.
Berkata Al-'Izz 'Ila`uddin bin Yahya bin Hubairah, "Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
menganjurkan agar kita menyerupai orang asing. Karena orang asing itu
apabila memasuki suatu negeri, dia tidak mau bersaing dengan penduduk
pribumi. Dan tidak pula berbuat sesuatu yang mengejutkan sehingga
orang-orang melihat dia melakukan sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan
mereka. Misalnya dalam berpakaian. Sehingga dia pun tidak bermusuhan
dengan mereka. Tentunya selama dalam batasan syar'i.
Demikian pula halnya dengan seorang
musafir. Dia tidak mendirikan rumah
dalam perjalanannya. Dan dia menghindari perselisihan dengan manusia
karena dia ingat bahwa dia tinggal bersama mereka hanyalah untuk
sementara waktu saja.
Maka setiap keadaan orang asing ataupun seorang musafir adalah baik bagi
seorang mukmin untuk diterapkan dalam kehidupannya di dunia. Karena
dunia bukanlah negerinya, juga karena dunia telah membatasi antara
dirinya dengan negerinya yang sebenarnya (yakni negeri akhirat)."
Demikianlah sikap yang harus dimiliki oleh seorang mukmin. Dia tidaklah
berlomba-lomba dan bersaing dalam masalah dunia sebagaimana orang asing.
Dan juga tidak berniat tinggal seterusnya di dunia sebagaimana seorang
musafir.
Jangan Menunda-nunda Amal!
Adapun perkataan Ibnu 'Umar, "Apabila engkau berada di sore hari,
maka janganlah menunggu hingga pagi hari, dan apabila engkau berada di
pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari" adalah anjuran
beliau agar seorang mukmin senantiasa mempersiapkan diri terhadap
datangnya kematian. Sedangkan mempersiapkan datangnya kematian adalah
dengan amal shalih. Dan beliau juga menganjurkan agar memendekkan
angan-angan.
Maksudnya adalah janganlah menunggu amal-amal yang bisa dikerjakan di
malam hari untuk pagi hari. Bahkan bersegeralah beramal. Begitu pula
tatkala pagi hari. Janganlah terbetik di dalam hatimu bahwa engkau akan
bertemu dengan sore hari sehingga engkau pun akhirkan amal-amal pagimu
untuk malam hari.
Ketika engkau berada di waktu sore janganlah mengatakan, "Nanti, masih ada waktu pagi".
Betapa banyaknya seseorang yang berada di sore hari tidak menjumpai
waktu pagi. Demikian juga ketika engkau berada di waktu pagi janganlah
mengatakan, "Nanti, masih ada waktu sore." Karena betapa banyaknya seseorang yang berada di waktu pagi tetapi tidak menjumpai sore hari dikarenakan ajal menjemputnya.
Kalaupun engkau bisa menjumpai waktu pagi atau sore, belum tentu engkau
bisa melakukan pekerjaan yang engkau tunda dikarenakan kesibukan
menghampirimu atau sakit menimpamu. Hal ini telah diingatkan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya,
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
"Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia tertipu pada keduanya (yaitu): nikmat sehat dan waktu luang." (HR. Al-Bukhariy dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma)
Ketika datang waktu sakit dia baru merasakan betapa nikmatnya sehat. "Kenapa ketika sehat saya tidak menggunakannya untuk beramal shalih?" Ketika datang waktu sibuknya dia baru sadar betapa nikmatnya waktu luang. "Kenapa ketika punya waktu luang saya tidak menggunakannya untuk melakukan kebaikan?" Penyesalan selalu datang kemudian.
Kemudian beliau radhiyallahu 'anhu juga menyatakan, "Dan pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu"
yakni bersegeralah beramal shalih ketika sehat sebelum datangnya masa
sakit. Karena seseorang ketika dalam keadaan sehat maka mudah baginya
untuk beramal shalih, dikarenakan dia dalam keadaan sehat, dadanya
lapang, dan jiwanya dalam keadaan senang. Sedangkan orang yang sakit
dadanya sempit dan jiwanya dalam keadaan tidak gembira sehingga tidak
mudah baginya untuk beramal.
Hal ini pun sebagai anjuran dari beliau untuk menjaga dan mempergunakan
waktu sehat dengan sebaik-baiknya serta beramal dengan sungguh-sungguh
padanya. Dikarenakan khawatir dia akan mendapatkan sesuatu yang akan
menghalanginya untuk beramal.
Pergunakan Umurmu dengan Sebaik-baiknya!
"Dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum datang kematianmu" yakni
bersegeralah pergunakan waktu hidupmu selama engkau masih hidup (untuk
beramal shalih) sebelum engkau mati. Sebagai peringatan untuk menjaga
dan mempergunakan masa hidup dengan sebaik-baiknya. Karena sesungguhnya
seseorang apabila mati maka terputuslah amalnya. Telah shahih hal ini
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau bersabda, "Apabila
seseorang meninggal dunia maka terputuslah darinya amalnya kecuali tiga
perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih
yang mendo'akannya." (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Demikian juga akan hilanglah angan-angannya dan muncullah penyesalannya yang besar karena keteledorannya dalam menjaga umurnya.
Dan ketahuilah bahwa kelak akan datang kepadanya suatu waktu yang
panjang. Yakni tatkala dia berada di bawah tanah di mana dia tidak mampu
lagi untuk beramal dan tidak memungkinkan pula baginya untuk berdzikir
kepada Allah 'Azza wa Jalla. Maka hendaknya bersegera beramal selagi
masih hidup.
Sungguh alangkah luas dan tingginya pengertian hadits ini yang mengandung berbagai macam kebaikan.
Jangan Panjang Angan-angan!
Sebagian 'ulama menyatakan, "Allah Ta'ala mencela panjang angan-angan di dalam firman-Nya,
ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ
"Biarkanlah
mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh
angan-angan (kosong). Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat
perbuatan mereka)." (Al-Hijr:3)"
'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata,
اِرْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً
وَارْتَحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا
بَنُوْنَ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا مِنْ
أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابٌ، وَغَدًا
حِسَابٌ وَلاَ عَمَلٌ
"Dunia berjalan meninggalkan manusia
sedangkan akhirat berjalan menjemput manusia, dan masing-masing memiliki
generasi. Maka jadilah kalian generasi akhirat dan janganlah kalian
menjadi generasi dunia. Karena hari ini (di dunia) yang ada hanyalah
amal dan belum dihisab sedangkan besok (di akhirat) yang ada adalah
hisab dan tidak ada lagi amal."
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membuat garis-garis lalu bersabda, "Ini
adalah manusia, ini angan-angannya dan ini adalah ajalnya. Maka tatkala
manusia berjalan menuju angan-angannya tiba-tiba sampailah dia ke garis
yang lebih dekat dengannya (daripada angan-angannya �pent)." Yakni ajalnya yang melingkupinya. (HR. Al-Bukhariy no.6418)
Inilah peringatan dari beliau shallallahu 'alaihi wa sallam agar
memendekkan angan-angan dan merasakan dekatnya ajal dan takut kalau ajal
datang kepadanya dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang tidak mengetahui
ajalnya (dan semua orang tentunya tidak tahu kapan ajalnya datang
�pent.) maka dia layak untuk berjaga-jaga akan kedatangannya dan
menunggunya karena khawatir jika ajal mendatanginya disaat dia terpedaya
dan lengah.
Maka seorang mukmin hendaklah dia senantiasa menjaga dirinya dengan
mempergunakan umurnya sebaik-baiknya dan menentang angan-angan maupun
hawa nafsunya karena manusia sering terpedaya oleh angan-angannya.
'Abdullah bin 'Umar berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati kami yang sedang memperbaiki gubuk kami. Lalu beliau bertanya, "Apa ini?" Kami menjawab, "Gubuk ini telah rusak/reyot, kami sedang memperbaikinya." Maka beliau pun bersabda, "Tidaklah aku melihat urusan ini (dunia) melainkan lebih cepat dari gubuk ini." (HR. At-Tirmidziy no.2335)
Kita memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar mengasihi kita dan
menjadikan kita termasuk orang-orang yang
zuhud terhadap dunia, aamiin.
Wallaahu A'lam.
Maraaji': Syarh Riyaadhish Shaalihiin 2/193-194, Maktabah Ash-Shafaa, Al-Qawaa'id wa Fawaa`id minal Arba'iin An-Nawawiyyah hal.351, Syarh Al-Arba'iin Hadiitsan An-Nawawiyyah hal.104-107, At-Ta'liiqaat 'alal Arba'iin An-Nawawiyyah hal.107-108.
Sumber: fdawj.atspace.org