Perlu diketahui bahwa pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (id) adalah kembalinya kepada penentuan dari syari’at, bukan kepada adat kebiasaan dan kesepakatan manusia. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira padanya, maka beliau bertanya,
“Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab, “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“ Haditsnya akan datang Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya. Demikian keterangan dari Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin –rahimahullah dalam Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il pertanyaan no. 8131
Karenanya perayaan tahun baru ini tidak pernah ada pada zaman Nabi -alaihishshalatu wassalam-, para sahabatnya bahkan sampai empat abad setelahnya. Perayaan ini termasuk perayaan yang dimunculkan oleh khilafah Al-Fathimiyyun pada abad ke-4 hijriah atau tepatnya tahun 362 H.
Taqiyyuddin Al-Maqrizi -rahimahullah- berkata dalam Al-Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khuthoth wal Atsar (1/490) di bawah judul ‘Penyebutan Hari-Hari yang Dijadikan Sebagai Hari Raya oleh Khilafah Al-Fathimiyyun…’, “Khilafah Al-Fathimiyyun sepanjang tahun memiliki beberapa hari raya dan hari peringatan, yaitu: Perayaan akhir tahun, perayaan awal tahun (tahun baru), hari Asyura`, perayaan maulid (hari lahir) Nabi -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-, maulid Ali, maulid Al-Hasan, maulid Al-Husain, maulid Fathimah , perayaan maulid (ulang tahun) khalifah saat itu, perayaan malam pertama dan pertengahan bulan Rajab, malam pertama serta pertengahan dari bulan Sya’ban, …”.
Untuk lebih memperjelas masalah, berikut kami sebutkan beberapa pemikiran bathiniyah beserta nukilkan beberapa komentar ulama tentang kebejatan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin: 1. Mereka meyakini bahwa Ali bin Abi Tholib adalah sembahan selain Allah Ta’ala.
2. Mereka melakukan tahrif ma’nawy (penyelewengan makna) terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala (memalingkan makna ayat dari makna sebenarnya yang zhahir kepada makna yang tidak masuk akal, yang mereka anggap sebagai batin ayat tersebut). Ini merupakan sejelek-jelek tahrif. Contohnya mereka menafsirkan ayat:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab : 1)
Mereka menafsirkan ‘dua tangan’ yaitu Abu Bakar dan Umar -radhiallahu anhuma-.
3. Mereka berkeyakinan bahwa semua syari’at dan aturan dalam Islam memiliki zhahir dan batin. Yang zhahir -menurut mereka- adalah kaifiyat/cara yang diamalkan oleh kaum muslimin pada umumnya. Sedangkan yang batin adalah suatu cara yang hanya diketahui oleh kalangan mereka sendiri dan hanya boleh diamalkan oleh orang-orang khusus yaitu mereka. Contohnya shalat lima waktu, zhahirnya adalah dengan mengerjakan shalat, sedangkan batinnya -dan hanya ini yang mereka amalkan- adalah mengetahui rahasia-rahasia mazhab mereka. Jadi, siapa yang telah mengetahui rahasia-rahasia tersebut, maka dia sudah dianggap melaksanakan shalat walaupun tidak melakukan gerakan-gerakan shalat. Puasa batinnya adalah menyembunyikankan rahasia-rahasia kelompok mereka. Batinnya ibadah haji -menurut mereka- adalah menziarahi kuburan guru-guru mereka, dan seterusnya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, maka apakah masih ada ajaran agama yang tersisa dengan keyakinan mereka ini ?!.
4. Ibnu Katsir -rahimahullah- menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah (11/286-287) bahwa pada tahun 402 H, sejumlah ulama, para hakim, orang-orang terpandang, orang-orang yang adil, orang-orang Saleh, dan para ahli fiqh, mereka semua telah menulis sebuah tulisan yang berisi pencacatan dan celaan pada nasab keturunan Al-Fathimiyyun Al-Ubaidiyyun. Mereka menyebutkan dalam tulisan tersebut beberapa pemikiran sesat mereka, di antaranya: Mereka telah menelantarkan aturan-aturan, menghalalkan kemaluan (zina), menghalalkan khomer, menumpahkan darah, mencerca para nabi, melaknat Salaf (para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan pengikutnya) serta mereka mengaku bahwa guru-guru mereka memiliki sifat-sifat ketuhanan.
5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- pernah ditanya tentang mereka. Beliau menjawab bahwa mereka adalah termasuk manusia yang paling fasik dan yang paling kafir, dan bahwa siapa saja yang mempersaksikan keimanan dan ketakwaan bagi mereka serta (mempersaksikan) benarnya nasab keturunan mereka (kepada Ali bin Abi Tholib) maka sungguh dia telah mempersaksikan untuk mereka dengan perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya”. (QS. Al-Isra` : 36)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“… Kecuali orang-orang yang bersaksi dalam keadaan mereka mengetahui (apa yang mereka persaksikan)”. (QS. Az-Zukhruf : 86). Lihat Majmu’ Al-Fatawa (22/120)
Adapun hukum merayakannya maka:
Al-Imam Abdul Aziz Ibnu Baz -rahimahullah- telah berkata dalam At-Tahdzir min Al-Bida’ hal. 47-48 tatkala beliau ditanya tentang sebagian perayaan, seperti maulid Nabi, Isra` Mi’raj, dan Tahun Baru Hijriah.
Maka setelah beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam ini dan Dia telah melarang dari berbuat bid’ah di dalamnya, beliau berkata, “Perayaan-perayaan ini -yang disebutkan dalam pertanyaan- tidak pernah dikerjakan oleh Rasul -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-. Padahal beliau adalah manusia yang paling fasih, paling tahu tentang syari’at Allah, paling bersemangat dalam memberikan hidayah kepada ummat dan memberikan tuntunan kepada mereka menuju perkara yang mendatangkan manfaat bagi mereka dan yang diridhai oleh Maula (Penolong) mereka (yakni Allah ). Hal ini juga tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat beliau , padahal mereka adalah manusia yang terbaik, paling berilmu setelah para nabi, dan yang paling bersemangat dalam (mengerjakan) kebaikan. Hal itu juga tidak pernah dilakukan olah para imam yang berada di atas hidayah di zaman-zaman keutamaan. Bid’ah ini tidaklah diada-adakan kecuali oleh sebagian orang-orang belakangan berlandaskan ijtihad dan sangkaan baik, tanpa dalil. Kebanyakan mereka berlandaskan taqlid kepada orang-orang yang telah mendahului mereka dalam perayaan ini. Yang wajib atas seluruh kaum muslimin adalah hendaknya mereka berjalan di atas jalan yang dipijak oleh Rasul -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan para sahabat beliau serta harus waspada terhadap perkara-perkara yang diada-adakan oleh manusia dalam agama Allah sepeninggal mereka, inilah jalan yang lurus dan manhaj yang kokoh”.
Dan Asy-Syaikh Muqbil -rahimahullah- juga berkata dalam Ijabah As-Sail pada pertanyaan no. 167 ketika beliau ditanya tentang perayaan maulid, Isra` Mi’raj, dan tahun baru, maka beliau menjawab:
“(Semuanya adalah) bid’ah sedangkan Rasul -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak”.
Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir bahwa perayaan ini adalah bid’ah, tidak tsabit (shahih) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-, tidak pula dari para sahabat dan para tabi’in.
Kemudian beliau berkata, Rasul -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- telah bersabda:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ, وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (idul Adh-ha) dan hari Fithr (idul Fithri)”.
Hari raya selainnya merupakan hari-hari raya jahiliyah yang kami berlepas diri darinya. Maka kaum muslimin, wajib atas mereka untuk mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-. Inipun kalau perayaan maulid itu selamat dari ikhtilath (percamburbauran antara lelaki dan perempuan), pelaksanaan perbuatan fahisy (keji), dan selamat dari bentuk-bentuk kesyirikan, dan selainnya. Semua ini adalah kebatilan-kebatilan yang tidak akan hilang kecuali dengan menyebarkan sunnah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-”.
Juga Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh berkata tatkala beliau menyebutkan beberapa bid’ah dan larangan yang berkenaan dengan tauhid:
“Mengadakan perayaan-perayaan yang beraneka ragam dengan maksud taqarrub kepada Allah dengannya.
Seperti perayaan maulid nabawi, perayaan hijrah (Nabi), perayaan tahun baru hijriah, perayaan Isra` dan Mi’raj, dan yang semisalnya.
Perayaan-perayaan ini adalah bid’ah, karena dia adalah ajang berkumpulnya (manusia) pada amalan-amalan yang dimaksudkan sebagai taqarrub kepada Allah. Sedangkan tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, dan Allah tidaklah boleh disembah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan. Maka semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah terlarang untuk mengerjakannya”. Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho` Asy-Sya`i’ah hal. 17
Adapun hukum menghadiri perayaan tahun baru (masehi dan hijriah) maka:
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi -rahimahullah- ditanya sebagai berikut:
Apakah boleh menghadiri perayaan-perayaan mereka (orang-orang kafir), misalnya hari-hari ulang tahun dan selainnya?
Jawab: “Tidak boleh! Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kedustaan”. (QS. Al-Furqan : 72)
Bahkan walaupun kaum muslimin sendiri, jika mereka mengadakan maulid atau merayakan malam 27 Rajab atau malam nishfusy sya’ban (pertengahan Sya’ban) atau hari raya Hijrah (Tahun Baru) atau hari kemerdekaan atau hari ibu atau hari pepohonan dan selainnya dari hari-hari raya jahiliyah, maka semua ini tidak boleh dihadiri”.
(Tuhfatul Mujib karya Syaikh Muqbil -rahimahullah- no. pertanyaan 42)
Adapun mengucapkan selamat tahun baru dan menjawabnya, maka berikut fatwa Asy-Syaikh Saleh bin Al-Utsaimin -rahimahullah-:
“Jika ada seseorang yang mengucapkan selamat (tahun baru) kepadamu maka jawablah, akan tetapi jangan kamu yang memulai memberikan ucapan selamat kepada orang lain. Inilah pandangan yang tepat dalam permasalahan ini. Jadi jika ada seseorang yang berkata kepadamu -misalnya-, ”Kami mengucapkan selamat tahun baru kepadamu,” maka kamu bisa menjawab, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepadamu dan semoga Allah menjadikan tahun ini sebagai tahun yang mendatangkan kebaikan dan keberkahan kepadamu.” Hanya saja jangan kamu yang mulai memberikan ucapan selamat kepada orang-orang, karena saya tidak mengetahui adanya keterangan dari para ulama salaf bahwa mereka mengucapkan selamat tahun baru, bahkan ketahuilah bahwa mereka (para ulama salaf) tidak pernah menganggap kalau 1 muharram itu adalah awal tahun baru sampai pada zaman Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.”
[Diterjemahkan ulang dari program Mausuah Al-Liqa` Asy-Syahri wa Al-Bab Al-Maftuh keluaran pertama via http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/19/hukum-mengucapkan-selamat-tahun-baru-islam/ ]
Kami katakan: Sekedar mengingatkan bahwa lahiriah fatwa Asy-Syaikh di atas hanya menunjukkan pembolehan menjawab kalau itu merupakan ucapan selamat tahun baru hijriah. Adapun jika itu adalah ucapan selamat tahun baru masehi maka -wallahu a’lam- sebaiknya seorang muslim tidak menjawabnya karena tahun baru masehi murni berasal dari orang kafir, wallahu a’lam bishshawab.
Penulis: Abu Muawiah / www.al-atsariyyah.com