Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah”.
Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)
Macam-macam Khilaf
Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.
1. Ikhtilaf tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
2. Ikhtilaf tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
3. Ikhtilaf afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)
Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama
Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.
Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:
1. Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ
“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء" artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.
(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)
Sikap Kita terhadap Perselisihan yang Ada
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah. Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:
1. Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.
2. Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka. (Lihat Kitabul 'Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu)
Bolehkah Mengingkari Pihak Lain dalam Permasalahan yang Sifatnya Khilafiyah?
Ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, masalah-masalah khilafiyah dan masalah-masalah ijtihadiyah.
Masalah khilafiyah lebih umum sifatnya daripada masalah ijtihadiyah. Karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur`an, hadits, atau ijma’. Permasalahan khilafiyah yang seperti ini harus diingkari.
Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah yang memang tidak ada nash atau dalil dalam permasalahan tersebut. Dalam masalah ijtihadiyah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala dia mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, maka yang menyelisihinya tidak boleh mencela.
Sebagai misal dalam masalah khilafiyah -untuk membedakan antara keduanya- adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini salah karena bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Al-Irwa` no. 1839)
Ini dinamakan masalah khilafiyah.
Adapun contoh masalah ijtihadiyah seperti bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari ruku’, di mana tidak ada nash yang sharih (jelas) yang menunjukkan posisi tangan setelah ruku’. Wallahu a’lam.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan: “Ucapan mereka (sebagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiyah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Karena pengingkaran adakalanya tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, atau amalan. Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah menyebar maka wajib untuk diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkaran tidak secara langsung, namun menjelaskan lemahnya pendapat ini dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran. Adapun masalah amalan jika ia menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran. Bagaimana seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas batalnya keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah, meskipun keputusan tadi telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?! Adapun bila dalam suatu permasalahan tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijma’ dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam hal ini, (maka benar) tidak boleh diingkari orang yang mengamalkannya, baik dia seorang mujtahid atau yang mengikutinya….” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)
Permasalahan ijtihadiyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapapun besarnya permasalahan. Karena jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai, tidak punya kekuatan dan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang empuk bagi para musuh Islam. Sebagian orang tidak memerhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama dijadikan dasar untuk memberikan loyalitas karenanya atau memusuhi yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini akan memicu berbagai kerusakan dan kebencian yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya. Hendaklah semboyan kita dalam permasalahan seperti ini adalah berlapang dada, yang mana salafus shalih berlapang dada padanya. Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah. (Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf dan Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah)
Dianjurkan untuk Keluar dari Lingkup Perselisihan
Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogianya dijadikan pegangan yaitu:
يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ
“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”
Puncak yang dicapai dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, maka perkara sunnah ditinggalkan.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan rencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya, di mana banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam dikhawatirkan akan punya anggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan nantinya mereka bisa murtad dari agama karenanya.
Demikian pula sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhumengingkari Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di saat ia shalat dengan tetap seperti ketika bermukim (tidak qashar) dalam bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan tidak meng-qashar dan mengikuti khalifah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu sejak dahulu ulama telah sepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh perempuan.
Kemudian yang perlu diperhatikan, dalam perkara yang diperselisihkan keharamannya maka jalan keluarnya adalah dengan meninggalkannya. Sedangkan perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya maka jalan keluarnya adalah dengan dikerjakan.
Namun tingkatan untuk dianjurkan keluar dari area khilaf berbeda-beda sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi. Jika dalil yang menyelisihi lemah maka tidak dianggap, terlebih jika menjaga kaidah ini (karena dalil yang lemah) bisa menyampaikan kepada meninggalkan sunnah yang telah kuat.
Sebagai misal, bila ada yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam shalat menjadikan batal shalatnya. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam permasalahan ini.
Kemudian juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai karena menjaga kaidah ini kita menyelisihi ijma’. Jadi untuk bisa dijalankan kaidah tadi adalah dengan melihat kuatnya dalil orang yang khilafnya teranggap. Adapun bila khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil maka tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya di bawah orang yang diselisihinya. (Diringkas dari Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah karya Ali Ahmad An-Nadawi dari hal. 336-342)
Adab yang harus Diperhatikan untuk Mengobati Perselisihan yang Terjadi di Antara Ahlus Sunnah
Pertama: Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif. Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kedua: Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
Ketiga: Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.
Hal ini bisa terwujudkan dengan:
1. Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
2. Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
3. Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
4. Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
5. Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
6. Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
7. Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil)
Contoh Penerapan Adabul Khilaf di Masa Salaf
Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiyallahu ‘anhu salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.
Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat Zaid radhiyallahu ‘anhu mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya. Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid radhiyallahu ‘anhu menciumnya, seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”
Ketika Zaid radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)
Penutup
Telah terang atas kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya. Hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=724