Kami akan sampaikan apa yang telah ditulis oleh Syaikh Dr. Ibroohim bin Muhammad bin ‘Abdillah Al Buraikan dalam kitab beliau: Ta’rif Al Khalaq Bi Manhaj As Salaf, dimana dalam kitab tersebut kita temukan sangat banyak identitas dan karakter para Ahlul Bid’ah, tidak kurang dari 19 macam.
Tanda-Tanda Ahlul Bid’ah tersebut adalah:
1. Ahlul Bid’ah sangat memusuhi, menghina dan menganggap enteng kepada mereka pembawa berita dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Hal itu bisa kita temukan dalam apa yang diriwayatkan oleh Imaam Ash Shoobuuny رحمه الله dalam kitab beliau: ‘Aqiidatussalaf Ashaabul Hadiits.
Kata beliau رحمه الله , dengan sanadnya dari Ahmad bin Sinaan Al Qaththoon, “Tidak ada di dunia ini seorang pun Mubtadi’ (seorang Ahli Bid’ah), kecuali dia yang membenci Ahlul Hadiits (Pembawa Hadits). Maka jika seseorang melakukan kebid’ahan, akan dicabut rasa lezatnya Hadits dari dirinya. Ciri Ahlul Bid’ah adalah mereka mencela, menghina, dan memusuhi Ahlul Atsar (Ahlul Hadits, Ahlus Sunnah).”
Kalau dari mereka ada yang mengaku Ahlus Sunnah, sebetulnya mereka jahil (tidak tahu / bodoh) terhadap apa itu Ahlus Sunnah. Kita harus secara jujur dan ‘ilmiah menyampaikan ‘ilmu kepada kaum muslimin tentang apa sebenarnya Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah menurut versi Ahlus Sunnah, bukan menurut versi Ahlul Bid’ah.
Ahlus Sunnah menurut mereka Ahlul Bid’ah adalah diantaranya Mujassimah. Maka kalau ada orang mengatakan Mujassimah itu Ahlus Sunnah, maka sebetulnya ia bukan lah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Mujassimah itu adalah menyatakan, meyakini bahwa Allooh سبحانه وتعالى berbentuk jism (fisik). Mereka mengatakan Allooh سبحانه وتعالى punya tangan, punya mata, punya hidung dstnya, dimana mereka mempersamakan Allooh سبحانه وتعالى dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, mereka disebut Mujassimah, dan mereka bukanlah termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sementara Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meng-imani bahwa Allooh سبحانه وتعالى itu baik Dzat-Nya maupun sifat-sifat-Nya adalah tidak serupa dengan makhluk-Nya. Karena tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya, sehingga Allooh سبحانه وتعالى tidak boleh dianalogikan dengan ciptaan-Nya.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah meyakini sebagaimana yang diberitakan dalam QS. Al Asy Syuroo (42) ayat 11 bahwa Allooh سبحانه وتعالى:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya:
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…”
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menetapkan bagi Allooh سبحانه وتعالى, apa yang Allooh سبحانه وتعالى tetapkan untuk diri-Nya, dengan penetapan tanpa tamtsil (tanpa menyerupakan Allooh سبحانه وتعالى dengan makhluk-Nya) dan menyucikan tanpa ta’thiil ( mengingkari ).
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menetapkan bagi Allooh سبحانه وتعالى pendengaran, penglihatan, ilmu, kekuasaan, kebersamaan (ma’iyyah), telapak kaki, betis, tangan dan lain-lain dari sifat-sifat yang telah Allooh سبحانه وتعالى sifatkan sendiri untuk diri-Nya dalam Al Qur’an dan melalui lisan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم dengan kaifiyyah yang hanya Allooh سبحانه وتعالى saja lah yang mengetahuinya, sedangkan kita tidak mengetahuinya, karena Allooh سبحانه وتعالى tidak mengkhobarkan kepada kita tentang kaifiyyah-Nya.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Fath (48) ayat 10 :
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya:
“…. Tangan Allooh di atas tangan mereka…”
Dan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qomar (54) ayat 14:
تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا
Artinya:
“Yang berlayar dengan pengawasan Kami…”
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berbeda dengan Mujassimah, karena Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak boleh men-tasybiih (menyerupakan) Allooh سبحانه وتعالى dengan makhluk. Sehingga kalau ada orang mengatakan bahwa Allooh سبحانه وتعالى adalah jism dan fisik dengan mempersamakan Allooh سبحانه وتعالى itu dengan makhluk-Nya, maka ini bukanlah perbuatan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
2. Ciri Ahlul Bid’ah adalah mencela dan menyalahkan Hadits dan Atsar, peninggalan-peninggalan yang diriwayatkan dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan para shohabat beliau.
Sikap mereka terhadap Hadits, bukannya mengagungkan, menghormati, mengamalkan atau memperjuangkan demi tegaknya Hadits, tetapi mereka justru malah mencela. Yang mengatakan demikian adalah Imaam Al Barbahaary رحمه الله, dalam kitabnya Sarhussunnah, kata beliau: “Jika engkau mendengar seseorang mencela peninggalan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم atau menolaknya, atau menginginkan selain yang ditinggalkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka jelas ia adalah Ahlul Hawa dan Mubtadi’ (Ahlul Bid’ah).”
Maka bila terdengar dalam masyarakat, ada orang yang kepada Hadits itu sikapnya justru tidak senang, atau sikapnya adalah ingin mengubah, tidak suka, membenci, memusuhi dan sebagainya; maka ketahuilah bahwa orang itu bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, walaupun ia mengaku atau mengatas-namakan dirinya sebagai Ahlus Sunnah. Tetapi sebenarnya ia adalah Ahlul Bid’ah. Itulah yang dikatakan oleh Imaam Al Barbahary رحمه الله dalam kitabnya diatas.
Imaam Al Barbahary رحمه الله wafat pada tahun 329 Hijriyah, berarti perkara ini sudah diperingatkan dari hampir 900 tahun yang lalu.
Lalu dilanjutkan oleh Abu Nadhr bin Salaam Al Faqiih dalam kitab beliau ‘Aqidatus Salaf Ashaabul Hadiits, kata beliau: “Tidak ada sesuatu yang dirasakan paling berat atas orang-orang yang menyeleweng dari Islam, tidak juga ada yang paling mereka benci, melainkan dari mendengarkan Hadits, riwayat Hadits dan Isnad Hadits.”
Maksudnya, jika Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم disampaikan, dibahas maka mereka justru tidak suka dan membenci, maka mereka itu adalah Ahlul Ilhaad.
Ahlul Ilhad adalah orang yang menyeleweng dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Dan termasuk dari Ilhad (berpaling dari kebenaran) adalah ta’thil (mengabaikan), tahrif (menyimpangkan), takyf (memvisualisasikan) dan tamtsil (menyerupakan) sifat-sifat Allooh, dengan tanpa berpedoman pada apa yang datang dari Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Padahal, tidak ada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allooh سبحانه وتعالى melainkan Allooh سبحانه وتعالى sendiri.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 140:
قُلْ أَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللّهُ …
Artinya:
“ Katakanlah: ‘Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allooh…’”
Dan tiada seorang pun yang lebih mengetahui tentang Allooh سبحانه وتعالى, setelah Allooh, daripada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم atas izin-Nya. Sebagaimana Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An-Najm (53) ayat 3-4 tentang beliau صلى الله عليه وسلم:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
3. Menamakan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan julukan-julukan yang rusak
Al Imaam Abu Haatim رحمه الله dalam kitab ‘Aqiidatussalaaf, oleh Imaam Ash Shobuny رحمه الله dikatakan: “Ciri dari orang Zanadiqoh (orang-orang zindiq), mereka orang kaafir yang masuk kedalam Islam tetapi berpura-pura, untuk menghancurkan Islam dari dalam. Sebenarnya ia munaafiq. Orang-orang tersebut menamakan Ahlus Sunnah sebagai Hasawiyah.” Yang dimaksudkannya adalah mereka ingin menolak peninggalan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Sedangkan Qodariyyah, ciri-cirinya adalah mereka itu menjelek-jelekkan Ahlus Sunnah sebagai Mujbiroh (artinya: orang pesimistis).
Tentang Qodariyyah, contohnya adalah dalam sebuah buku yang ditulis oleh Harun Nasution, dimana buku tersebut sekarang menjadi kurikulum di UIN. Dalam buku tersebut, mereka membuat pernyataan bahwa Ahlus Sunnah membuat mereka menjadi mundur, karena menurut prinsip mereka bahwa Ahlus Sunnah itu selalu pesimis.
Ini mengejutkan. Karena Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak lah seperti yang mereka sebutkan.
Sebenarnya yang pesimis adalah Jabariyyah, bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Jadi ada kekeliruan atau salah menempatkan julukan di dalam buku tersebut. Kesalahan penempatan julukan itu dimungkinkan, karena yang dilihat oleh penulis buku tersebut (Harun Nasution) adalah realitas dalam kehidupannya, dimana notabene dalam masyarakatnya diajarkan tentang pesimistis. Itu sama sekali tidak benar, dan ia pun juga salah dalam menempatkan julukan. Karena Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak berpaham Jabariyyah dan tidak pula berpaham Qodariyyah. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang yang tidak pesimistis sekali, tetapi juga orang yang tidak optimistis sekali. Melainkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah orang yang berada ditengah-tengah, diantara keduanya (Ahlul Kasab). Dan itu dibahas panjang lebar diantaranya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله dalam banyak tulisan beliau.
Kata beliau juga: “Tanda dari Jahmiyyah (kelompok dari Jahm bin Sofwaan), adalah mereka mengatakan bahwa Allooh سبحانه وتعالى tidak mempunyai nama dan tidak mempunyai sifat.” Karena menurut mereka, kalau Allooh سبحانه وتعالى mempunyai nama dan sifat maka berarti Allooh سبحانه وتعالى menjadi seperti makhluk. Agar Allooh سبحانه وتعالى tidak sama dengan makhluk, maka menurut mereka Allooh سبحانه وتعالى semestinya tidak punya nama dan sifat. Dan mereka menuduh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sebagai Mutasyaabihah (orang yang mempersamakan Allooh سبحانه وتعالى dengan makhluk-Nya), dan pemahaman mereka (kelompok Jahmiyyah) tersebut adalah pemahaman yang keliru, ekstrim dan tidak sesuai dengan dalil.
Karena Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman bahwa Allooh سبحانه وتعالى mempunyai Asmaaul Husna (nama-nama yang baik), dan sifat-sifat yang mulia. Dia lah Allooh سبحانه وتعالى yang memiliki semua sifat yang sempurna dan suci dari segala kekurangan. Dia lah Allooh سبحانه وتعالى yang Maha Esa dengan sifat-sifat tersebut. Perhatikan firman-Nya dalam QS. Al A’roof ayat 180:
وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُواْ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَآئِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Artinya:
“Hanya milik Allooh Asmaaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, seperti yang dikatakan oleh ‘Ulama ‘Abdullooh bin Al Mubaarok رحمه الله, beliau menghukumi kelompok Jahmiyah tersebut sebagai orang kaafir, murtad, keluar dari Islam karena mereka telah kufur terhadap banyak ayat Al Qur’an. Bahkan ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menghukumi kelompok Jahmiyah sebagai orang-orang yang menghamba dan beribadah kepada sesuatu yang tidak ada. Kalau tidak punya nama, tidak punya sifat, berarti tidak ada. Padahal segala sesuatu itu punya nama, walaupun manusia ada yang belum tahu namanya. Karena Allooh سبحانه وتعالى sudah berfirman dalam Al Qur’an bahwa Allooh سبحانه وتعالى telah mengajarkan kepada Nabi Adam عليه السلام seluruh nama.
Perhatikan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqoroh (2) ayat 31:
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”
Adapun jika ada orang yang belum tahu nama dari sesuatu, bukan berarti sesuatu itu belum ada namanya.
Sedangkan ciri-ciri dari orang Raafidhoh (Syi’ah) adalah mereka mengatakan bahwa Ahlus Sunnah adalah orang yang menempatkan Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه sebagai Khaliifah, padahal menurut mereka (Syi’ah) semestinya bukan Abu Bakar رضي الله عنه, melainkan menurut mereka yang seharusnya menjadi Khaliifah adalah Ali bin Abi Tholib رضي الله عنه. Pendapat itu berdasarkan suatu kedengkian, dan pemahaman tersebut adalah tidak benar.
Orang-orang Raafidhoh (Syi’ah) berbeda dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Bila Raafidhoh terjatuh pada mencela dan mengkafirkan para shohabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, bahkan yang termasuk Khulafaa Ar Roosyidiin seperti Abu Bakar As Siddiq رضي الله عنه, ‘Umar bin Khoththoob رضي الله عنه akibat kedengkian mereka; maka sebaliknya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengajarkan untuk mencintai para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم karena para shohabat رضي الله عنهم adalah orang-orang pilihan Alooh سبحانه وتعالى untuk menemani Rosuul-Nya. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah beriman bahwa Alooh سبحانه وتعالى meridhoi para shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, sebagaimana yang Alooh سبحانه وتعالى sendiri firmankan dalam QS. At Taubah (9) ayat 100:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allooh dan Allooh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencaci para shohabatku, janganlah kalian mencaci para shohabatku! Demi Allooh yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya salah seorang diantara kamu menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan mencapai satu mud pun (dari yang mereka infaqkan), tidak sampai pula setengahnya.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 6651 dan Imaam Al Bukhoory no: 3673 dari Abu Hurairoh رضي الله عنه)
Sehingga dalam pandangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terhadap orang-orang Raafidhoh : “Kalau saja mereka meyakini suatu keyakinan, yang keyakinan itu dibangun diatas khurofat (karena tidak bersambung kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, karena semua shohabat beliau mereka kafirkan termasuk Khulafaa Ar Roosyidiin, kecuali beberapa orang saja dari para shohabat), maka mereka sudah kaafir, sehingga mereka tidak berhak lagi untuk didengar riwayatnya.”
Dengan demikian maka seluruh hadits dari mereka (Raafidhoh) akan tidak bisa diriwayatkan dan tidak berhak untuk diyakini isinya, karena mereka telah menunjukkan kufur terhadap Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
4. Ciri Ahlul Bid’ah adalah mencela para shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
Seperti telah dijelaskan diatas, Raafidhoh (Syi’ah) itu selalu mencela shohabat Rosuul صلى الله عليه وسلم kecuali hanya beberapa orang diantara mereka saja. Maka hendaknya harus berhati-hati didalam membeli buku-buku dien, karena buku-buku Syi’ah tersebut sekarang banyak diterbitkan dan dijual di pasaran.
Imaam Al Barbaahary رحمه الله dalam kitab Sarhussunnah berkata: “Jika engkau melihat seseorang mencela salah seorang shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka ketahuilah olehmu bahwa orang tersebut telah mengeluarkan perkataan yang buruk dan ia adalah pengikut hawa nafsu.”
Dan menurut Imaam Maalik رحمه الله, beliau berkata: “Jika engkau melihat seseorang yang mencela salah seorang shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ketahuilah bahwa orang tersebut adalah munafiq, zindiq (kaafir tetapi berpura-pura Islam).”
Ada film CD yang telah beredar di tokoh-tokoh tentang kisah ‘Uthbah bin ‘Aamir رضي الله عنه, salah seorang shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Yang dikisahkan dalam film CD itu bukanlah tentang kepahlawanan dan kepiawaian shohabat ‘Uthbah bin Amiir رضي الله عنه, justru diceritakan bahwa ‘Uthbah bin Amiir رضي الله عنه adalah orang yang arogan karena memaksa orang agar orang membayar pajak (istilah dalam film itu adalah ‘pajak’). Padahal ‘Uthbah bin Amiir رضي الله عنه adalah orang yang adil. Demikianlah cara mereka menjelek-jelekkan shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
5. Ciri Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan sholat Jum’at dan sholat berjama’ah di masjid
Mudah-mudahan kita tidak termasuk ciri-ciri tersebut. Sholat Jum’at saja mereka enggan melaksanakannya, apalagi sholat fardhu berjama’ah secara rutin di masjid tentunya mereka lebih enggan lagi. Mereka hanya sholat berjama’ah tahunan saja, yaitu ketika sholat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adha.
Yang paling mengenaskan adalah sholat fardhu berjama’ah. Dalam suatu masjid, paling banyak hanyalah satu shaf ketika sholat Shubuh. Lalu dimana jama’ah yang jumlahnya banyak dikala sholat Jum’at dan sholat ‘Ied tersebut? Berarti sebagian besar orang masih suka melaksanakan sholat berjama’ahnya adalah pekanan atau tahunan saja. Padahal sholat pekanan itu ibaratnya seperti orang Nasrhoni, dimana hal itu tidaklah dibenarkan. Maka sekali lagi, hendaknya diingat bahwa meninggalkan sholat Jum’at dan meninggalkan sholat fardhu berjama’ah di masjid tanpa udzur adalah ciri-ciri Ahlul Bid’ah.
Imaam Al Barbahary رحمه الله dalam kitabnya mengatakan bahwa, “Siapa yang meninggalkan sholat Jum’at dan sholat berjama’ah tanpa udzur, maka orang tersebut adalah Mubtadi’ (Ahlul Bid’ah). Tanpa udzur misalnya adalah karena sakit, atau takut dengan penguasa yang dzolim; maka selain daripada itu tidaklah disebut udzur.”
6. Mendo’akan kejelekan terhadap penguasa
Imaam Al Barbahary رحمه الله mengatakan, “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan kejelekan bagi penguasa, maka ketahuilah bahwa orang tersebut adalah Ahlul Bid’ah.”
7. Duduk bersama Ahlul Bid’ah, setelah tahu bahwa mereka adalah pelaku Bid’ah
Imaam Al Barbahary رحمه الله mengatakan, “Jika ada orang yang duduk bersama Ahlul Bid’ah setelah ia mengetahui bahwa mereka adalah pelaku Bid’ah, maka hindarilah ia karena ia adalah Shoohibul Hawaa (pengikut hawa nafsu), dalam hal ini adalah Ahlul Bid’ah.”
8. Menyeru untuk memerangi pemimpin kaum muslimin dan menghalalkan darah orang lain
Imaam Al Barbahary رحمه الله mengatakan, “Ketahuilah bahwa hawa nafsu itu semuanya jelek. Karena mereka menyeru / mengajak kepada pedang (pembunuhan). Dan yang paling jelek dan paling kaafir adalah Raafidhoh (Syi’ah), Mu’tazilah dan Jahmiyah. Sebab mereka menginginkan agar manusia melucuti aqidah yang baik dan kembali kepada kemunafiqan.”
9. Menyepelekan hal-hal yang fardhu berkenaan dengan hidup berjama’ah
Kata Imaam Al Barbahary رحمه الله: “Jika engkau melihat seseorang yang menyepelekan hal-hal yang fardhu yang semestinya berlaku dalam suatu jama’ah betapapun bersama penguasa, ketahuilah bahwa orang tersebut adalah pelaku Bid’ah.”
10. Menisbatkan sesuatu makalah kepada makalah-makalah yang keluar dari Sunnah (seperti Qodariyyah, Jahmiyyah, Murji’ah, Raafidhoh, dll)
Qodariyah adalah golongan yang mengaku dirinya muslim, umat Muhammad صلى الله عليه وسلم, tetapi keyakinan mereka rusak. Karena mereka meyakini bahwa di dunia ini mereka lah yang berwenang mengatur diri mereka sendiri, tanpa ada campur tangan dari Allooh سبحانه وتعالى.
Murji’ah adalah golongan orang yang menganggap bahwa amalan itu boleh dikebelakangkan, kata mereka “yang penting kan hatinya…”. Dan yang seperti ini adalah banyak di masyarakat kita. Kalau melihat kemunkaran, mereka membiarkannya saja, tidak mau melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Kata mereka, “Nafsi-nafsi saja lah…”, “Urusan dia adalah urusan dia, kita tidak perlu ribut...”, dan yang senada dengan perkataan-perkataan tersebut.
Padahal sebagaimana kita tahu bahwa kemunkaran itu sudah semestinya diubah.
Shohabat Abu Sa’id Al Khudry رضي الله عنه berkata bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda,
« مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ »
“Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemunkaran, maka hendaknya ia merubahnya dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu pula maka dengan hatinya; dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” (Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 186 dari Abu Sa’iid Al Khudry رضي الله عنه)
Kapan kemunkaran itu akan hilang jika kita tidak mau melakukan tindakan konkrit untuk mengubah kemunkaran tersebut.
Jadi Murji’ah adalah orang yang mengatakan bahwa Iman itu cukup didalam hati saja, bukan dengan lisan dan bukan pula dengan perbuatan. Dan pendapat mereka ini keliru.
Sementara Ahlus Sunnah Wal Jama’ah senantiasa memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (amar ma’ruf nahi munkar). Sebagaimana Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Ali ‘Imroon (3) ayat 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allooh. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq.”
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik berupa perintah maupun larangan; dan menyeru dengan hikmah dan pelajaran yang baik.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nahl (16) ayat 125:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ…
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…”
Dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mendahulukan wajibnya bersabar atas semua gangguan manusia dalam amar ma’ruf dan nahi munkar, sebagaimana yang Allooh سبحانه وتعالى firmankan dalam QS. Luqman (31) ayat 17:
…وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“… Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allooh).”
11. Berwala’ kepada pernyataan yang mereka yakini
Imaam Ibnul Qayyim Al Jauziah رحمه الله mengatakan dalam kitabnya Mukhtashor Ashowaa’iqil Mursalah : “Ahlul Bid’ah itu loyalitasnya, permusuhannya dibangun diatas pernyataan yang mereka yakini.”
Dengan kata lain bahwa pernyataannya adalah subyektif, bukan berdasarkan dalil, melainkan berdasarkan pemahaman diri mereka sendiri. Dan yang seperti ini adalah tidak benar, dan yang demikian adalah ciri Ahlul Bid’ah.
Sementara Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menerima, mengambil dalil dan mengikuti (ittiba’) terhadap dalil yang datang dari Kitabullooh (Al Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya صلى الله عليه وسلم yang shohiih baik secara dzahir maupun bathin, serta berserah diri (tasliim) kepada Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Ahzaab (33) ayat 36:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالاً مُّبِيناً
Artinya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allooh dan Rosuul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allooh dan Rosuul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”
Juga Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. An Nisaa’ (4) ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allooh dan ta’atilah Rosuul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allooh (Al Qur’an) dan Rosuul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allooh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda,
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku tinggalkan dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu: ‘Kitabullooh’ dan ‘Sunnah Rosuul-Nya’.” (Hadits Riwayat Imaam Maalik dalam kitab Al Muwaththo’ no: 3338, dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany dalam Misykaatil Mashoobiih)
Jadi Al Qur’an itu bergandengan dengan As Sunnah, karena Allooh سبحانه وتعالى mewajibkan semua hamba-Nya untuk taat kepada Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, dan As Sunnah menjelaskan makna yang dikehendaki oleh Allooh سبحانه وتعالى dalam Kitabullooh (Al Qur’an) tersebut.
Setelah itu, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengikuti apa yang ditempuh oleh para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dari kalangan Muhajirin dan Anshor secara umum dan Khulafaa Ar Roosyidiin secara khususnya. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم telah mewasiatkan kepada ummatnya agar mengikuti para Khulafaa Ar Roosyidiin lalu mengikuti generasi berikutnya, yakni tiga generasi pertama yang dimuliakan (Shohabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in). Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaa Ar Roosyidiin yang telah mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah padanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan hati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru (dalam urusan dien), karena sesungguhnya segala sesuatu yang baru (dalam urusan dien) adalah Bid’ah dan segala yang Bid’ah adalah sesat.” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 4609, dari Al ‘Irbaadh bin Saariyah رضي الله عنه, dishohiihkan oleh Syaikh Al Albaany)
Jadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah merujuk pada pemahaman para shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah. Dan menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tidak ada sesuatu apa pun dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohiih itu dipertentangkan dengan qiyas (analogi), perasaan, kasyaf (penyingkapan tabir rahasia sesuatu yang ghoib), pendapat syaikh (guru, kyai, Ustadz) maupun imam; karena Dienul Islam telah sempurna semasa hidup Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Allooh سبحانه وتعالى berfirman dalam QS Al Maa’idah (5) ayat 3:
…الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً…
Artinya:
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”
Jadi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak mendahulukan ucapan seseorang atas Kalamullooh (Al Qur’an) dan sabda Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم (As Sunnah). Karena mendahului Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم adalah termasuk mengatakan atas nama Allooh سبحانه وتعالى tanpa didasari oleh ‘Ilmu, dan itu adalah tipuan syaithoon.
Perhatikan peringatan Allooh سبحانه وتعالى dalam QS Al Hujuroot (49) ayat 1:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allooh dan Rosuul -Nya dan bertakwalah kepada Allooh. Sesungguhnya Allooh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Sesudahnya, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah merujuk kepada Ijma’ ulama yang mu’tabar dan bertumpu padanya, karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
لا يجمع الله أمتي على ضلالة أبدا و يد الله على الجماعة هكذا فاتبعوا السواد الأعظم فإنه من شذ شذ في النار
“Sesungguhnya Allooh tidak mengumpulkan ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allooh diatas jama’ah. Barangsiapa yang menyimpang, maka ia akan menyendiri dalam Neraka.” (Hadits Riwayat Imaam Al Bukhoory no: 396 dan Imaam At Turmudzy, dari Ibnu ‘Umar, dishohiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany)
12. Mendustakan terhadap kebenaran, dan mengkafirkan manusia dan jika ditegakkan kepada mereka hujjah baik itu dari Al Qur’an maupun As Sunnah, maka mereka justru kembali kepada mengisolasi Sunnah dan menghukum orang-orang yang berpegang kepada Sunnah jikalau mereka itu berkuasa.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam QS. Al Isroo’ (17) ayat 46:
وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَن يَفْقَهُوهُ وَفِي آذَانِهِمْ وَقْراً وَإِذَا ذَكَرْتَ رَبَّكَ فِي الْقُرْآنِ وَحْدَهُ وَلَّوْاْ عَلَى أَدْبَارِهِمْ نُفُوراً
Artinya:
“… dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka, agar mereka tidak dapat memahaminya. Dan apabila kamu menyebut Tuhanmu saja dalam Al Qur’an, niscaya mereka berpaling ke belakang karena bencinya.”
Maka jika di masyarakat terdapat arogansi seperti itu, tidak memberikan kebebasan kepada orang-orang yang jelas-jelas mempunyai argumentasi dari firman Allooh سبحانه وتعالى dan Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka itu adalah identitas dari Ahlul Bid’ah.
13. Mengambil Sunnah hanya yang sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Seperti terdapat dalam QS. Az Zumar ayat 45:
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
Artinya:
“Dan apabila hanya nama Allooh saja disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allooh yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.”
Jadi diantara ciri-ciri Ahlul Bid’ah adalah mengambil Sunnah hanya yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, baik yang shohiih maupun yang dho’iif. Kata mereka, biarpun dho’iif, tetapi itu kan Hadits. Itu termasuk ciri-ciri Ahlul Bid’ah. Dan mereka meninggalkan hadits-hadits yang shohiih karena tidak sesuai dengan selera mereka.
14. Meninggalkan apa yang terdapat dalam nash terhadap pernyataan orang.
Padahal, yang seharusnya dijadikan dalil adalah nash Al Qur’an maupun Sunnah, tetapi Ahlul Bid’ah ini justru menjadikan pernyataan/ perkataan orang sebagai dalil.
Berbeda dengan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang mempunyai pemahaman bahwa: Perkataan orang, siapa pun dia, tidak bisa dijadikan dalil, kalau ia bukan dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Imaam Maalik رحمه الله menyatakan:
كل يؤخذ من قوله ويرد إلا صاحب هذا القبر . وأشار إلى قبر النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya:
“Setiap perkataan boleh diambil dan boleh ditolak kecuali jika berasal dari yang ada dalam kuburan ini.” Sembari beliau mengisyaratkan pada kuburan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Jadi, setiap orang boleh kita ambil perkataannya dan boleh kita tolak, tidak ada hak untuk memaksa seseorang mengambil apa yang ia katakan; asal saja itu bukan Hadits atau Sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang shohiih.
Kalau sudah jelas itu bersumber dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tidak boleh ada orang yang memilah dan memilih. Harus diambil, karena itu adalah Wahyu dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau meninggalkannya berarti ingkar terhadap Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ibnu Qoyyim al Jauziyah رحمه الله mengatakan dalam kitabnya: “Ahlul Bid’ah meninggalkan nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, hanya sekedar untuk menjadikan perkataan orang sebagai dalil dan argumen, kemudian Al Qur’an dan As Sunnah dikebelakangkan.”
15. Menolak Sunnah, membenturkan Sunnah kepada pernyataan dan pendapat orang.
Ciri-ciri Ahlul Bid’ah adalah menolak Sunnah dan membenturkan Sunnah dengan pernyataan dan pendapat orang. Kalau sesuai dengan pendapat mereka, maka mereka terima. Dan jika tidak sesuai dengan pendapat mereka, maka mereka tolak. Penolakan itu adalah dengan meninggalkannya atau dengan cara men-ta’wil-kan Al Qur’an dan Sunnah tersebut.
Penyimpangan dalam aqidah bisa muncul dari berbagai hal, sehingga muncullah paham Mu’tazilah, yang mendahulukan akal daripada Wahyu (Al Qur’an dan Sunnah).
Demikian pula dengan orang Sufi, yang mendahulukan mimpi dan rasa daripada Wahyu (Al Qur’an dan Sunnah). Sehingga sebagai contoh, pernah muncul beberapa tahun yang lalu dengan apa yang disebut “Auraad Muhammadiyah”. Yang mengalami mimpi adalah Ashari Muhammad, tokoh Al Arqom di Malaysia. Menurut mereka, membaca dan mewiridkan Auraad adalah bagian dari ibadah. Dan itu bukanlah dalil, karena hanya berasal dari mimpi.
Juga dalam masyarakat yang sangat yakin dengan kata-kata kyai / ajeungan. Menurut mereka, tidak mungkin ajeungan itu salah. Mereka menganggap ajeungan itu ma’shum dan Al Qur’an maupun Sunnah mereka kebelakangkan. Sesungguhnya pemahaman mereka itu keliru dan sesat, dan mereka telah menyimpang dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sementara, Ahlu Sunnah Wal Jama’ah tidak meyakini adanya orang yang ma’shum (terjaga dari dosa dan kesalahan) selain Rosuulullooh لى الله عليه وسلم, dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bahwa seseorang itu boleh ber-ijtihad dalam permasalahan yang tersembunyi (samar) sebatas kebutuhan darurot. Meskipun demikian, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidaklah fanatik terhadap pendapat seseorang, sehingga pendapat tersebut berkesesuaian dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka berkeyakinan bahwa setiap mujtahid bisa benar dan bisa salah. Jika benar maka baginya dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaran ijtihad-nya. Dan jika salah, maka baginya satu pahala yakni pahala ijtihad-nya saja. Sehingga hal ini tidak mengharuskan terjadinya permusuhan dan saling menjauhi, akan tetapi satu sama lain saling mencintai, walaupun ada perbedaan diantara mereka pada sebagian permasalahan Furu’ (cabang, dan bukan pada masalah yang Pokok). Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak mewajibkan seseorang dari kaum Muslimin untuk taklid pada madzhab fiqih tertentu, namun tidaklah mengapa jika atas dasar ittiba’ (mengikuti) dalil yang Syar’i. Karena itu, setiap muslim hendaknya berpindah dari madzhab yang satu ke madzhab yang lain karena mengikuti dalil yang kuat. Karena, bagi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang mereka ikuti itu sebenarnya adalah dalilnya (yang datang dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dan bukan madzhab-nya.
16. Ahlul Bid’ah mengajak dan menyeru untuk menjadikan pendapat orang dan apa yang masuk kedalam akal mereka sebagai pemutus perkara.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa akal dan pendapat mereka layak menjadi pemutus perkara atas problem atau permasalahan di muka bumi ini; maka ketahuilah bahwa mereka bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, melainkan Ahlul Bid’ah.
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selalu mengatakan bahwa yang disebut dalil adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau bukan berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka bukanlah dali. Lalu bagaimana dengan Qiyas? Qiyas adalah juga dalil, tetapi pada urutan ke-empat; dan itu pun dalam masalah tertentu (masalah Khilaafiyah / Furu’ / cabang) dan bukan dalam masalah Pokok (‘Aqidah). Tidak ada Qiyas dalam urusan ‘Aqidah. Sedangkan dalil urutan ke-tiga adalah Ijma’ ush Shohaabah (Ijma’ Shohabat). Ada dalil yang mendukungnya seperti misalnya: Al ‘Aql, Al His dan Al fitroh. Dan ketiganya merupakan pendukung saj, dalam arti: Jika ia memperkuat dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka pembuktian penguatannya diterima. Tetapi, jika tidak memperkuat dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka tidak diterima karena bertentangan dengan dalil.
17. Ahlul Bid’ah lari dari da’wah yang menyeru pada Sunnah
Kalau mereka disuruh kepada Sunnah, maka mereka enggan dan lari daripadanya. Hal ini sudah dijelaskan dalam QS. Al Isroo’ ayat 46 dan QS. Az Zumar ayat 45, sebagaimana telah dibahas pada poin 12 dan 13 diatas.
18. Mereka mengatakan perkataan-perkataan yang Bid’ah, yang tidak pernah Allooh سبحانه وتعالى turunkan.
Mereka mengatakan bahwa Allooh سبحانه وتعالى tidak mempunyai nama dan tidak mempunyai sifat. Jelas ini adalah Bid’ah.
Ada pula sebagian orang yang berkata-kata seperti ini: “..Mungkin Tuhan mulai bosan..”, maka itu adalah kata-kata Bid’ah. Tuhan dalam kata-kata itu maksudnya siapa? Kalau Tuhan adalah Allooh سبحانه وتعالى, berarti mengatakan bahwa Allooh سبحانه وتعالى bosan, dan bosan itu adalah negatif. Mustahil Allooh سبحانه وتعالى mempunyai sifat bosan.
Lalu mereka juga mengatakan, “Pendengaran Allooh sama dengan pendengaran kita,” jelas ini adalah pernyataan yang keliru, karena bertentangan dengan firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Asy Syuroo (42) ayat 11:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya:
“…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…”
Pernyataan-pernyataan yang menyimpang itu disebabkan oleh kejahilan mereka, dan yang seperti itu adalah tidak boleh. Hal ini telah dibahas dalam Tauhid Al Asma Wash Shifaat.
19. Perpecahan dan Perselisihan
Diantara ciri Ahlul Bid’ah adalah Perpecahan dan Perselisihan. Jadi kalau banyak muncul perpecahan dan perselisihan, maka bisa jadi bukan lah tergolong Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tetapi masih Ahlul Bid’ah.
Perhatikan pernyataan Al Imaam Abul Qoosim Al Assahaany رحمه الله yang dinukil dari kitab beliau : “Adapun jika engkau perhatikan Ahlul Hawa dan Ahlul Bid’ah, maka akan engkau dapati mereka berpecah-belah, berselisih, berkelompok-kelompok, ber-hism (bergolongan/ berpartai) sehingga hampir-hampir saja engkau tidak temui ada dua orang dimana dua orang itu berjalan diatas satu jalan, baik itu dalam masalah Aqidah maupun dalam masalah lainnya. Justru satu sama lain saling mem-Bid’ahkan, bahkan sampai mengkafirkan satu sama lainnya. Engkau lihat mereka selamanya dalam keadaan perselisihan, kebencian, perpecahan dan habis umur mereka dalam keadaan tidak bersatu. Karena mereka bukanlah kaum yang berakal.”
Demikianlah tanda-tanda dan ciri-ciri serta karakter-karakter dari Ahlul Bid’ah, mudah-mudahan kita bisa mengetahuinya dan kita bisa mewaspadai; karena mereka bukannya mendekat kepada Sunnah, melainkan menjauhi Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dikutip dari artikel: Tanda-Tanda Ahlul Bid'ah
Penulis:ust. Achmad Rofi'i Lc
Sumber url: ustadzrofii.wordpress.com