Allah Ta’aala berfirman:
وَأُولاَتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعنْ حَمْلَهُنَّ
“Dan wanita-wanita yang mengandung itu ‘iddahnya adalah ketika mereka melahirkan kandungan mereka” (ath-Tholaq: 04)
HIKMAH ATH-THOLAQ: 04
Berdasarkan ayat ini maka dapat diambil beberapa pelajaran di antaranya:
1. Ayat ini mengarah kepada larangan yang bersifat umum dalam masa ‘iddah.
2. Wanita yang hamil ‘iddahnya adalah selama masih dalam masa kehamilan itu.
2. ‘Iddah-nya tersebut menghalangi ia untuk menikah, kecuali setelah melahirkan.
3. Larangan pada masa ‘iddah berlaku “umum” seperti pada poin (1) untuk laki-laki yang menghamilinya atau yang bukan menghamilinya.
4. Kalau ayat ini mau -dipaksa- dipahami hanya untuk kehamilan yang sah, perlu ada keterangan lebih lanjut dari teks agama lainnya, dan jika tidak ada, biarlah seperti asalnya, yakni secara umum.
KONSEKWENSI
Pernikahan yang terjadi di masa ‘iddah itu batal, karena menyalahi larangan agama dimaksud. Dengan demikian semua bentuk “kegiatan” selama “pernikahan” itu dianggap dosa, yakni dosa perzinahan.
Senada dengan itu, Syaikh Muhammad Sholih al-Munjid ketika ditanya tentang pernikahan dengan perempuan zina (telah melakukan hubungan di luar nikah-pen) beliau menjawab:
لا يجوز الزواج من الزانية حتى تتوب ... وإذا أراد
رجل أن يتزوجها وجب عليه أن يستبرأها بحيضة قبل أن يعقد عليها النكاح وإن تبين
حملها لم يجز له العقد عليها إلا بعد أن تضع حملها ...
انظر الفتاوى الجامعة للمرأة المسلمة 2/ 584
“Tidak boleh menikah dengan pelaku zina sampai kemudian ia bertaubat. Seorang laki-laki yang (akan) menikahinya wajib menjauhinya sampai setelah ia haid sebelum terjadi aqod nikah. Dan jika (sebelum nikah) tampak jelas ia hamil maka tidak boleh menikahinya sampai ia melahirkan” (Lihat al-Fataawaa al-Jaami’ah lil Mar’ah al-Muslimah, juz. 2/584).
TAMBAHAN:
Atsar dari shahabat dan tabi'in
- Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallaahu 'anhu:
"Barangsiapa menzinahi seorang wanita, kemudian ia menikahinya setelah itu, maka keduanya melakukan perzinaan terus menerus." (lihat: Abu Abdillah Al-Qurthubi, Jami'ul Ahkaamil Qur’aan: XII/114).
- Berkata Imam Malik rahimahullah:
“tidak diperkenankan (sekalipun laki-laki yang menzinahinya) menikahi wanita yang dizinahi sehingga wanita itu mengalami haid dan suci dari haidnya, karena menikahi wanita yang baru saja dikumpuli haram hukumnya. Di antara keharamannya yaitu, tercampurnya air mani dari hasil perzinaan dengan air mani dari pernikahan yang sah.” (lihat: Abu Abdillah Al-Qurthubi, Jami'ul Ahkaamil Qur’aan: XII/114).
ALLAHU ‘A’LAM BISSOWAB
Abu Daffa el-Kayyis Madiu
Saleo – Bolangitang Timur
Bolmong Utara – Sulawesi Utara