Kesempatan Menalak Istri yang Telah Digauli Hanya Tiga Kali
Seorang lelaki yang merdeka memiliki kesempatan menalak istrinya yang
telah digaulinya tiga kali, baik istrinya wanita merdeka maupun
berstatus budak[1].
Talak pertama dan talak kedua adalah talak raj’i yang artinya dia punya
hak merujuk istrinya pada masa ‘iddah kapan saja dia mau, walaupun
istrinya tidak rela dirujuk.
Talak yang ketiga adalah talak ba’in dengan derajat bainunah kubra’
(perpisahan besar)[2] yang tidak menyisakan ikatan lagi antara keduanya
sedikit pun sejak jatuhnya talak, bahkan tidak bisa menikahinya kembali
sampai bekas istrinya itu telah digauli oleh suami yang lain.
Tata Cara Jatuhnya Talak Ba’in (Talak Tiga)
Ibnu Taimiyah berkata—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa—, “Caranya, ia
menalaknya, kemudian merujuknya dalam masa ‘iddah atau menikahinya
seusai masa ‘iddah. Lantas ia menalaknya lagi, kemudian merujuknya atau
menikahinya. Lantas ia menalaknya lagi untuk yang ketiga kalinya. Inilah
talak yang menjadikan istrinya haram atasnya sampai menikah dengan
suami lain dan menggaulinya menurut kesepakatan ulama.”
Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad menukil kesepakatan ulama bahwa bila ia
telah menalak istrinya satu atau dua kali kemudian ia menikahinya
kembali setelah dinikahi lelaki lain yang tidak menggaulinya,
kesempatannya untuk menalak istrinya itu tetap mengikuti hitungan talak
sebelumnya. Artinya, kesempatannya tersisa dua kali talak bila ia telah
menalaknya satu kali dan tersisa satu kali talak bila ia telah
menalaknya dua kali.
Adapun jika ia menikahinya setelah dinikahi lelaki lain yang
menggaulinya, di sinilah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Yang rajih, hitungan talak yang telah jatuh sebelumnya tidak gugur dan
kesempatan untuk menalaknya apa yang tersisa dari talak sebelumnya. Ini
mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik, yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin.
Al-Imam Ahmad menegaskan, “Ini adalah pendapat sahabat besar yang terkemuka.”
Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Umar bin al-Khaththab radiyallahu anhu Ia berkata:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا تَطْلِيْقَةً أَوْ
تَطْلِيْقَتَيْنِ، ثُمَّ تَرَكَهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَيَمُوْتَ عَنْهَا أَوْ يُطَلِّقَهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا زَوْجُهَا
اْلأَوَّلُ فَإِنَّهَا عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ طَلاَقِهَا
“Siapa pun wanita yang ditalak suaminya satu atau dua kali, kemudian
suaminya membiarkannya sampai dinikahi suami lain, lantas (suami yang
baru tersebut) meninggal atau menalaknya, kemudian suami pertamanya
menikahinya kembali, wanita itu pun di sisi suaminya tersebut di atas
kesempatan talak yang tersisa sebelumnya.” (Riwayat ‘Abdurrazzaq dalam
Mushannaf-nya dengan sanad yang sahih)[3]
Abdurrazzaq juga meriwayatkan atsar yang semisal dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’b, dan ‘Imran bin Hushain g pada bab ini.
Menurut Ibnul Qayyim, alasannya adalah bahwa jima’ suami kedua dengan
wanita tersebut tidak ada kaitannya dengan talak tiga dari suami
pertama—yang berfungsi membuat halalnya kembali wanita tersebut untuk
suami pertama. Juga, jima’ suami kedua bukan merupakan syarat halalnya
kembali wanita tersebut untuk suami pertama, andai ia menikahinya lagi
setelah diceraikan oleh suami yang kedua. Dengan demikian, terjadinya
jima’ antara suami kedua dengan wanita tersebut atau tidak adalah sama
saja, tidak ada pengaruh bagi suami pertama. Atas dasar itu, suami
pertama tetap memberlakukan talak satu dan duanya, serta tidak memulai
dengan penghitungan baru.
Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula dalam asy-Syarh al-Mumti’ bahwa yang tampak dari firman Allah subhanahu wa ta'ala:
“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali.” (al-Baqarah: 229)
dan ayat berikutnya:
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan
itu tidak lagi halal baginya hingga menikah dengan suami yang lain.”
(al-Baqarah: 230)
Sama saja apakah wanita itu telah sempat menikah dengan suami lain (yang
menggaulinya)—antara talak kedua dan talak ketiga—atau tidak.
Telah datang hadits marfu’ (sabda Nabi n) yang semakna dengan ini,
tetapi hadits itu sangat lemah (dha’if jiddan) dan didha’ifkan oleh
Ibnul Qayyim.4
Talak Tiga Tidak Bisa Jatuh Sekaligus
As-Sa’di berkata dalam al-Mukhtarat al-Jaliyyah, “Asy-Syaikh Taqiyyuddin
Ibnu Taimiyah merajihkan bahwa talak dengan lafadz apa pun jatuhnya
hanya satu talak, walaupun diperjelas dengan lafadz talak tiga, talak
ba’in, talak battah (selamanya), ataupun yang lainnya. Demikian pula,
talak yang kedua tidak akan jatuh melainkan setelah terjadi rujuk yang
benar. Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini dengan tinjauan dari banyak
sisi. Siapa pun yang melihat keterangannya, tidak mungkin (ada alasan)
baginya untuk menyelisihinya.”
Jadi, tidak ada sama sekali talak tiga ataupun talak dua selain yang
dijatuhkan secara bertahap, yang diselingi dengan terjadinya rujuk atau
pernikahan baru.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani,
asy-Syaukani, al-Albani, al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz),
Ibnu ‘Utsaimin, dan guru besar kami al-Wadi’i.
Di antara dalil-dalilnya adalah:
1. Allah subhanahu wa ta'ala tidak mensyariatkan dijatuhkannya talak tiga sekaligus tanpa melalui tahapan, karena Allah l berfirman:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
(al-Baqarah: 229)
Tidak ada makna lain dari ayat ini yang dipahami oleh bangsa Arab selain
bahwa dua talak tersebut jatuhnya secara bertahap. Jika dia berkata,
- “Aku menalakmu dua kali atau tiga kali.”
- “Aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu”
atau semisalnya, tidaklah ia dianggap menalaknya lebih dari satu kali.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhumma, ia berkata:
كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ n وَأَبِي بَكْرٍ
وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ
قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ، فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ؟
فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ.
“Dahulu pada zaman Rasulullah n, kekhilafahan Abu Bakr radhiyallhu anhu, dan dua tahun
pertama dari kekhilafahan ‘Umar radiyallahu anhu, talak yang dijatuhkan tiga kali
sekaligus dihitung satu talak. Lantas ‘Umar menyampaikan, ‘Sesungguhnya
orang-orang telah tergesa-gesa pada urusan talak mereka yang mengandung
tahapan (ingin menjatuhkan sebagai talak tiga sekaligus), maka bagaimana
jika kami berlakukan saja bagi mereka hal itu?’ ‘Umar radhiyallahu anhu pun
memberlakukannya bagi mereka.” (HR. Muslim)
Asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar berkata, “Kesimpulannya, di sini
ada satu hujjah yang melibas habis seluruh hujjah yang dikemukakan
mengenai jatuhnya talak tiga sekaligus, dan satu dalil yang tidak dapat
ditandingi sedikit pun oleh dalil-dalil yang dikemukakan itu, yaitu
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallhu anhumma dalam Shahih Muslim dan lainnya. Jika seperti ini
talak yang berlaku pada zaman Nabi shallallahu alihi wassallam dan diamalkan oleh para sahabat
setelahnya lebih dari empat tahun, hujjah apa lagi yang dapat menolak
hujjah ini dan dalil apa lagi yang dapat tegak menentangnya?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam Majmu’
al-Fatawa—menerangkan alasan Umar radhiyallahu anhu dan selainnya dari kalangan
imam-imam mujtahid yang mengharuskan jatuhnya talak tiga bagi orang yang
menjatuhkannya sekaligus, bahwa hal itu adalah ijtihad ‘Umar radhiyallahu anhu tatkala
menyaksikan kaum muslimin sering melakukan hal yang sesungguhnya
diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala itu. Mereka tidak akan berhenti melainkan dengan
suatu hukuman, yang menurut ‘Umar radhiyallahu anhu, yaitu memberlakukannya bagi mereka
agar mereka tidak melakukannya. Boleh jadi, hal itu sebagai jenis
ta’zir (hukuman agar jera darinya) yang dilakukan saat dibutuhkan. Boleh
jadi pula, ‘Umar menganggap bahwa syariat talak tiga sekaligus dihitung
satu, memiliki suatu persyaratan yang telah sirna (karena kondisi kaum
muslimin saat itu, pen.).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhumma sendiri pada mulanya berfatwa jatuhnya hal itu sebagai
talak tiga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Namun di
kemudian hari, ia meralat fatwa tersebut dan berfatwa bahwa hal itu
tidak jatuh sebagai talak tiga, sebagaimana yang diriwayatkan pula oleh
Abu Dawud.[5]
Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in
Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah
berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain
senggama).
Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra’ (perpisahan kecil). Artinya,
tidak halal baginya untuk merujuknya melainkan dengan akad nikah yang
baru. Karena hak rujuk hanya ada pada masa ‘iddah, sedangkan ini tidak
ada masa ‘iddahnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka ‘iddah (penantian) bagimu
yang kalian minta menyempurnakannya.” (al-Ahzab: 49)6
Talak ini dihitung baginya. Artinya, jika ia menikahinya lalu kembali
talak, tersisa baginya kesempatan talak satu kali lagi. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1] Yakni budak orang lain yang dinikahinya.
[2] Adapun bainunah shughra’ (perpisahan kecil) yang tidak menyisakan
ikatan sedikit pun antara keduanya tetapi masih bisa menikahinya secara
langsung tanpa disyaratkan telah dinikahi dan digauli lelaki lain, hal
ini akan diterangkan nanti, insya Allah.
[3] Pada Bab “an-Nikah al-Jadid wath Thalaq al-Jadid” no. 11150 dengan sanad yang sahih.
[4] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari seorang sahabat.
Pada sanadnya terdapat perawi yang haditsnya mungkar dan ditinggalkan
oleh ahli hadits.
Pendapat yang kedua dalam masalah ini, hitungan talak yang telah lewat
dianggap gugur dan kesempatan menalaknya dihitung kembali dari awal.
Telah diriwayatkan atsar-atsar dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Ibnu
‘Abbas radhiyallahu anhu dalam Mushannaf ‘Abdurrazzaq pada bab ini. Sisi makna
pengambilan hukumnya adalah jika ia digauli oleh suami yang kedua akan
menggugurkan hitungan tiga talak yang telah jatuh sebelumnya, tentu hal
itu menggugurkan hitungan dua talak yang telah jatuh sebelumnya.
Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan dirajihkan oleh asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar. Wallahu a’lam.
[5] Keterangan kebenaran dua riwayat fatwa Ibnu ‘Abbas c ini dapat dilihat dalam al-Irwa’ (7/120—122).
[6] Ini menurut pendapat yang rajih bahwa masis yang di
maksud dalam ayat ini adalah jima’ (senggama). Ada pula yang berpendapat
bahwa masis dalam ayat ini mencakup khalwat dan hal lainnya yang hanya
dilakukan oleh suami istri. Menurut pendapat ini, hukum pada ayat ini
(tidak ada masa ‘iddah) tidak berlaku pada wanita yang ditalak setelah
berkhalwat tetapi belum digauli. Jika sudah berkhalwat meskipun belum
digauli, ada masa ‘iddah.
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)
www.asy-syariah.com