Para pembaca rahimakumullah, berterima kasih atas pemberian orang lain adalah perangai terpuji. Setiap muslim hendaknya menghiasi diri dengannya. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
 
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
 Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya agar membalas kebaikan orang lain, sebagaimana sabdanya:
 
“Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia  membalasnya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya,  hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih  kepadanya; namun jika menyembunyikannya, berarti ia telah  mengingkarinya…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad. Lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 157)
 
Pada umumnya, seseorang merasa berat hati untuk mengeluarkan tenaga,  harta, waktu, dan yang semisalnya jika tidak ada imbal balik darinya.  Oleh karena itu, barangsiapa yang mencurahkan semua itu untuk saudaranya  dengan hati yang tulus, orang seperti ini berhak dibalas kebaikannya  dan disyukuri pemberiannya.
 
Apabila kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang  berbuat jahat kepada kita dan memaafkannya, tentu balasan orang yang  berbuat baik kepada kita hanyalah kebaikan.
 
Perlu diketahui juga, dalam Islam orang yang memberi lebih baik daripada orang yang menerima. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
 “Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 
Oleh karena itu, hendaknya kita menjadi umat yang suka memberi  daripada banyak menerima. Jika kita menerima pemberian, berbalas  budilah!, karena seperti itulah contoh dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (Shahih Al-Bukhari no. 2585)
 
Berbalas budi –di samping merupakan perangai yang disukai oleh Islam  dan terpuji di tengah masyarakat– adalah salah satu cara untuk mencegah  timbulnya keinginan mengungkit-ungkit pemberian yang bisa membatalkan  amal pemberiannya.
 
Bentuk Balas Budi
 
Bentuk membalas kebaikan orang sangat banyak ragam dan bentuknya.  Tentu saja setiap orang membalas sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.  Jika seseorang membalas dengan yang sepadan atau lebih baik, inilah  yang diharapkan. Jika tidak, maka memuji orang yang memberi di hadapan  orang lain, mendoakan kebaikan, dan memintakan ampunan baginya, juga  merupakan bentuk membalas kebaikan orang.
 
Dahulu, orang-orang Muhajirin datang kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam  dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang-orang Anshar telah pergi  membawa seluruh pahala. Kami tidak pernah melihat suatu kaum yang paling  banyak pmberiannya dan paling bagus bantuannya pada saat kekurangan  selain mereka. Mereka juga telah mencukupi kebutuhan kita.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Bukankah kalian telah memuji dan mendoakan mereka?” Para Muhajirin menjawab, “Iya.” Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Itu dibalas dengan itu.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Lihat Shahih At-Targhib no. 963)
 
Maksudnya, selagi orang-orang Muhajirin memuji orang-orang Anshar  karena kebaikan mereka, para Muhajirin telah membalas kebaikan mereka.
 Di antara bentuk pujian yang paling bagus untuk orang yang berbuat baik adalah ucapan:
 جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا
 “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
 Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
 “Barangsiapa diperlakukan baik lalu ia mengatakan kepada pelakunya,
 جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا
 “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,” ia telah tinggi dalam memujinya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2035, cet. Al-Ma’arif)
 
Mensyukuri yang Sedikit Sebelum yang Banyak
 Seseorang belum dikatakan mensyukuri Allah Subhanallahu wa Ta’ala jika belum berterima kasih terhadap kebaikan orang. Hal ini seperti yang disabdakan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:
 
“Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Dawud dalam Sunan-nya)
 Hadits ini mengandung dua pengertian:
 1. Orang yang tabiat dan kebiasaannya tidak mau berterima kasih terhadap kebaikan orang, biasanya ia juga mengingkari nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan tidak mensyukuri-Nya.
 2. Allah Subhanallahu wa Ta’ala tidak menerima syukur hamba  kepada-Nya apabila hamba tersebut tidak mensyukuri kebaikan orang,  karena dua hal ini saling berkaitan.
 
Ini adalah makna ucapan Al-Imam Al-Khatthabi v seperti disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud (13/114, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah).
 Orang yang tidak bisa mensyukuri pemberian orang meskipun hanya sedikit, bagaimana ia akan bisa mensyukuri pemberian Allah Subhanallahu wa Ta’ala yang tak terbilang?! Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
 “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (An-Nahl: 18)
 
Orang-orang yang Harus Disyukuri Pemberiannya
 
Di antara manusia yang wajib disyukuri kebaikannya adalah kedua orang tua. Ini sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):
 
“Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu.” (Luqman: 14)
 
Kedua orang tua telah mengorbankan semua miliknya demi kebaikan  anaknya. Mereka siap menanggung derita karena ada seribu asa untuk buah  hatinya. Oleh karena itu, sebaik apa pun seorang anak menyuguhkan  berbagai pelayanan kepada kedua orang tuanya, belumlah mempu membalas  kebaikan mereka, kecuali apabila mereka tertawan musuh atau diperbudak  lalu sang anak membebaskannya dan memerdekakannya. Hak kedua orang tua  sangatlah besar sehingga sangat besar pula dosa yang ditanggung oleh  seseorang manakala mendurhakai kedua orang tuanya.
 
Demikian pula, kewajiban seorang istri untuk berterima kasih kepada  suaminya sangatlah besar. Seorang suami telah bersusah-payah mencarikan  nafkah serta mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Oleh karena itu,  seorang istri hendaknya pandai-pandai berterima kasih atas kebaikan  suaminya. Jika tidak, ia akan diancam dengan api neraka.
 
Dahulu ketika melakukan shalat gerhana, diperlihatkan surga dan neraka kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Diperlihatkan kepada beliau api neraka yang ternyata kebanyakan penghuninya adalah wanita. Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyebutkan bahwa sebabnya adalah mereka banyak melaknat dan mengingkari kebaikan suaminya. (Lihat Shahih Muslim no. 907)
 
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
 “Wahai para wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah  istighfar (memohon ampunan kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala), karena  aku melihat kalian sebagai penghuni neraka terbanyak.”
 Ketika Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyampaikan wasiat tersebut, ada seorang wanita bertanya, “Mengapa kami menjadi mayoritas penghuni neraka?” Beliau menjawab, “Kalian banyak melaknat dan mengingkari (kebaikan) suami.” (Mukhtashar Shahih Muslim no. 524)
 
Apabila seorang istri disyariatkan untuk mengingat kebaikan suaminya,  demikian pula seorang suami hendaknya mengingat-ingat kebaikan  istrinya.
 Adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa mengingat-ingat jasa dan perjuangan istrinya tercinta, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha. Hal ini seperti yang disebutkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam seperti cemburuku atas Khadijah radhiyallahu ‘anha,  padahal aku belum pernah melihatnya. Akan tetapi, Nabi Shalallahu  ‘alaihi wa Sallam sering menyebutnya. Terkadang beliau menyembelih  kambing lalu memotong bagian kambing itu dan beliau kirimkan kepada  teman-teman Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Terkadang aku  berkata kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘Seolah tidak ada  wanita di dunia ini selain Khadijah!’ Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam  lalu bersabda, ‘Sesungguhnya Khadijah dahulu begini dan begitu (beliau  menyebut kebaikannya dan memujinya). Saya juga mempunyai anak darinya’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 
Dari hadits di atas diketahui bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sering mengingat-ingat kebaikan istri beliau yang pertama yang memiliki setumpuk kebaikan. Dialah Khadijah radhiyallahu ‘anha. Ia termasuk orang yang pertama masuk Islam, membantu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dengan hartanya, dan mendorong Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam  untuk senantiasa tegar menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu,  hendaknya seorang muslim selalu menjaga kebaikan istrinya, temannya, dan  kawan pergaulannya dengan mengingat-ingat kebaikan mereka dan  memujinya.
 
Ada contoh lain dari praktik salaf umat ini dalam membalas kebaikan orang lain. Shahabat Jarir bin Abdillah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu  sangat kagum dengan pengorbanan orang-orang Anshar. Oleh karena itu,  ketika melakukan perjalanan dengan shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu –yang termasuk orang Anshar–, beliau memberikan pelayanan dan penghormatan kepada Anas radhiyallahu ‘anhu, padahal beliau lebih tua darinya. Anas radhiyallahu ‘anhu menegur Jarir radhiyallahu ‘anhu supaya tidak memperlakukan dirinya dengan perlakuan istimewa. Akan tetapi, Jarir radhiyallahu ‘anhu beralasan bahwa orang-orang Anshar telah banyak berbuat baik kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, sehingga ia (Jarir radhiyallahu ‘anhu) bersumpah akan memberikan pelayanan dan penghormatan kepada orang-orang Anshar. (Lihat Shahih Muslim no. 2513)
 
Wallahu Ta’ala A’lam Bishshowab.
 
Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi y
Sumber :buletin-alilmu.com
 Judul asli: Membalas Kebaikan