Wajibkah saya menunaikan kaffarah nadzar yang hanya terbersit dalam hati (nadzar tersebut tidak saya ucapkan dengan lisan) dan apakah pilihan kaffarah juga harus urut sedangkan saya belum bekerja?
Abu Musa, Temanggung, Jawa Tengah
Dijawab Oleh: Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad Al-Makassari
Apa yang terbersit dalam qalbu (hati) tidak dianggap sebagai nadzar hingga dilafadzkan dengan lisan. Hal itu hanya sebatas niat untuk bernadzar dan tidak menjadi nadzar sampai benar-benar diucapkan dengan lisan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata dalam Syarhu Bulughil Maram1: “Nadzar adalah mewajibkan sesuatu atas dirinya, sama saja baik dengan lafadz nadzar, ‘ahd (perjanjian), atau yang lainnya.”
Dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/450-451)/Darul Atsar beliau berkata: “Nadzar menurut bahasa adalah mewajibkan, jika dikatakan: “Aku menadzarkan hal ini atas diriku” artinya “aku mewajibkannya atas diriku.”
Adapun secara syariat, nadzar adalah mewajibkan sesuatu dengan sifat yang khusus, yaitu amalan seorang mukallaf mewajibkan atas dirinya sesuatu yang dimilikinya dan bukan sesuatu yang mustahil. Suatu nadzar dianggap sah (sebagai nadzar) dengan ucapan (melafadzkannya), dan tidak ada shighah (bentuk ucapan) tertentu untuk itu. Bahkan seluruh shighah yang menunjukkan makna “mewajibkan sesuatu atas dirinya” maka dikategorikan sebagai nadzar. Apakah dengan mengucapkan:
لِلهِ عَلَيَّ عَهْدٌ
“Wajib atas diri saya suatu janji karena Allah”
atau mengucapkan:
لِلهِ عَلَيَّ نَذْرٌ
“Wajib atas diri saya suatu nadzar karena Allah,”
Ataukah lafadz-lafadz serupa yang menunjukkan bahwa seseorang mewajibkan sesuatu atas dirinya, seperti:
لِلهِ عَلَيَّ أَنْ أَفْعَلَ كَذَا
“Wajib atas diri saya untuk melakukan demikian”, meskipun tidak menyebut kata janji atau nadzar.
Berdasarkan keterangan ini, maka apa yang terbersit dalam qalbu anda tidak dianggap sebagai nadzar dan dengan sendirinya tidak ada pembicaraan tentang kaffarah nadzar. Wallahu a’lam.
Sumber: asysyariah.com