Permasalahan
Bolehkah melaksanakan sholat berjamaah di masjid yang sebelumnya telah dilakukan sholat berjamaah oleh Imam Rawatib?
Perbedaan Pendapat
- Pendapat I : Tidak boleh, atau sebaiknya tidak melakukan jamaah kedua di masjid tersebut. Ini adalah pendapat Jumhuurul Ulama’
Ulama’ yang berpendapat demikian:
Sahabat Nabi : riwayat dari Ibnu Mas’ud
Tabi’in : al-Hasan al-Bashri, Abu Qilaabah, Ibrohim an-Nakho’i, ,Nafi’ maula Ibn Umar, Salim bin Abdillah
Imam Madzhab : Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i
Ulama lain : al-Laits bin Sa’ad, al-Auza’i, dan Ibnul Mubarok (guru Al-Bukhari).
Ulama Abad ini : Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany
Dalilnya :
1). Hadits riwayat atThobarony dari Abu Bakrah:
أَنَّ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ مِنْ نَوَاحِي المَْدِيْنَةِ يُرِيْدُ الصَّلاَةَ ، فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلُّوْا ، فَمَالَ إِلَى مَنْزِلِهِ ، فَجَمَعَ أَهْلَهُ ، فَصَلَّى بِهِمْ
“Sesungguhnya Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam datang dari pinggiran Madinah menuju sholat, dan beliau mendapati manusia telah sholat, maka beliau kembai ke rumah, mengumpulkan keluarganya, dan sholat bersama mereka” (H.R atThobarony, al-Haitsamy menyatakan bahwa rijaalnya tsiqoot, dihasankan oleh Syaikh al-Albaany).
2) Hadits Muttafaqun ‘Alaih dari Abu Hurairah:
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Sungguh aku sangat berkeinginan menyuruh seseorang mencari kayu bakar kemudian dinyalakan, lalu aku perintahkan manusia shalat dan dikumandangkanlah adzan, kemudian aku perintahkan seseorang mengimami mereka. Sedangkan aku pergi kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat jama'ah) kemudian aku bakar rumah-rumah mereka (Muttafaqun ‘alih).
Sisi Pendalilan: Berdasarkan hadits ini, Nabi mengancam membakar rumah-rumah laki-laki dewasa yang tidak menghadiri sholat berjamaah di masjid. Jika memang diperbolehkan ada jamaah kedua, niscaya Nabi tidak akan mengancam membakar rumah mereka, karena jika mereka tertinggal pada jamaah pertama, mereka masih bisa mendirikan jamaah selanjutnya di masjid tersebut meskipun terlambat. Namun, hal itu tidak ditoleransi.
3). Seseorang yang datang terlambat karena udzur, kemudian mendapati jamaah telah selesai, maka ia mendapatkan pahala sholat berjamaah, meskipun sholat sendirian
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا
Barangsiapa yang berwudlu’, kemudian berangkat ke masjid, dan mendapati manusia telah sholat, maka Allah akan berikan padanya pahala seperti orang yang sholat (berjamaah) tidak dikurangi dari pahala mereka sedikitpun (H.R Abu Dawud, dishahihkan oleh alHakim, disepakati oleh Adz-Dzahaby, dishahihkan pula oleh Syaikh al-Albaany).
Atsar Pendukung (Ucapan dan Perbuatan Sahabat Nabi atau Tabi’in)
- Riwayat atThobarony dari Ibrohim an-Nakho’i:
عن إبراهيم : أن علقمة و الأسود أقبلا مع ابن مسعود إلى المسجد فاستقبلهم الناس قد صلوا فرجع بهما إلى البيت فجعل أحدهما عن يمينه والآخرة عن شماله ثم صلى بهما
Dari Ibrohim: Bahwasanya Alqomah dan al-Aswad berangkat bersama Ibnu Mas’ud menuju masjid dan mereka bertemu dengan manusia yang telah sholat, maka Ibnu Mas’ud kembali bersama mereka berdua ke rumah, dan menjadikan salah seorang di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya, kemudian sholat bersama mereka (riwayat atThobarony dalam Mu’jamul Kabiir).
- Ucapan al-Hasan al-Bashri:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم إذَا دَخَلُوا الْمَسْجِدَ وَقَدْ صُلِّيَ فِيهِ صَلَّوْا فُرَادَى
Para Sahabat Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam jika masuk masjid dan telah selesai (jamaah sholat), maka mereka sholat sendiri-sendiri (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf (2/323))
- Pendapat II : Boleh sholat berjamaah lagi bersama orang lain yang belum sholat juga, ketika jamaah pertama telah selesai.
Ulama’ yang berpendapat demikian:
Sahabat Nabi : Anas bin Malik, juga riwayat dari Ibnu Mas’ud
Tabi’in: Atha’ bin Abi Robah, Qotadah, riwayat dari alHasan al-Bashri
Imam Madzhab : Imam Ahmad
Ulama’ lain : Ishaq bin Rahuyah (salah seorang guru Imam al-Bukhari).
Ulama’ abad ini : Fatwa alLajnah AdDaaimah, Syaikh Bin Baz, Syaikh Sholih al-Fauzan, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
Dalil yang digunakan:
- Keumuman keutamaan sholat berjamaah
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Sholat berjamaah lebih utama dibandingkan sholat sendirian dengan kelipatan 27 derajat (H.R Muslim)
- Hadits Abu Sa’id al-Khudry:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ
Dari Abu Sa’id beliau berkata: Datang seorang laki-laki pada saat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam telah sholat (bersama Sahabat), maka beliau bersabda: Siapa di antara kalian yang mau (bershodaqoh) mendapatkan pahala dengan (laki-laki) ini? Maka bangkitlah salah seorang laki-laki lain kemudian sholat bersama laki-laki tersebut (H.R atTirmidzi dishahihkan oleh Syaikh al-Albaany).
Atsar Pendukung (Ucapan dan Perbuatan Sahabat Nabi atau Tabi’in)
Perbuatan Anas bin Malik:
جَاءَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جَمَاعَةً
Anas bin Malik datang ke masjid yang telah selesai ditegakkan sholat padanya, maka beliau adzan dan iqomat dan sholat berjamaah (diriwayatkan oleh alBukhari secara ta’liq dan menurut alHafidz riwayat ini dimaushulkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya, juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq)
Pendapat yang Lebih Kuat
Pendapat yang membolehkan adalah pendapat yang lebih kuat, karena:
- Hadits Abu Bakrah yang disebutkan di atas di dalamnya ada sisi kelemahan:
- Tadlis al-Walid bin Muslim.
Meskipun al-Walid bin Muslim tsiqoh, namun ia adalah mudallis (sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam Syarh Sunan Abi Dawud). Sedangkan periwayatannya tersebut adalah ‘an-anah.
- Perawi Muawiyah bin Yahya Abu Muthi’ dilemahkan oleh sebagian Ahlul Hadits, di antaranya: ad-Daruquthny menyatakan bahwa periwayatannya lebih banyak yang munkar dibandingkan periwayatan As-Shodafy. Namun, beberapa Ulama lain menyatakan ia tsiqoh, shoduq, atau laa ba’sa (tidak mengapa), di antaranya Abu Dawud, Abu Hatim, dan Yahya bin Ma’in.
Salah seorang ulama’ yang mengisyaratkan sisi kelemahan hadits tersebut di antaranya adalah al-Mubarokfury dalam Tuhfatul Ahwadzi.
- Hadits Abu Said alKhudry yang dijadikan dalil oleh pendapat yang membolehkan adalah dalil yang kuat dan tidak terbantahkan.
- Hadits Abu Hurairah tentang ancaman dibakarnya rumah-rumah orang-orang yang tidak mendatangi masjid tidak bisa dijadikan dalil tidak bolehnya melakukan jamaah ke dua, karena kalau yang harus diikuti secara mutlak adalah jamaah pertama, niscaya Nabi tidak akan menyuruh orang menjadi Imam dan beliau sendiri bersama beberapa orang berkeliling membakar rumah yang lelakinya tidak datang ke masjid, namun beliau tentunya akan mengimami sholat pertama dulu, baru setelah itu melaksanakan ancaman tersebut.
- Ucapan Hasan al-Bashri yang menyatakan bahwa para Sahabat Nabi jika mendapati jamaah sholat telah selesai, maka mereka sholat sendirian, adalah karena para Sahabat tersebut takut terhadap sulthan. Hal ini sebagaimana ucapan Al-Hasan al-Bashri yang lain:
إنَّمَا كَانُوا يكْرِهُونَ أَنْ يَجْمَعُوا مَخَافَةَ السُّلْطَانِ
Mereka membenci membuat sholat jamaah (baru) hanya karena takut pada sulthan (riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf (2/322))
- Perbuatan Ibnu Mas’ud sebagaimana disebutkan dalam atsar tersebut adalah ijtihad beliau, dan berbeda dengan yang dilakukan oleh Anas bin Malik.
Faidah dan Kesimpulan
Kebolehan melakukan sholat berjamaah baru di masjid yang sama setelah selesainya sholat berjamaah bersama Imam Rowatib harus memperhatikan hal-hal berikut:
- Seseorang harus senantiasa bersemangat untuk tidak ketinggalan sholat jamaah yang pertama bersama Imam Rowatib. Tidak boleh bermalas-malasan dan menunggu sampai selesainya jamaah sholat pertama dengan alasan masih diperbolehkannya membuat jamaah baru setelahnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ
Kalau seandainya manusia mengetahui keutamaan (besar) yang ada pada adzan dan shof yang pertama, kemudian mereka tidak mendapatinya kecuali harus diundi, niscaya mereka akan mengundinya, kalau seandainya mereka mengetahui keutamaan yang besar dalam datang di awal waktu sholat niscaya mereka akan berlomba-lomba (Muttafaqun ‘alaih).
- Jika dua orang atau beberapa orang datang mendapati jamaah sholat (bersama Imam rowatib) sedang tahiyyat akhir, sebaiknya mereka bergabung dalam jamaah sholat tersebut dan tidak membuat jamaah baru, karena hadits Nabi:
إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Jika kalian mendatangi sholat, hendaknya tenang. Apa yang kalian dapatkan maka sholatlah, dan apa yang tidak kalian dapatkan, maka sempurnakan (Muttafaqun ‘alaih).
Syaikh Bin Baz berdalil dengan hadits ini untuk menunjukkan bahwa lebih utama bagi mereka ikut bersama jamaah pertama yang hampir mengakhiri sholat (Lihat Majmu’ Fataawa Bin Baaz juz 12 halaman 158).
- Tidak diperbolehkan bagi sekelompok orang menyengaja terlambat untuk membikin jamaah baru sebagai suatu kebiasaan, apalagi karena merasa berbeda madzhab dengan Imam, sehingga masing-masing membikin jamaah sendiri sesuai madzhabnya. Hal ini adalah salah satu bentuk sikap memecah belah kaum muslimin yang terlarang.
- Hendaknya seseorang bersemangat untuk tetap sholat berjamaah. Jika ia mendapati jamaah sholat yang bersama Imam rowatib telah selesai, maka ada beberapa hal yang bisa ia lakukan:
- Jika ada orang lain yang baru datang dan juga belum sholat berjamaah, ia bisa sholat berjamaah bersamanya, atau ada seseorang yang telah sholat berjamaah akan sholat bersama dia dengan penuh kerelaan sebagai shodaqoh.
- Jika ia tidak mendapati adanya orang di masjid tersebut yang bisa diajak sholat berjamaah, maka sebaiknya ia pulang ke rumah, jika di rumah ia bisa mendapati orang yang bisa diajaknya sholat berjamaah. Sebagaimana yang dilakukan Ibnu Mas’ud bersama Alqomah dan al-Aswad.
- Jika dia tidak bisa mendapati orang yang bisa diajak sholat berjamaah di masjid ataupun di rumah, maka lebih utama ia sholat sendirian di masjid, dibandingkan ia sholat sendirian di rumah, karena Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
…karena sesungguhnya sholat yang paling utama dilakukan seseorang laki-laki adalah di rumahnya kecuali sholat wajib” (H.R al-Bukhari)
- Tidak boleh memaksakan kehendak dalam perbedaan pendapat semacam ini. Jika kita mengetahui dengan pasti bahwa Imam Rawatib tidak suka adanya jamaah baru di masjid tersebut, sebaiknya hal tersebut tidak dilakukan.
Wallaahu Ta’ala A’lam Bisshowaab (Abu Utsman Kharisman)
Daftar Rujukan:
Tamaamul Minnah karya Syaikh al-Albaany
Tuhfatul Ahwadzi syarh Sunan atTirmidzi karya alMubarakfuri
Fatwa al-Lajnah adDaaimah
Majmu’ Fataawa Ibn Baaz
Sumber:
http://itishom.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=9:sholat-jamaah-kedua-dalam-satu-masjid-&catid=2:fiqh&Itemid=3