Pengantar
Kajian tentang keterkaitan Ibnu Taimiyah dengan Tasawuf memang menarik untuk dibahas.tentu saja, pro-kontra terkait sosok pria agung ini dalam berinteraksi dengan Tasawuf kerap menjadi buah bibir. Dikalangan tasawuf, beliau sering mendapat celaan dan fitnah, bahkan sebagian kisah hidup beliau dibalik terali besi adalah ulah tokoh-tokoh Shûfî yang mengusulkan pemenjaraannya kepada Amir kala itu. Kisah ini terekam dalam kitab al-Bidâyah Wannihâyah karangan Muridnya dimana ibnu Athoillah Al Sakandarî menjadi biang keladi pemenjaraan beliau di Mesir pada tahun 707 Hijriah. Bukan itu saja, beberapa tokoh Shûfî modern terkadang mencoba memberikan sentuhan lain terkait interaksi Ibnu Taimiyah dengan Tasawuf dimana beliau diposisikan juga sebagai seorang Shûfî karena pembelaan atau fatwa-fatwa beliau yang berpihak kepada Shûfî dan beberapa Ijazah yang beliau dapat dari masyaikh Shûfî. Sebagai contoh di dalam Majmu Fatâwa 11/16 ketika sebagian orang yang ghuluw memutlakkan kata Shiddiqqin kepada Shûfî dalam Surat al-Nisa ayat 69 :
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Beliau memperincinya dengan mengatakan :
هو ـ أي الصوفي ـ في الحقيقة نوع من الصديقين فهو الصديق الذي اختص بالزهد والعبادة على الوجه الذي اجتهدوا فيه فكان الصديق من أهل هذه الطريق كما يقال : صديقو العلماء وصديقو الأمراء فهو أخص من الصديق المطلق ودون الصديق الكامل الصديقية من الصحابة والتابعين وتابعيهم فإذا قيل عن أولئك الزهاد والعباد من البصريين أنهم صديقون فهو كما يقال عن أئمة الفقهاء من أهل الكوفة أنهم صديقون أيضاً كل بحسب الطريق الذي سلكه من طاعة الله ورسوله بحسب اجتهاده وقد يكونون من أجلّ الصديقين بحسب زمانهم فهم من أكمل صديقي زمانهم والصديق من العصر الأول أكمل منه
“Kelompok ini (Shufi-pent) sebenarnya adalah salah satu bagian dari golongan ‘Shiddiqun’. Ia adalah ‘shiddiq’ yang memberikan perhatian khusus terhadap kezuhudan dan ibadah secara sungguh-sungguh. Maka seorang ‘shiddiq’ juga ada yang menjadi penempuh jalan ini, sebagaimana juga ada ‘shiddiq’ dari kalangan ulama dan umara’. Jenis (manusia) ‘shiddiq’ ini lebih khusus dari (manusia) ‘shiddiq’ secara mutlak, namun tetap berada di bawah para (manusia) ‘shiddiq’ yang sempurna ke’shiddiq’annya, dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Maka jika para ahli zuhud dan ibadah dari Bashrah itu disebut sebagai para ‘shiddiqun’, maka para imam dan fuqaha’ dari Kufah pun disebut sebagai para ‘shiddiqun’. Setiap mereka (menjadi ‘shiddiqun’) sesuai dengan jalan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya yang mereka tempuh dengan kemampuan mereka. Sehingga (dapat disimpulkan) bahwa mereka –para Shûfî- adalah manusia ‘shiddiq’ paling sempurna di zamannya, meski para ‘shiddiqun’ generasi awal lebih sempurna dari mereka
Secara ekstrim mereka bahkan menisbatkan Ibnu Taimiyah dengan keyakinan bid’ah tabaruk karena perbuatan orang awam yang meminum air bekas pemandian jenazah beliau.
[1]DR Alawi Maliki malah mengaitkan beliau sebagai orang yang menguatkan hadits Tawasul Nabi Adam Alaihissalam dengan hanya menyitir tulisan beliau dalam Majmu Fatâwa.
[2]Dilain Pihak, kaum Salafy memposisikan diri sebagai musuh kaum Shûfî dengan permusuhan yang nyaris merata pada seluruh pemahamannya atau paling tidak begitulah yang terlihat secara nyata dalam buku-buku yang dikarang oleh mereka.
Tulisan ini saya tujukkan untuk mengulas pendapat-pendapat ibnu Taimiyah dengan harapan ada kesimpulan yang adil antara dua pihak yang bersebrangan ini dengan prinsip berimbang serta jauh dari ifrath dan tafrith
Definisi Tashawwuf Menurut Ibnu Taimiyah
Sebagaimana diketahui, bahwa para peneliti tentang Tasawuf memiliki pandangan yang berbeda tentang asal kata yang membentuk frase Tasawuf . Berbagai pertanyaan pun lahir dari masalah ini; apakah “Shûfî” adalah kata asli bahasa Arab atau kata asing yang ‘diarabkan’? Jika ia adalah kata asing, dari bahasa manakah ia berasal? Jika ia adalah kata asli bahasa Arab, apakah ia kata yang jamid atau musytaq?
Perdebatan seputar asal pembentukan “Tasawuf” atau “Shûfî” ini juga diulas oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ulasannya, ia menguraikan berbagai pandangan yang ada dalam masalah ini, mendiskusikannya lalu kemudian menyampaikan pandangannya sendiri yang disertai dengan dalil dan argumentasinya. Dari semua pendapat yang ada, umumnya kritik yang dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah berkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam penisbatan sebuah kata untuk kemudian menjadi “Shûfî”. Meski terkadang kritiknya juga terkait dengan wawasannya tentang sejarah.
Salah satu contohnya adalah ketika ia mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa “Shûfî” adalah penisbatan kepada Ahl al-Shuffah. Ibnu Taimiyah mengatakan,:
فقيل: إنّه نسبة إلى”أهل الصفّة” وهو غلط؛ لأنّه لو كان كذالك لقيل : صفّي
“dikatakan: Dia (Shûfî) adalah penisbatan kepada ‘al-Shuffah’, namunhal itu adalah sebuah kekeliruan. Sebab jika demikin, maka seharusnya menjadi ‘shuffy’ صفّي , (
padahal lafadz seharusnya adalah صوفي.-pent[3])
Di samping itu, ia juga menafikan –berdasarkan fakta sejarah- pendapat ini dengan menyatakan bahwa
Shuffah yang terletak di bagian selatan Mesjid Rasulullah saw kala itu bukanlah tempat yang khusus dihuni oleh kelompok tertentu. Tempat itu sepenuhnya untuk orang-orang yang datang ke Madinah sementara mereka tidak mempunyai keluarga atau rumah di Madinah. Kaum muslimin yang berasal dari luar Madinah jika berkunjung ke kota itu dapat menginap di mana saja, dan
Shuffah menjadi alternatif terakhir bila mereka tidak menemukan tempat bernaung. Karena itu –menurut Ibnu Taimiyah- penghuni
Shuffah selalu berganti. Terkadang jumlahnya banyak, tapi pada kali yang lain menjadi sedikit. Karakternya pun berbeda-beda; ada yang ahli ibadah dan ilmu, namun ada pula yang tidak demikian. Bahkan, diantara mereka kemudian ada yang murtad dan diperangi oleh Nabi saw. Karena itu, tidak ada alasan untuk menisbatkan “Shûfî” kepada
Ahl al-Shuffah.[4]Pada akhirnya, Ibnu Taimiyah lebih menguatkan pandangan yang menyatakan bahwa “Shûfî” adalah sebuah penisbatan pada pakaian dari bulu domba yang dikenal dengan
shuf ( صوف ). Di samping karena alasan kaidah kebahasaan dan sejarah, dari segi fakta, inilah yang ma’ruf karena para Shûfî dan zuhhâd banyak mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba.
Beliau mengatakan:
وقيل-وهو المعروف-: إنّه نسبة إلى لبس الصوف؛ فإنة أوّل ما ظهرت الصوفيّه من البصرة، وأوّل من بنى دويرة الصوفية بعض أصحاب عبد الواحد بن يزيد وعبد الواحد من أصحاب الحسن، وكان في البصرة من المبالغة في الزهد والعبادة والخوف ونحو ذالك مالم يكن في سائر أهل الأمصار؛ ولهذا يقال: فقيه كوفي، وعبادة بصريّة
Dikatakan-dan ini yang terkenal-: shûfi adalah penisbatan kepada pakaian dari bulu domba; Awal mula munculnya Shûfîyah adalah dari Bashrah, dan yang pertama kali membangun rumah kecil untuk kaum Shûfî adalah beberapa orang pengikut Abd al-Wahid bin Zaid. Abd al-Wahid bin Zaid ini adalah salah satu murid dari al-Hasan al-Bashri. Saat itu perhatian pada kezuhudan, ibadah, khauf, dan yang semacamnya di Bashrah sangat berlebihan melebihi kota-kota lain. Itulah sebabnya muncul pameo: ‘fikihnya fikih Kufah, tapi ibadahnya ibadah Bashrah’.[5]
Namun, Ibnu Taimiyah memberikan catatan penting yang patut direnungkan. Ia mengingatkan bahwa mengenakan model pakaian tertentu (seperti yang terbuat dari bulu domba) sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai tanda atau bukti kewalian seseorang. Ia mengatakan,
“Para wali Allah sama sekali tidak memiliki ciri yang menjadi kekhasan mereka secara lahiriah dari hal-hal yang mubah. Mereka tidak menjadi beda dengan mengenakan model pakaian tertentu lalu meninggalkan model yang lain, selama keduanya adalah perkara yang mubah.[6]”
Hal ini mengantarkan pada kesimpulan lain bahwa dalam hal ini, Ibnu Taimiyah lebih mementingkan ‘isi’ dan ‘kandungan’ yang sesungguhnya daripada harus mementingkan penampilan lahiriah. Itulah sebabnya, dalam mengulas tentang Tasawuf, ia tidak terpaku pada istilah ini secara baku. Ia juga menggunakan istilah “al-Fuqara’” (kaum fakir), “al-Zuhhad” (kaum pelaku kezuhudan), “al-Salikin” (para penempuh jalan menuju Allah), “Ashab al-Qalb” (pemerhati dan pemilik hati), “Arbab al-Ahwal” (para penempuh ahwal), “Ashab al-Shufiyah” (pelaku jalan Shûfî), atau Ashab al-Tashawwuf al-Masyru’ (pelaku Tasawuf yang disyariatkan); semuanya untuk menunjukkan satu makna, yaitu para penempuh jalan ruhani dalam Islam. Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa jalan ruhani ini samasekali tidak menjadi monopoli kelompok tertentu. Para ulama, qurra’ dan yang lainnya pun dapat dikategorikan sebagai para penempuh jalan ini, sebab –baginya- Islam adalah sebuah keutuhan antara zhahir dan bathin, jiwa dan raga.
Pembagian Shûfî Menurut Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah, para Shûfî itu dapat dibagi menjadi 3 golongan:
1. Shûfî yang hakiki (shufiyyah al-haqa’iq)
2. Shûfî yang hanya mengharapkan rezki (shufiyyah al-arzaq)
3. Shûfî yang hanya mementingkan penampilan (shufiyyah al-rasm)
Shûfî yang hakiki
menurutnya adalah mereka yang berkonsentrasi untuk ibadah menjalani kezuhudan di dunia. Mereka adalah orang-orang yang memandang bahwa seorang Shûfî adalah “orang yang bersih (hatinya) dari kotoran, dipenuhi dengan tafakur, dan yang menjadi sama baginya nilai emas dan batu.”
[7] Menurut Ibnu Taimiyah, seorang Shûfî yang hakiki haruslah memenuhi 3 syarat berikut:
1. Ia harus mampu melakukan “keseimbangan syar’i”. Yaitu dengan menunaikan yang fardhu dan meninggalkan yang diharamkan. Dengan kata lain, seorang Shûfî yang hakiki harus komitmen dengan jalan taqwa.
2. Ia harus menjalani adab-adab penempuh jalan ini. Yaitu mengamalkan adab-adab syar’i dan meninggalkan adab-adab yang bid’ah. Atau dengan kata lain, mengikuti adab-adab al-Qur’an dan sunnah Nabi saw.
3. Bersikap zuhud terhadap dunia dengan meninggalkan hal-hal yang tidak ia butuhkan dan menyebabkannya hidup berlebihan.
Adapun shufiyyah al-arzaq (yang hanya mengharapkan rezki) adalah mereka yang bergantung pada harta-harta wakaf yang diberikan kepada mereka.
Sedangkan
shufiyyah al-rasm adalah sekumpulan orang yang merasa cukup dengan menisbatkan diri kepada Shûfî. Bagi mereka yang penting adalah penampilan dan perilaku lahiriah saja, tidak hakikatnya. Menurut Ibnu Taimiyah, mereka ini sama dengan orang yang merasa cukup berpenampilan seperti ulama –hingga menyebabkan orang bodoh menyangka mereka benar-benar ulama, padahal sebenarnya bukan.
[8]Dengan pembagian ini, kita dapat mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah telah mencermati perkembangan Tasawuf dari waktu ke waktu. Dalam hal ini, ia seperti menegaskan adanya semacam pergeseran dalam memahami Tasawuf yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, -sebagaimana telah disinggung sebelumnya- bagi Ibnu Taimiyah, wali Allah yang hakiki itu tidak memiliki model penampilan khusus yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Mengapa? Karena –menurutnya- para wali itu sebenarnya tersebar dan ada dalam setiap kelompok dan lapisan masyarakat yang berpegang teguh pada Syariat Allah yang benar dan meninggalkan bid’ah. Mereka ada di tengah para ulama,
qurra’, prajurit yang berjihad, atau profesi-profesi lainnya. Para wali itu bergerak menunaikan kewajiban duniawi mereka dengan tidak melepaskan penghambaan mereka kepada Allah
Ta’ala.[9]Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyah juga mengkritik para Shûfî yang hanya memberikan perhatian terhadap ranah ruhani saja, tanpa memperhatikan ranah lahiri dan sosial. Baginya, ketimpangan yang terjadi pada salah satu dari sisi ruhani dan lahiri akan mengakibatkan munculnya sebuah bid’ah baru. Sebab Islam sesungguhnya menyerukan kesalehan masyarakat manusia yang utuh,
zhahir dan
bathin. Seorang Shûfî yang sempurna menurutnya harus mampu menyelaraskan amalan hati dengan amalan duniawi. Ia menyebutnya dengan,
“Dunia berkhidmat untuk dien (agama).”[10]
Pendapat Ibnu Taimiyah Terhadap beberapa Tokoh
Salah satu Kontroversi ibnu Taimiyah terkait interakasinya dengan Shûfî adalah beberapa pendapatnya yang menyesatkan bahkan melakukan takfir terhadap beberapa tokoh yang dianggap sebagai pemuka kaum Shûfî, disisi lain dia juga memuji beberapa tokoh lain yang juga dianggap sebagai pemuka kaum Shûfî. Pendapat beliau tentang tokoh-tokoh tersebut antara lain;
- Al HallajBeliau berkata:
Beberapa orang dari kalangan ahli bid’ah dan zindiq telah menisbatkan diri sebagai seorang shûfî, tetapi menurut pandangan beberapa ahli tahqiq dari kalangan Tashawuf, mereka bukan termasuk Shûfî: misalnya al-Hallâj, sesungguhnya sebagian besar syaikh Thariqat mengingkarinya serta mengeluarkannya dari thariqat. Mereka adalah al Junaid bin Muhammad sayyid Al thâifah dan lainnya. Hal itu disebutkan oleh Syaikh Abu Abd al Rahmân al Sulamî dalam kitab Thabaqât al Shûfiyyah dan juga disebutkan oleh al Hâfiż Abû Bakr al Baghdâdî dalam kitab târîkh Baghdad.[11]
- Ibnu ArabiBagi siapapun yang menggeluti Kitab-kitab Ibnu Taimiyah niscaya Ia akan menemukan bahwa Ibnu Taimiyah amat bersemangat dalam memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya paham kafir ibnu Arabi dan tak pernah diriwayatkan bahwa beliau mementahkan kecaman serta pengkafirannya terhadap ibnu Arabi. Beliau telah menulis panjang lebar sebuah risalah khusus tentang ibnu Arabi sebagai bantahan terhadap keyakinannya yang menyatakan bahwa Fir’aun termasuk mukmin. Syaikh Abdurrahman bin Abdul khalik telah menulis sebuah kitab kecil tentang pertentangan antara ibnu Taimiyah dan Ibnu Arabi terkait paham wihdatul wujud yang dipeluk oleh Ibnu Arabi. Dalam Majmu Fatawa disebutkan bahwa Ibnu Taimiyah telah mengkafirkan Ibnu Arabi sekalipun begitu banyak kutipan kata-kata mutiaranya yang membuatnya lebih dekat dengan Islam.[12]
- Syaikh Abdul Qadir Jailâni, al- Junaid, dllBeliau berkata:
Para Imam kaum Shûfî dan para syaikh mereka yang terkenal seperti al Junaid bin Muhammad dan para pengikutnya, Syaikh Abd al Qâdir dan semisalnya. Mereka adalah termasuk orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan .
selanjutnya beliau mengatakan :Seluruh perkataan Syaikh Abdul Qâdir Jailanî terkait dengan ittiba kepada perintah dan meninggalkan larangan serta sabar atas apa yang telah ditakdirkan.[13]
Dalam tempat lain beliau mengatakan :
Siapapun dari kalangan tashawwuf dan Ma’rifah yang menempuh jalan al-Junaid, maka dia telah mendapat petunjuk, sukses, dan berbahagia.[14]
Dalam tempat lain beliau mengatakan: al junaid dan semisalnya merupakan Imam yang telah mendapat petunjuk, Siapapun yang menyelisihinya adalah sesat.[15]
Kesimpulan
Para pembaca mungkin sedikit bingung atau agak terkesan dengan sikap ibnu Taimiyah terhadap Shûfîsme, karena mungkin tidak sesuai dengan apa yang digambarkan sebelumnya. Jika Ibnu Taimiyah terkesan membela dan memuji beberapa hal terkait dengan Shûfîsme, maka pastikan bahwa itu adalah Shûfî jenis pertama yang disebut ibnu taimiyah dengan istilah shufiyyah al-Haqa’iq. Namun jika dilain tempat Ibnu Taimiyah berbicara keras terhadap Shûfî atau tokohnya seperti Ibnu Arabi dan Al Hallaj maka Itu karena mereka termasuk kaum zindiq yang belakangan dinisbahkan sebagai Shûfî atau mereka termasuk shufiyyah al-Arzaq dan atau shufiyyah al-Rasm yang ingin berbagi pujian sebagai orang shâleh namun sebenarnya hanya mencari keuntungan dunia.
Lalu bagaimana dengan kaum Salafy yang terkesan meratakan Shûfîsme sebagai kesesatan, maka saya katakan hal itu dikarenakan di zaman ini terlalu sulit menemukan Shûfîsme yang tidak identik dengan pengagungan terhadap Ibnu Arabi dan al Hallaj serta pembolehan terhadap praktek-praktek yang menjurus kepasa kesyirikan atau bahkan murni kesyirikan.
Adapun sebagian penulis dari kalangan shûfî yang mengatakan bahwa ibnu Taimiyah adalah seorang shûfî lalu mengaitkannya dengan praktek bid’ah, maka dapat dipastikan bahwa mereka memotong-memotong fatwa Ibnu Taimiyah dan atau menggunakan fatwa tersebut tidak pada tempatnya untuk menggambarkan seolah ada perbedaan antara pengikutnya dengan ibnu taimiyah sendiri. Bagi orang yang mencintai beliau, maka tidak ada cara lain kecuali merujuk kitab-kitab beliau dan bertanya kepada ahli ilmu.
Perkataan paling tepat tentang Shûfî adalah sebagaimana yang dikatakan ibnu Taimiyah:
“Banyaknya hal-hal yang terjadi terkait ijtihad dan perselisihan tentang mereka membuat Orang-orang berselisih pendapat mengenai tasawuf. Sebagian mencela tasawuf seraya berkata bahwa Mereka adalah ahli bid’ah yang telah keluar dari Sunnah. Dari para imam yang mewakili kelompok ini kita dapatkan banyak fatwa yang kemudian banyak diikuti oleh kelompok lain terutama dari kalangan ahli fiqh dan ilmu kalam. Sementara kelompok yang lain memujinya secara berlebihan seraya mengatakan bahwa ahli tasawuf adalah makhluk yang paling mulia dan sempurna setelah Nabi. Apa yang dikemukakan oleh kedua kelompok ini sama-sama tercela.
Yang benar, mereka adalah Mujtahid dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu Wataala sebagaimana orang-orang yang taat kepada Allah, diantara mereka ada yang mendahului (dalam kebaikan-pent) dan dekat sesuai dengan ijtihadnya, sebagian lagi berada dipertengahan yang merupakan golongan kanan, kedua golongan tersebut kadang-kadang berijtihad kemudian salah. Diantara mereka juga ada yang berdosa lalu bertaubat atau tidak bertaubat. Orang yang mengaku bagian dari tashawuf juga ada yang mendzolimi diri mereka sendiri serta berbuat maksiat kepada Rabbnya.[16] Wallahu a’lam
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/05/20/menyingkap-kesufian-ibnu-taimiyah/
Disadur dari tulisan : TASAWUF IBNU TAIMIYAH dengan berbagai perubahan sesuai dengan misi blog ini
Oleh : Abu Miqdad Al Maidany
[1] Al-Bidayah wannihayah, peristiwa-peristiwa tahun 728 Hijriah. yang saya maksud disini adalah tabarruk dengan benda,waktu, dan tempat yang tidak warid dari Rasulullah Shallallâhu alaihi Wasallam, adapun yang warid dari Rasulullah shallallâhu alaihi Wasallâm dan dilakukan sesuai petunjuk beliau, maka hal itu
masyru’ dan sunnah dilakukan
[2] Mafâhîm Yajib ‘an tushohhâh, penisbatan ini telah dibantah oleh Syaikh Shâlih alu Syaikh dalam kitab Hâżihi Mafâhîmunâ; hadits tersebut dinyatakan secara tegas kelemahannya dalam bantahannya terhadap al Bakrî
[4] al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan hal. 36-37.
[6] al-Furqân baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithân, hal. 36
[8] Majmu’ al-Fatawa 11/19-20 [9] Al-Furqan baina Auliya’ al-Rahman wa Auliya’ al-Syaithan, hal. 58.
[10] Al-Siyasah al-Syar’iyyah, hal. 179.
[12] Majmû Fatâwa 2/143, 2/368
[16] Majmû Fatâwa 11/18. dari susunan kata-katanya, beliau terlihat melakukan iqtibas dalam memberi kesimpulan ini berdasarkan surat Fathir ayat 32