Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabil ‘alamin, semoga shalawat dan salam senantiasa terus dilimpahkan kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, amma ba’du.
Telah menjadi sesuatu yang lumrah ketika seorang Indonesia mengartikan Dhabb (الضَبُّ ) dengan kata biyawak, baik itu dalam buku terjemahan, artikel, majalah, ataupun bentuk-bentuk media tulis lainnya. Padahal ini merupakan kekeliruan yang sangat fatal, yang nantinya berakibat pada penghalalan daging biyawak itu sendiri. Hal tersebut telah diakui oleh kita sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, bahwasanya penghalalan sesuatu yang Allah dan Rasul Nya haramkan atau sebaliknya, merupakan salah satu bentuk dari praktek kekufuran.
Salah satu penyebab kekeliruan tersebut karena kebanyakan orang Indonesia dalam menerjemahkan kata-kata bahasa arab terlalu bergantung pada kamus-kamus terjemah yang ada. Misalnya kamus Al Munawwir, yang mana didalamnya tidak sedikit terdapat kekeliruan (tidak sesuai) didalam penterjemahan dari bahasa arab ke dalam bahasa Indonesia. Faedah yang dapat diambil, bahwa tidak semua bahasa arab bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara mutlak.
Maka dengan risalah ini penulis ingin mencoba meluruskan kekeliruan yang ada. Wallahul muwaffiq.
APA ITU DHABB?
Untuk mengetahui apa itu dhabb, pembaca -semoga diberkahi Allah- bisa membuka Kitab Al Hayawan karya Abu ‘Utsman ‘Amr bin Bahr Al Jahizh yang terdiri dari delapan jilid atau Tajul ‘Arus karya Murtadha Az Zabidi ataupun kamus arab lainnya . Di dalam dua kitab itu disebutkan tentang apa itu dhabb terlebih lagi pada kitab yang pertama, disana kita bisa mengetahui banyak tentang dhabb.
Dan disini penulis hanya mencukupkan beberapa keterangan saja , diantaranya:
- Dhabb adalah hewan reptil yang hidup di gurun pasir,
- termasuk dari hewan darat bukan laut atau air,
- termasuk dari jenis hewan darat yang kepalanya seperti ular,
- umurnya panjang,
- sekali bertelur bisa mencapai 60 sampai 70 butir dan telurnya menyerupai telur burung merpati,
- warna kulitnya bisa berubah dikarenakan perubahan cuaca panas,
- tidak meminum air bahkan mencukupkan dirinya dengan keringat,
- ekor adalah senjatanya,
- gigi-giginya tumbuh berbarengan,
- mempunyai 4 kaki yang mana semua telapaknya seperti telapak tangan manusia,
- sebagiannya ada yang mempunyai dua lidah,
- hewan yang dimakan hanya belalang,
- terkadang memakan anaknya sendiri,
- makan tetumbuhan sejenis rumput,
- menyukai kurma,
- sebagian orang arab merasa jijik dengannya.
Pernah pada suatu kesempatan saya bertanya kepada Syaikhuna Shalih Abdul Aziz Al Ghusn (hafizhahullah),
Seperti apa dhabb itu?,
beliau menjawab: “dhabb adalah hewan barr (padang pasir) yang berjalan diatas perutnya”.
Apakah dhabb bertaring?,
beliau menjawab: “dhabb tidak bertaring, hewan ini memakan rerumputan dan tidak meminum air, dan sebagian orang memakan dagingnya”.
APA ITU BIYAWAK?
Berbeda dengan dhabb, diantara keterangan tentang biyawak adalah sebagai berikut:
- biyawak adalah hewan reptil persis seperti komodo akan tetapi ukurannya lebih kecil,
- hidup di gua-gua kecil pinggiran sungai,
- bisa berenang di air dan berjalan di darat seperti halnya buaya,
- makanannya adalah daging karena hewan ini termasuk dari jenis karnivora,
- dia memangsa santapannya (hewan-hewan yang dimakannya seperti katak, tikus, ayam atau burung sekalipun) dengan gigi taring,
- ciri fisiknya mirip dengan komodo dari mulai bentuk perut, leher, kepala, ekor, sampai gaya berjalannya.
Penulis sengaja tidak mencari referensi tentang apa itu biyawak dari kamus-kamus binatang, dikarenakan penulis pernah langsung memelihara hewan tersebut.
DAGING DHABB HALAL DIMAKAN
Berikut ini adalah beberapa hadits yang menjadi dalil akan kehalalan daging dhabb :
عن ابْن عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم:
(الضَبُّ لَسْتُ آكِلَهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ).
Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhainya-, ia berkata: telah bersabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
“Aku tidak memakan dhabb dan aku tidak mengharamkannya.”
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما، عَنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ:
أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَيْتَ مَيْمُوْنَةَ، فَأُتِيَ بِضَبٍّ مَحْنُوْذٍ، فَأَهْوَى إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِيَدِهِ، فَقَالَ بَعْضُ النِّسْوَةِ: أَخْبِرُوْا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَا يُرِيْدُ أَنْ يَأْكُلَ، فَقَالُوْا: هُوَ ضَبٌّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَرَفَعَ يَدَهُ، فَقُلْتُ: أَحَرَامٌ هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: (لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ، فَأَجِدُنِيْ أَعَافُهُ). قَالَ خَالِدٌ: فَاجْتَرَرْتُهُ فَأَكَلْتُهُ، وَرَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-, dari Khalid bin Walid -semoga Allah meridhainya-: bahwasanya ia bersama Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masuk ke rumah Maimunah -semoga Allah meridhainya-, lalu didatangkan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- daging dhabb panggang, kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melayangkan tangannya kearah daging tersebut, lalu sebagian kaum wanita berkata:
“Beritahu Rasulullah atas apa yang akan dimakannya”,
maka para sahabat berkata:
“Wahai Rasulullah! Itu adalah daging dhabb”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat tangannya, lalu aku -Khalid- bertanya: “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?”,
kemudian Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Tidak, akan tetapi hewan ini tidak ada di tanah kaumku dan aku memperbolehkannya”,
Khalid berkata:
“Aku pun mengambilnya lalu memakannya dan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihatnya”.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ. قَالَ:
سَأَلَ رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، عَنْ أَكْلِ الضَّبِّ؟ فَقَالَ:
(لاَ آكِلُهُ وَلاَ أُحَرِّمُهُ).
Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata:
“Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya ketika sedang berada di atas mimbar tentang memakan dhabb, lalu Beliau menjawab:
“Aku tidak memakannya dan tidak mengharamkannya”.
عن ابْن عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ مَعَهُ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فِيْهِمْ سَعْدٌ. وَأُتُوْا بِلَحْمِ ضَبٍّ. فَنَادَتِ امْرَأَةٌ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّهُ لَحْمُ ضَبٍّ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (كُلُوْا، فَإِنَّهُ حَلاَلٌ. وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِيْ).
“Dari Ibnu ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-: bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama beberapa orang dari sahabatnya -semoga Allah meridhai mereka-, diantaranya adalah Sa’d. Didatangkan kepada mereka daging dhabb, lalu ada seorang wanita berteriak:
“Itu adalah daging dhabb”,
kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Makanlah oleh kalian, karena sesungguhnya daging ini halal. Akan tetapi bukan dari makananku”.
DAGING BIYAWAK HARAM DIMAKAN
Berbeda dengan dhabb, dikarenakan biyawak termasuk dari jenis hewan buas dan bertaring, maka masuk kepada larangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits-hadits berikut ini:
عَنِ الزُّهْرِيْ:
نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.
Dari Az Zuhri:
“Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang setiap yang bertaring dari hewan buas (untuk dimakan.pent)”.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.
Dari Abu Tsa’labah Al Khusyni:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk memakan setiap yang bertaring dari hewan buas”.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ :
عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ (كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، فَأَكْلُهُ حَرَامٌ).
Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya bersabda:
“Setiap yang bertaring dari hewan buas, maka memakannya adalah haram”.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ. وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.
Dari Ibnu ‘Abbas -semoga Allah meridhai keduanya-:
“Bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan dari setiap burung yang bercakar (yakni untuk dimakan.pent)”.
Kesimpulannya, bahwa kata dhabb dalam bahasa arab tidak bisa kita artikan biyawak dalam bahasa Indonesia, karena keduanya adalah hewan yang saling berbeda. Dan kita di Indonesia tidak bisa mendapatkan satu ekor pun dhabb, karena memang disini bukanlah habibatnya. Sehingga kita ketahui dengan dalil-dalil yang ada bahwa daging dhabb halal untuk dimakan, adapun biyawak tidak, yakni daging biyawak haram untuk dimakan karena masuk pada hewan bertaring yang Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang umatnya untuk memakannya.
Semoga risalah ini menjadi secercah sinar yang bermanfaat untuk kaum muslimin.
Wal ‘ilmu ‘indallah, wallahu a’lam bish shawab.
Yang senantiasa mengharap ridha dan ampunan Rabbnya,
Syuhada Abu Syakir AlIskandar AlJawaghy AsSalafy
Hayy Ar Royyan, Ad Da`iriy Asy Syarqiy, Riyadh, KSA.
http://adhwaus-salaf.or.id/2010/02/11/halalkah-daging-biyawak/