Bismillahirrahmanirrahim.
Kaidah dalam beribadah
َالأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ
"Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali yang ada dalil yang memerintahkan"
Ada beberapa dalil , diantaranya adalah ayat Al Qur'an surah al Hujurat :1
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[1407] dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)
[1407] maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan RasulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah dari Allah dan tuntunan dari Rasulullah.
فاَ الأَصْلُ في الْعِبَادَتِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ اْلأَمْرِ
"Hukum asal dari ibadah adalah batal, hingga tegak dalil (argument) yang memerintahkannya" ( Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 44 dan Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'ien Juz 1 hal. 344, Dar al Fikr, Beirut))
Ibadah pada dasarnya adalah haram dan batal. Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu yang batal, tidak syah, tidak berguna dan sia-sia.
Hukum haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah apabila ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.. Apabila tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya atau apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah) melakukannya, ia kembali kepada hukum asal HARAM.
اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ التَّوْقِيِفُ وَاْلإِ تِّبَاعُ
"Hukum asal ibadah adalah tauqif dan ittiba' ( bersumber pada ketetapan Allah dan mengikuti Rasul) ( Abdul Hamid Hakim dalam al Bayan : 188)
Dalinya berdasarkan hadits :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang membuat suatu amalan dalam agama kita ini yang tidak ada tuntunannya (contohnya), maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Bukhori no. 2679. HR. Muslim no. 1718). (Hadits Shahih)
Hukum-hukum dalam beribadah sudah baku, hak mutlak / otoritas Allah (karena Dia- lah yang menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat” dari Allah dengan cara mengikuti Rasulullah, manusia hanya menjalankan sesuai isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih). Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai, ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.
اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ
" Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada) perintah"
Dalilnya adalah :
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (QS. Az Zumar : 11)
Tanpa adanya perintah Allah atau dari Rasul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ? Kalau bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara beribadah sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat cara beribadah dan cara menyembah kepada Allah hanyalah Allah semata.
Maka tidak boleh melakukan suatu ibadah, walaupun (cara /model ibadah tanpa dasar tadi) dipandang baik oleh orang [baca : bid'ah hasanah] dan dilakukan oleh orang banyak. Lebih baik diam (tidak mengerjakan) apabila tidak tahu dalilnya, atau bertanya kepada yang mengetahui hukumnya.
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." [ QS. Al An'am : 116]
Dalam ibadah jangan mengikuti persangkaan atau perasaan. Ah ! itukan baik !, yang penting niatnya baik !, lihat orang-orang, banyak yang melakukannya. Ah ! itukan sudah tradisi ! Orang-orang sebelum kita (nenek moyang kita, bapak-bapak kita) juga melakukannya !
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. Al Baqarah : 170 )
Kalau tidak ada perintah Allah, atau kalau tidak ada contohnya dari Rasulullah, maka kita perlu bertanya, perintah siapakah yang menyuruh beribadah dengan model seperti itu ? Kalau seandainya perintah manusia ( misalnya : Syaikh, Tuan Guru, Guru Tariqat, Kiyai, Habib, dll) maka merekalah yang kita sembah. Karena mengikuti atau menta'ati cara beribadah yang dibuat oleh mereka sendiri (seandainya tanpa dalil yang shahih). Secara tidak sadar terjatuh dalam perbuatan syirik, karena ada si pembuat baru selain Allah. Ingat ! Hanya Allah yang membuat cara ibadah dan hanya Allah yang patut disembah atau di ibadahi, إِيَّاكَ نَعْبُدُ dan tidaklah Allah menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah,
وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالإِ نْسَ إِلاَّ ِليَعْبُدُوْن
Tidak ada satu pun ibadah dalam Islam, kecuali Nabi sudah mencontohkannya, kemudian di ikuti oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in. Kita tidak boleh meniru atau mengikuti siapapun dalam beribadah, walau dia dikatakan sebagai orang yang alim atau ulama, kecuali orang itu mengikuti (ittiba') cara Rasulullah, maka ikutilah. Cara mengetahui bagaimana tata cara Rasulullah dalam beribadah dan muamalah adalah dengan cara mempelajari Hadits-hadits yang shahih.
اَلأَصْلُ فِى ْالِعبَا دَاتِ اْلحَظْرُ وَاْلمَنْعُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ الْمَشْرُوْعِيَّةِ
"Prinsip dasar dalam berbagai ibadah itu " bahaya" dan "terlarang", hingga adanya dalil yang menunjukkan pensyari'atannya".
Ibadah adalah hubungan, sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengharap ridha-Nya, ampunan-Nya, dan pasti tujuannya kebaikan (mencari pahala). Allah-lah yang menciptakan ibadah, karena itu tidak boleh melakukan ibadah kecuali apa yang telah disyari'atkan Allah. Sebab hanya Pembuat Syari'at (Allah) sendiri yang berhak membuat cara-cara ibadah bagi hamba-Nya untuk mendekatkan diri pada-Nya. Bahanyanya adalah apabila kita salah sembah. Siapa yang kita sembah ?
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah, yang mensyari'atkan untuk mereka apa yang tidak diizinkan Allah" (QS. As-Syura : 21)
[sembahan-sembahan selain Allah, maksudnya adalah orang-orang yang menciptakan cara beribadah sendiri, tanpa ada dalil dari Allah dan petunjuk Rasul]
Hakikat ibadah tercermin dalam dua hal :1. Tidak ada yang di ibadahi kecuali hanya Allah.
2. Tidak boleh beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya.
Atau dalam pengertian yang lain :
1. Ikhlas hanya kepada Allah semata
2. Amalan tersebut harus dikerjakan atas tuntunan (ittiba') kepada Rasulullah.
Ikhlash dan mutaba’ah adalah syarat diterimanya ibadat
لا تقبل العبادة إلا بالإخلاص والمتابعة
“Tidak diterima ibadat kecuali dengan ikhlas dan mutaba’ah ( mengikuti cara Rasul )”
Keterangan :
Ikhlash :
Seseorang yang beramal, maka niatnya tidak terlepas dari tiga kemungkinan :
a. Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Maka inilah yang diterima, karena syarat ikhlas telah terpenuhi padanya
b. Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali dunia dan perhiasannya. Ini tertolak, karena berlawanan dengan ikhlash
c. Keinginannya dia sekutukan antara keinginan kepada Allah dengan keinginan kepada makhluk. Dalam beramal dia meinginkan Allah dan sekaligus juga menginginkan pujian, sanjungan, kedudukan dan kehormatan. Inipun juga tertolak.
Mutaba’ah :
Yaitu melaksanakan ibadat yang kaifiyatnya sebagaimana kaifiyat yang dilaksanakan Rasulullah. tanpa penambahan dan pengurangan, seperti shalat sebagaimana beliau shalat, berpuasa sebagaimana beliau berpuasa dan berhaji sebagaimana beliau berhaji. Banyak dalil yang menekankan syarat ( mutaba’ah ) ini. Maka setiap ayat yang mensyaratkan bahwa Rasulullah. sebagai contoh dan teladan adalah sebagai petunjuk wajib untuk mengikuti beliau dalam hal yang demikian.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik untuk kamu, bagi yang mengharapkan Allah dan hari kemudian dan bagi orang-orang yang berdzikir yang banyak kepada Allah” ( Al Ahzab : 21 )
Mengikut Nabi saw. dalam hal ibadat terikat dalam kemungkinan empat syarat :
1. Tatacara.
Yaitu yang tatacaranya mengikuti tatacara Nabi. seperti shalat ( shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat ) dan haji ( ambillah tatacara haji kamu dariku ). Maka siapa saja yang melakukan suatu ibadat ( seperti ini ) yang tatacaranya berbeda dengan tatacara yang dibawa Nabi. maka ibadatnya menjadi bathal, lantaran bukan beracuan pada perintah Nabi.
2. Tempat.
Bila sebuah ibadat yang pelaksanaannya dikhususkan pada tempat tertentu, maka sebenarnya tidak boleh melakukannya di tempat yang lainnya kecuali dengan dalil yang membenarkannya di tempat tersebut; seperti haji, thawaf, sa’i dan menyembelih al hadyu ( qurban haji )
3. Waktu ( zaman ).
Bila suatu ibadat yang memiliki waktu tertentu yang tidak shah ( pelaksanaannya ) kecuali di waktu tersebut, maka tidak boleh melakukannya pada waktu yang lain. Karena mesti mengikuti Nabi. dalam hal waktu ( pelaksanaannya ). Seperti waktu berhaji, shalat lima waktu dan puasa Ramadlan.
4. Qadar ( ukuran ).
Bila syari’at telah menentukan ukuran tertentu untuk suatu ibadat, maka sebenarnya siapapun tidak boleh menambah atau menguranginya. Penambahan dan pengurangan ini tidak shah kecuali dengan dalil yang mengesahkannya. Karena bila tidak ada ( dalilnya ), hal itu tidak boleh. Seperti bilangan raka’at shalat lima waktu, bilangan melontar jumrah, bilangan thawaf, bilangan sa’i, nishab zakat, bilangan kafarat dan hudud dan lain-lain. Semua ini telah ditentukan ukurannya. Maka setiap muslim wajib mengikuti Nabi. tentang ukuran tersebut.
[ talqihul ifhamil ‘illiyah bi syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15 ]
Kaidah Dalam Muamalah
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
"Hukum asal dari sesuatu (muamalah/keduniaan) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ
"Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah"
Muamalah (keduniaan) pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya boleh (jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan, sesuatu yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak ada larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu “HALAL”.
"Dia-lah Allah yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu" (QS. Al Baqarah : 29)
"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)
Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Allah lantas mengharamkannya bagi manusia ? Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan beberapa bagian saja, sehingga wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang wilayah halal sangat luas.
Prinsip dalam “beribadah” lebih menekankan pada larangan sampai ada “perintah”, prinsip dalam “muamalah” lebih menekankan pada pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai kalau ada dalil (yang membolehkan atau yang melarang), maka status hukumnya berubah.
Kaidah ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai mengerti benar. Sebab banyak orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti Kaidah (hukumnya). Salah melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya semakin keliru. Semakin menjauh dari rel-nya, keluar jalan.
Dalam hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk kepada wahyu, meniru apa yang sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Akal tidak boleh mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain, atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau suatu hadits dijelaskan oleh hadits yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.
Perhatikan Kaidah yang sangat mulia ini ! :
لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه
"Kalau sekiranya suatu perkara itu "baik",( pasti Rasulullah, para sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" daripada kita, karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu tentang agama daripada kita.
Contoh :
Shalat, kita hanya tinggal mencontoh cara Rasulullah shalat, berdasarkan syari’at Allah. Atas perintah Allah : "Dirikanlah shalat ! أَقِْيمُوا الصَّلاَة Bagaimana cara shalatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rasulullah, Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya shalat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak boleh membuat cara shalat yang baru. Seperti Shalat Hadiyah, ada tidak dalilnya ?
Dalam muamalah, akal diberikan porsi yang seluas-luasnya, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti dengan urusan duniamu) tetapi dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Hadits, pada pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak terbatas pada benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam urusan ibadah.
Contoh :
Boleh makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat kendaraan, komputer, komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa, bermasyarakat, dll sesukanya, asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau dimakruhkan oleh syari’at. Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan diharamkan, misalnya ; jangan makan pakai tangan kiri, jangan minum sambil berdiri, jangan makan sampai kenyang berlebihan, jangan makan binatang yang buas, bertaring, mempunyai cakar tajam dll. Makan dan minum pada dasarnya boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an dan Hadits.
Ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik Haji, kalau pakai Pesawat Terbang, bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya orang tersebut tidak mengerti mana batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik Pesawat Terbang bukan termasuk dalam pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah sarana. Kalau begitu orang yang naik Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga dong ! Seandainya naik Haji harus pakai Onta. Pesawat Terbang adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya mubah.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا
"Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu" (QS. Al Maidah : 3)
Agama Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna tidak boleh dan tidak perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Allah sendiri yang mengatakan "sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi, maka ia lebih hebat dari Allah dan Rasul-Nya. Apa-apa yang datangnya dari Allah pasti disampaikan oleh Rasulullah, dan tidak ada yang disembunyikan.
Allah berfirman;
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [QS. Al Baqarah :67]
Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna.
Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula.
__________________________________________________
Wallahu a'lam.
Sumber:
http://www.facebook.com/note.php?note_id=104678166242034