Pengantar Setiap tahun menjelang Ramadhan halaman-halaman internet dan blog dipenuhi dengan perdebatan-perdebatan seru dan sengit seputar jumlah rakaat Ramadhan. Tidak jarang perdebatan yang diisi oleh berbagai karakter orang dari berbagai tingkatan keilmuan membangkitkan hal-hal buruk dan permusuhan diantara para peserta dan muqallidnya. Islam sejatinya merupakan jalan keluar perdamaian jika saja elemen dan personil yang ada didalamnya memahami benar sisi-sisi prioritas dalam Amalan.
Tulisan ini memiliki misi exposisi bukan tarjih terhadap pendapat yang telah ada sedari dahulu kala. Tujuan akhirnya adalah informasi dan pemahaman bahwa para ulama yang mendalam ilmunya justeru memiliki pendapat yang moderat, adil, dan jauh dari egoisme apalagi berkehendak untuk memecah ummat.
Pendapat Ulama yang Variatif
Sebelas Rakaat beserta witir
Pendapat ini merupakan pilihan Imam Malik untuk dirinya sendiri[1] dan sangat masyhur sebagai pendapat syaikh Albani dan murid-muridnya serta orang-orang yang sepakat dengan beliau. Syaikh Albani berkata: وركعتها إحدى عشرة ركعة ، ونختار أن لا يزيد عليها اتباعاً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ، فإنه لم يزد عليها حتى فارق الحياة
Jumlah rakaatnya (taraweh,pent) adalah 11 rakaat, kami memilih untuk tidak menambahkannya karena mengikut rasulullah Shallallâhu alaihi Wasallâm. Sesungguhnya beliau tidak pernah menambahnya sampai ia berpisah dengan dunia.[2]
Mereka berdalil dengan hadits Jabir Radiyallahu anhu صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثماني ركعات والوتر
Rasulullah Shallallâhu alaihi Wasallâm pernah mengimami kami salat pada satu malam Ramadan dengan delapan rakaat kemudian Witir
hadits diatas mendapat kritikan para ulama karena didalam sanadnya terdapat seorang rawi matruk bernama Isa Bin Jariyah, namun syaikh Albani menganggapnya memiliki penguat dari hadits Aisyah yang diriwayatkan Oleh Imam Bukhari dalam sohihnya:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.
dalam Kitab Muwattha juga terdapat sebuah hadits yang mendukung pendapat ini:
وَحَدَّثَنِى عَنْ مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِىَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِىِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلاَّ فِى فُرُوعِ الْفَجْرِ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Muhammad bin Yusuf dari As-Sa`ib bin Yazid dia berkata, “Umar bin Khatthab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari untuk mengimami orang-orang, dengan sebelas rakaat.” As Sa`ib berkata, “Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar.” (HR. Malik dalam Al Muwaththo’ 1/115)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa riwayat ini shahih[3] sekalipun begitu, yang masyhur dari mazhab malik sebagaimana diisyaratkan Oleh imam Tirmizi bahwa mereka sholat sebanyak 36 Rakaat.
ada beberapa Atsar lain yang menguatkan pendapat ini yang Insya Allah mudah didapat. Kami cukupkan dengan menyebutkan dalil-dalil diatas sebagai pengetahuan saja.
Dua Puluh Rakaat.
Pendapat inilah yang dipegang oleh Mazhab Syafii dan Ahmad serta secara turun temurun dilaksanakan di dua tanah haram yang dimuliakan.
mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut:
حدثنا علي أنا بن أبي ذئب عن يزيد بن خصيفة عن السائب بن يزيد قال : كانوا يقومون على عهد عمر في شهر رمضان بعشرين ركعة وإن كانوا ليقرءون بالمئين من القرآن
Telah menceritakan kepada kami ‘Ali, bahwa Ibnu Abi Dzi’b dari Yazid bin Khoshifah dari As Saib bin Yazid, ia berkata, “Mereka melaksanakan qiyam lail di masa ‘Umar di bulan Ramadhan sebanyak 20 raka’at. Ketika itu mereka membaca 200 ayat Al Qur’an.” (HR. ‘Ali bin Al Ja’d dalam musnadnya, 1/413)
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa riwayat di atas terdapat ‘illah yaitu karena terdapat Yazid bin Khoshifah. Dalam riwayat Ahmad, beliau menyatakan bahwa Yazid itu munkarul hadits. Namun pernyataan ini tertolak dengan beberapa alasan:
- Imam Ahmad sendiri menyatakan Yazid itu tsiqoh dalam riwayat lain.
- Ulama pakar hadits lainnya menyatakan bahwa Yazid itu tsiqoh. Ulama yang berpendapat seperti itu adalah Ahmad, Abu Hatim dan An Nasai. Begitu pula yang menyatakan tsiqoh adalah Yahya bin Ma’in dan Ibnu Sa’ad. Al Hafizh Ibnu Hajar pun menyatakan tsiqoh dalam At Taqrib.
- Perlu diketahui bahwa Yazid bin Khoshifah adalah perowi yang dipakai oleh Al Jama’ah (banyak periwayat hadits).
- Imam Ahmad rahimahullah dan sebagian ulama di banyak keadaan kadang menggunakan istilah “munkar” untuk riwayat yang bersendirian dan bukan dimaksudkan untuk dho’ifnya hadits.[4]
Tiga puluh Enam Rakaat
ini adalah pendapat yang masyhur dari mazhab malik. Imam Tirmidzi mengisyaratkan hal tersebut dan juga jumlah rakaat lainnya setelah selesai meriwayatkan hadits tentang tarawih nabi yang hanya 3 hari dibulan Ramadhan dan tidak berurutan.[5]
Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat. Tidak ada batasan Rakaat[6] Pendapat ini disinggung oleh beberapa ulama diantaranya ibnu Hajar al atsqalani ketika ia menjama dua riwayat yang menyatakan jumlah rakaat yang berbeda. Beliau mengatakan:
وَالْجَمْعُ بَيْن هَذِهِ الرِّوَايَات مُمْكِنٌ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال ، وَيَحْتَمِل أَنَّ ذَلِكَ الِاخْتِلَافَ بِحَسَبِ تَطْوِيلِ الْقِرَاءَة وَتَخْفِيفِهَا فَحَيْثُ يُطِيلُ الْقِرَاءَة تَقِلُّ الرَّكَعَات وَبِالْعَكْسِ وَبِذَلِكَ جَزَمَ الدَّاوُدِيُّ وَغَيْره
Kompromi antara riwayat (yang menyebutkan 11 dan 23 raka’at) amat memungkinkan dengan kita katakan bahwa mereka melaksanakan shalat tarawih tersebut dilihat dari kondisinya. Kita bisa memahami bahwa perbedaan (jumlah raka’at tersebut) dikarenakan kadangkala bacaan tiap raka’atnya panjang dan kadangkala pendek. Ketika bacaan tersebut dipanjangkan, maka jumlah raka’atnya semakin sedikit. Demikian sebaliknya. Inilah yang ditegaskan oleh Ad Dawudi dan ulama lainnya[7]
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: وليس في عدد الركعات من صلاة الليل حد محدود عند أحد من أهل العلم لا يتعدى وإنما الصلاة خير موضوع وفعل بر وقربة فمن شاء استكثر ومن شاء استقل
Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak[8] Imam Nawawi menukil pendapat Qadhi Iyadh dalam Syarah muslim:
ولا خلاف أنه ليس في ذلك حد لا يزاد عليه ولا ينقص منه ، وأن صلاة الليل من الطاعات التي كلما زاد فيها زاد الأجر ، وإنما الخلاف في فعل النبيّ صلى الله عليه و سلم وما اختاره لنفسه والله أعلم
Tidak ada khilaf bahwa permasalah tersebut tidak memiliki batasan [rakaat] baik untuk menambahkan maupun mengurangkan. Sholat malam adalah termasuk ketaatan yang jika ditambahkan [rakaatnya] niscaya bertambahlah pahalanya. Khilaf hanya terjadi mengenai perbuatan Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam dan apa yang Ia pilih untuk dirinya sendiri. Allahu a’lamu.[9]
Pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ibnu taimiyah memiliki pendapat yang cukup moderat. Beliau berkata:
لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا ؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً لَكِنْ كَانَ يُطِيلُ الرَّكَعَاتِ فَلَمَّا جَمَعَهُمْ عُمَرُ عَلَى أبي بْنِ كَعْبٍ كَانَ يُصَلِّي بِهِمْ عِشْرِينَ رَكْعَةً ثُمَّ يُوتِرُ بِثَلَاثِ وَكَانَ يُخِفُّ الْقِرَاءَةَ بِقَدْرِ مَا زَادَ مِنْ الرَّكَعَاتِ لِأَنَّ ذَلِكَ أَخَفُّ عَلَى الْمَأْمُومِينَ مِنْ تَطْوِيلِ الرَّكْعَةِ الْوَاحِدَةِ ثُمَّ كَانَ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَفِ يَقُومُونَ بِأَرْبَعِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثِ وَآخَرُونَ قَامُوا بِسِتِّ وَثَلَاثِينَ وَأَوْتَرُوا بِثَلَاثِ وَهَذَا كُلُّهُ سَائِغٌ فَكَيْفَمَا قَامَ فِي رَمَضَانَ مِنْ هَذِهِ الْوُجُوهِ فَقَدْ أَحْسَنَ . وَالْأَفْضَلُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ الْمُصَلِّينَ فَإِنْ كَانَ فِيهِمْ احْتِمَالٌ لِطُولِ الْقِيَامِ فَالْقِيَامُ بِعَشْرِ رَكَعَاتٍ وَثَلَاثٍ بَعْدَهَا . كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لِنَفْسِهِ فِي رَمَضَانَ وَغَيْرِهِ هُوَ الْأَفْضَلُ وَإِنْ كَانُوا لَا يَحْتَمِلُونَهُ فَالْقِيَامُ بِعِشْرِينَ هُوَ الْأَفْضَلُ وَهُوَ الَّذِي يَعْمَلُ بِهِ أَكْثَرُ الْمُسْلِمِينَ فَإِنَّهُ وَسَطٌ بَيْنَ الْعَشْرِ وَبَيْنَ الْأَرْبَعِينَ وَإِنْ قَامَ بِأَرْبَعِينَ وَغَيْرِهَا جَازَ ذَلِكَ وَلَا يُكْرَهُ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ . وَقَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ الْأَئِمَّةِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ . وَمَنْ ظَنَّ أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ فِيهِ عَدَدٌ مُوَقَّتٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُزَادُ فِيهِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at. Akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab ditunjuk sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.
Sebagian salaf pun ada yang melaksanakan shalat malam sampai 40 raka’at, lalu mereka berwitir dengan 3 raka’at. Ada lagi ulama yang melaksanakan shalat malam dengan 36 raka’at dan berwitir dengan 3 raka’at.
Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.”[10] Secara lugas dan jelas beliau memilih untuk tidak membatasi jumlah rakaat shalat malam termasuk tarawih.
Bijak dalam Khilaf
Bijak dalam perselisihan merupakan kekhasan para ulama yang wara’ lagi Tawadhu. Dalam tulisan ini saya perlu menghadirkan Fatwa Faqihuzzaman Muhammad Bin Sholih al Utsaimin terkait realitas perbedaan dalam pelaksanan sholat Taraweh
Beliau pernah ditanya tentang jamaah yang sholat bersama Imam hanya 11 rokaat saja, kemudian memisahkan diri dengan alasan bahwasanya Rasulullah Shollallahu alaihi Wasallam tidak menambah dari 11 rokaat baik pada waktu ramadhan maupun selainya
Beliau menjawab:
Perbuatan ini yaitu memisahkan diri dari Imam yang sholat taraweh lebih dari 11 Rokaat adalah menyalahi Sunnah dan menghilangkan pahala. Perbuatan ini juga menyalahi perbuatan Salafussholih. Para sahabat yang sholat bersama nabi shollallahu Alaihi Wasallam tidak meninggalkan jamaah lebih dahulu dan mereka menuruti Imam mereka sekalipun ia menambahkan dari apa yang menurut mereka disyariatkan. Sesungguhnya Utsaman Radiyallahu anhu diingkari oleh para sahabat ketika ia melakukan Sholat secara sempurna di Mina, tetapi mereka tetap mengikutinya dan mereka berkata: Sesungguhnya khilaf itu adalah sebuah keburukan dan mencabut pahala yang diinginkan karena Nabi shallallahu alaihi Wasallam bersabda: Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk[11]. Menambah dari 11 rakaat bukanlah keharaman tapi suatu hal yang boleh. Hal itu karena Rasulullah pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang sholat malam, maka beliau bersabda:
مثنى، مثنى، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى واحدة فأوترت له ما قد صلى
Shalat malam itu Dua dua, kalau salah seorang diantara kalian khawatir datang shubuh maka sholatlah satu rakat yang menjadi witir bagi sholat yang telah ia kerjakan[12] Nabi Shallallahu alaihi Wasallam tidak membatasi bilangan rakaatnya. Kalaulah menambah dari sebelas rakaat adalah haram, niscaya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam akan menjelaskannya.
Nasehatku bagi saudara-saudaraku tersebut adalah hendaknya mereka mengikuti Imam Hingga selesai [13]. saya katakan :Rahimahullah FAqihuzzaman Fadhilatussyaikh al Utsaimin.
Dalam jilid yang sama difatwanya beliau pernah ditanya tentang satu masjid yang menggunakan dua Imam taraweh
Ada seseorang yang sholat bersama imam pertama lalu meninggalkan jamaah seraya berkata: aku sholat sesuai dengan nash hadits :
Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk .
Sesungguhnya saya memulai bersama imam yang pertama dan menyelesaikan sholat bersamanya.
Beliau menjawab:
Adapun perkataannya (Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkanbaginya pahala sholat semalam suntuk) maka ini adalah sebuah hadits sohih yang telah tetap dari Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam ketika diminta oleh sahabat untuk menambah sholat sunnah untuk malam yang masih tersisa. Ketika itu beliau menyelesaikan sholat ditengah malam. Mereka berkata : wahai Rasulullah apakah engkau berkenan untuk sholat sunnah bersama kami untuk malam yang masih tersisa ini? Maka beliau bersabda: Barangsiapa yang sholat bersama Imam hingga selesai, niscaya ditetapkan baginya pahala sholat semalam suntuk.
Tetapi apakah dua imam dalam satu masjid itu diangga saling berdiri sendiri atau keduanya saling menggantikan?
Yang nampak adalah anggapan kedua dimana setiap imam adalah saling menggantikan sebagai pelengkap. Dalam hal ini jika dalam satu masjid terdapat dua imam maka mereka dianggap satu. Maka hendaknya seseorang tetap sholat bersama imam sampai imam yang kedua selesai. Hal itu Karena kita tahu bahwa Imam kedua adalah melengkapi imam yang pertama.
Dalam hal ini aku menasehatkan saudara-saudaraku agar mengikuti para Imam disini -masjidil haram- sampai selesai dan berakhir sholatnya. Kalau ada sebagian ikhwah yang meninggalkan jamaah karena sholat sebelas rakaat seraya berkata: “beginilah bilangan rakaat yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan kami ingin mengikuti bilangan rakaat yang dilakukan oleh nabi. Itulah yang lebih baik”.
Tidak ada satupun orang yang meragukan hal itu[14], tapi aku menganggap tidak ada larangan untuk menambah [rakaat]. Bukan didasarkan pada ketidaksukaan dengan bilangan rakaat yang dipilih oleh nabi Shallallahu alaihi Wasallam tapi atas dasar terdapatnya kebaikan yang ditolerir oleh syariat dimana Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam pernah ditanya tentang Sholat malam, maka beliau bersabda: (Shalat malam itu Dua dua, kalau salah seorang diantara kalian khawatir datang shubuh maka sholatlah satu rakat yang menjadi witir bagi sholat yang telah ia kerjakan) Kalau hal ini adalah perkara yang diperkenankan untuk menambah, maka yang utama bagi manusia adalah jangan keluar dari jamaah tapi tetap mengikuti Imam. Para Sahabat-semoga Allah meridhai mereka- ketika Utsman melakukan sholat secara sempurna di Mina sebagian dari mereka mengulangnya, namun demikian mereka tetap sholat dibelakang utsman 4 rakaat. Mereka menambah dua rakaat pada sholat yang tidak lebih dari dua rakaat agar bersesuaian dengan jamaah, menyatukan kata, dan menghindari perpecahan.
Saling bersesuaian itu manfaatnya sangat besar. Janganlah seseorang diantara kalian membuat satu pilihan yang memisahkah diri dari jamaah seraya berkata: “ engkau bersamaku atau fulan?, ini kesalahan.
Dalam hal ini selama perkara tersebut masih diperkenankan dan tidak ada larangan
Syariat, maka sesungguhnya bersepakat dalam satu jamaah itu tidak akan menampakkan dendam dan kebencian.
Diriwayatkan dari Salaf berbagai bentuk seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah-Semoga Allah merahmati kedua-. Hendaknya kita bertindak fleksibel seperti mereka. Mereka telah lebih dahulu melakukah hal itu maka janganlah kita menyimpang dari apa yang mereka lakukan. Saya berulang-ulang mengajak kepada penyatuan dan peniadaan perselisihan pada hal yang diperkenankan ijtihad. Kesulitan sebenarnya adalah jika disana ada dua witir dalam satu malam, apa yang harus dilakukan oleh makmum?
Kami katakan: jika engkau ingin sholat tahajjud bersama Imam yang kedua, Jika Imam pertama telah melakukan witir, Maka kerjakan lagi satu rakaat agar menjadi dua dua. Kalau anda tidak ingin tahajjud diakhir malam maka berwitirlah bersama imam Yang pertama. Kemudian kalau anda mampu untuk bertahajjud bersama imam yang kedua setelah itu, maka genapkanlah witir bersama imam yang kedua.
Semoga kita bisa memperbaiki Ibadah kita.
Semoga bermanfaat
Saudaramu: dobdob
Maraji:
www.rumaysho.com
www.ibnothaimeen.com
[1] Hal ini diterangkan oleh al Aini dalam syarah sohih Bukhari yang dikutip Oleh Al Mubarakfuri dalam syarah Turmudzi tentang shlat tarawih bab 80 [2] Risalah qiyam Ramadhan hal 15 [3] ‘Adadu Raka’at Qiyamil Lail, Musthofa Al ‘Adawi, Daar Majid ‘Asiri, hal. 36. [4] Lihat catatan kaki Adadu Raka’at Qiyamil Lail, hal. 37. [5] Sunan tirmidzi bab 80. disitu beliau menyebutkan 41 rakaat. Yaitu dengan 5 rakaat witir [6] Biasanya mereka telah cenderung kepada salah satu pendapat tentang bilangan Taraweh, tapi jumlah bilangan tersebut bukan sebuah kelaziman [9] Syarah sohih Muslim 6/19 [10] Majmu’ Al Fatâwa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H, 22/272. [14] Perlu diketahui bahwa Syaikh Utsaimin merajihkan pendapat sebelas rakaat sebagai jumlah bilangan taraweh. Silahkan merujuk : http://www.kl28.com/ebnothiminr.php?search=1845 atau terjemahnya http://www.almanhaj.or.id/content/2800/slash/0
Sumber:
http://syaikhulislam.wordpress.com/2010/08/23/tarawih-bijak-dalam-ikhtilaf/