Salah satu ideologi dan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para ulama salaf, adalah kewajiban mengimani bahwa kaum mukminin akan melihat wajah Allah ‘Azza wa Jalla yang Mahamulia di akhirat nanti, sebagai balasan keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allah ‘Azza wa Jalla sewaktu di dunia.
Imam Ahmad bin Hanbal, imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zamannya, menegaskan ideologi Ahlus Sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus Sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mukminin) akan melihat (wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahamulia) pada hari Kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih.”[1]
Imam Ismail bin Yahya al-Muzani berkata[2], “Penghuni Surga pada hari Kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala), mereka tidak merasa ragu dan bimbang dalam melihat Allah Ta’ala, maka wajah-wajah mereka akan ceria dengan kemuliaan dari-Nya dan mata-mata mereka dengan karunia-Nya akan melihat kepada-Nya, dalam kenikmatan (hidup) yang kekal abadi….”[3]
Demikian pula imam Abu Ja’far ath-Thahawi[4] menegaskan prinsip yang agung ini dengan lebih terperinci dalam ucapannya, “Memandang wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi penghuni Surga adalah kebenaran (yang wajib diimani), (dengan pandangan) yang tanpa meliputi (secara keseluruhan) dan tanpa (menanyakan) bagaimana (keadaan yang sebenarnya), sebagaimana yang ditegaskan dalam Kitabullah (al-Qur’an),
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.” (Qs. al-Qiyaamah: 22-23).
Penafsiran ayat ini adalah sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui dan kehendaki (bukan berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia), dan semua hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan masalah ini adalah (benar) seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dan maknanya seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam inginkan. Kita tidak boleh membicarakan masalah ini dengan men-ta’wil (menyelewengkan arti yang sebenarnya) dengan akal kita (semata-mata), serta tidak mereka-reka dengan hawa nafsu kita, karena tidak akan selamat (keyakinan seseorang) dalam beragama kecuali jika dia tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengembalikan ilmu dalam hal-hal yang kurang jelas baginya kepada orang yang mengetahuinya (para ulama Ahlus Sunnah).”[5]
Dasar Penetapan Ideologi Ini
1- Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabb-nyalah mereka melihat.” (Qs. al-Qiyaamah: 22-23).
Ayat yang mulia ini menunjukkan, bahwa orang-orang yang beriman akan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mata mereka di akhirat nanti, karena dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla menggandengakan kata “melihat” dengan kata depan “ilaa” yang ini berarti, bahwa penglihatan tersebut berasal dari wajah-wajah mereka, artinya mereka melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan indera penglihatan mereka.[6]
Bahkan, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini menunjukkan bahwa wajah-wajah mereka yang indah dan berseri-seri karena kenikmatan di surga yang mereka rasakan, menjadi semakin indah dengan mereka melihat wajah Allah ‘Azza wa Jalla. Dan waktu mereka melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuai dengan tingkatan Surga yang mereka tempati, ada yang melihat-Nya setiap hari di waktu pagi dan petang, dan ada yang melihat-Nya hanya satu kali dalam setiap pekan.[7]
2- Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni Surga, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Yuunus: 26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8] Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika penghuni Surga telah masuk Surga, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Apakah kalian (wahai penghuni Surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan Surga)?’ Maka mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam Surga dan menyelamatkan kami dari (azab) Neraka?’ Maka, (pada waktu itu) Allah membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Mahamulia), dan penghuni Surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas.[9]
Bahkan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung, serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di Surga lainnya.[10]
Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di Surga adalah memandang wajah Allah yang Mahamulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni Surga. Mereka berhak mendapatkan kenikmatan tersebut bukan (semata-mata) karena amal perbuatan mereka, tetapi karena karunia dan rahmat Allah.” [11]
Lebih lanjut Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahafaan[12] menjelaskan, bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala) adalah balasan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih, ‘Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)….”[13]
3- Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
“Mereka di dalamnya (Surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (Qs. Qaaf: 35).
4- Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
كَلا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) pada hari Kiamat benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka.” (Qs. al-Muthaffifin: 15).
Imam asy-Syafi’i ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Ketika Allah menghalangi orang-orang kafir (dari melihat-Nya) karena Dia murka (kepada mereka), maka ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dicintai-Nya akan melihat-Nya karena Dia ridha (kepada mereka).”[14]
5- Demikian pula dalil-dalil dari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menetapkan masalah ini sangat banyak, bahkan mencapai derajat mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalur sehingga tidak bisa ditolak).
Imam Ibnu Katsir berkata, “(Keyakinan bahwa) orang-orang yang beriman akan melihat (wajah) Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat nanti telah ditetapkan dalam hadits-hadits yang shahih, dari (banyak) jalur periwayatan yang (mencapai derajat) mutawatir, menurut para imam ahli hadits, sehingga mustahil untuk ditolak dan diingkari”[15]
Di antara hadits-hadits tersebut adalah dua hadits yang sudah kami sebutkan di atas. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, kalian akan melihat Rabb kalian (Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu melihat-Nya…”[16].
Kerancuan dan Jawabannya
Demikian jelas dan gamblangnya keyakinan dan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini, tapi bersamaan dengan itu beberapa kelompok sesat yang pemahamannya menyimpang dari jalan yang benar, seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah, mereka mengingkari keyakinan yang agung ini, dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka sandarkan kepada dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kemudian mereka selewengkan artinya sesuai dengan hawa nafsu mereka.
Akan tetapi, kalau kita renungkan dengan seksama, kita akan dapati bahwa semua dalil (argumentasi) dari al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka gunakan untuk membela kebatilan dan kesesatan mereka, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kebatilan mereka dan bukan untuk mendukungnya.[17] Di antara syubhat-syubhat mereka tersebut adalah:
1- Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Rabb telah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa, ‘Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.’ Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Rabb-nya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman.’” (Qs. al-A’raaf: 143).
Mereka mengatakan, bahwa dalam ayat ini Allah menolak permintaan nabi Musa ‘alaihissalam untuk melihat-Nya dengan menggunakan kata “lan” yang berarti penafian selama-lamanya, ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mungkin bisa dilihat selama-lamanya.[18] Jawaban atas syubhat ini:
- Ucapan mereka bahwa kata “lan” berarti penafian selama-lamanya, adalah pengakuan tanpa dalil dan bukti, karena ini bertentangan dengan penjelasan para ulama ahli bahasa arab.
Ibnu Malik, salah seorang ulama ahli tata bahasa Arab, berkata dalam syairnya,
Barangsiapa yang beranggapan bahwa (kata) “lan” berarti penafian selama-lamanya
Maka tolaklah pendapat ini dan ambillah pendapat selainnya[19] Maka, makna yang benar dari ayat ini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menolak permintaan Nabi Musa ‘alaihissalam tersebut sewaktu di dunia, karena memang tidak ada seorangpun yang bisa melihat-Nya di dunia. Adapun di akhirat nanti, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan hal itu bagi orang-orang yang beriman.[20] Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, tidak ada seorangpun di antara kamu yang (bisa) melihat Rabb-nya (Allah) Subhanahu wa Ta’ala sampai dia mati (di akhirat nanti).”[21] Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Apakah engkau telah melihat Rabb-mu (Allah Subhanahu wa Ta’ala)?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “(Dia terhalangi dengan hijab) cahaya, maka bagaimana aku (bisa) melihat-Nya?”[22] Oleh karena itulah, Ummul mu’minin Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Barangsiapa yang menyangka bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat Rabb-nya (Allah Subhanahu wa TA’ala), maka sungguh dia telah melakukan kedustaan yang besar atas (nama) Allah.” [23] - Permintaan Nabi Musa ‘alaihissalam dalam ayat ini untuk melihat Allah ‘Azza wa Jalla justru menunjukkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mungkin untuk dilihat, karena tidak mungkin seorang hamba yang mulia dan shalih seperti Nabi Musa ‘alaihissalam meminta sesuatu yang mustahil terjadi dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena permintaan sesuatu yang mustahil dan melampaui batas, apalagi dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah dilakukan oleh orang yang bodoh dan tidak mengenal Rabb-nya, dan Nabi Musa ‘alaihissalam terlalu mulia dan agung untuk disifati seperti itu, bahkan beliau adalah termasuk Nabi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulia dan hamba-Nya yang paling mengenal-Nya.[24] Maka, jelaslah bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
2- Mereka berdalih dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-An’aam: 103).
Jawaban atas syubhat ini:
- Sebagian dari para ulama salaf ada yang menafsirkan ayat ini, “Dia tidak dapat dicapai (diliputi) oleh penglihatan mata di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti pandangan mata (orang-orang yang beriman) bisa melihatnya.[25] - Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menafikan al-idraak yang berarti al-ihaathah (meliputi/melihat secara keseluruhan), sedangkan melihat tidak sama dengan meliputi[26], bukankah manusia bisa melihat matahari di siang hari, tapi dia tidak bisa meliputinya secara keseluruhan?[27] - al-Idraak (meliputi/melihat secara keseluruhan) artinya lebih khusus dari pada ar-ru’yah (melihat), maka dengan dinafikannya al-idraak menunjukkan adanya ar-ru’yah (melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala), karena penafian sesuatu yang lebih khusus menunjukkan tetap dan adanya sesuatu yang lebih umum.[28] Sekali lagi ini membuktikan, bahwa ayat yang mereka jadikan sandaran ini, pada hakikatnya justru merupakan dalil untuk menyanggah kesesatan mereka dan bukan mendukungnya.
Penutup
Demikianlah penjelasan ringkas tentang salah satu keyakinan dan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang agung, melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan memahami dan mengimani masalah ini dengan benar, maka peluang kita untuk mendapatkan anugerah dan kenikmatan tersebut akan semakin besar, dengan rahmat dan karunia-Nya.
Adapun orang-orang yang tidak memahaminya dengan benar, apalagi mengingkarinya, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan dan anugerah tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, na’uudzu billahi min dzaalik.
Dalam hal ini salah seorang ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut.”[29] Akhirnya, kami berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas,
Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti)
dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[1] Kitab “Ushuulus Sunnah” (hal. 23, cet. Daarul Manaar, Arab Saudi). [2] Beliau adalah imam besar, ahli fikih dan murid senior imam asy-Syafi’i (wafat 264 H). Biografi beliau dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubalaa’” (12/493). [3] Kitab “Syarhus Sunnah” tulisan al-Muzani (hal. 82, cet. Maktabatul Ghurabaa’ al-Atsariyyah, Madinah). [4] Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Salaamah, imam besar dan penghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (wafat 321 H). Biografi beliau dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubalaa’” (27/15). [5] Kitab “Syarhul Aqiidatith Thahaawiyyah” (hal. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami, Yordania). [6] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/448). [7] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal.899). [8] Lihat kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/452). [9] HSR. Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 181). [10] Lihat kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/453). [11] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (4/262). [12] Hal. 70-71 dan hal. 79 (Mawaaridul Amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, ad-Dammaam, 1415 H). [13] HR an-Nasa-i dalam “As-Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al-Musnad” (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahih”-nya (no. 1971) dan al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albani dalam “Zhilaalul Jannah fii Takhriijis Sunnah” (no. 424). [14] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Haadil Arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (8/351). [15] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (8/279). [16] HSR al-Bukhari (no. 529) dan Muslim (no. 633). [17] Lihat keterangan Syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/457). [18] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/469) dan “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/455). [19] Dinukil oleh Syaikh al-‘Utsaimin kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/456). [20] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 302) dan “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/456). [21] HSR Muslim (no. 169). [22] HSR Muslim (no. 291). [23] HSR Muslim (no. 177). [24] Lihat kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/457). [25] Tafsir Ibnu Katsir (3l310). [26] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3l310). [27] Lihat kitab “Syarhul ‘Aqiidatil Waashithiyyah” (1/457). [29] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab “An-Nihayah fiil Fitani wal Malaahim” (hal. 127).