Muqadimah
Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari jawaban terhadap buku "Mana Dalilnya 2" karya Novel Alaydrus. Jawaban ini ditulis oleh Abu Hudzaifah Al-Atsary jazaahullahu khairan melalui blog www.basweidan.wordpress.com dengan judul artikel "Ini Dalilnya (3)".
Seputar Istighatsah
Definisi istighatsah ala jahiliyah
Pembaca yang budiman, sungguh mengherankan memang, ketika orang yang hidup di abad 21 dengan berbagai kemajuan Iptek-nya masih berpikir ala jahiliyah. Masih mending jika keyakinan tersebut berangkat dari kebodohan karena ia tinggal di tengah hutan belantara, atau di daerah terpencil yang tak pernah mengenyam pendidikan. Namun jika ia mengaku ‘terpelajar’ dan masih mempercayai takhayul bahkan mengajak orang kepada hal tersebut, maka orang ini perlu kita waspadai… pasti ada udang di balik batu! Saya sudah berusaha untuk khusnudzon terhadap Novel dari awal buku ini. Akan tetapi, setelah membaca masalah istighatsah di akhir bukunya, saya terbakar rasa cemburu… cemburu akibat dilanggarnya hak-hak Allah atas nama syariat! Coba perhatikan bagaimana si Qubury ini mendefinisikan istighatsah (hal128):
“Dalam syariat istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul atau orang saleh –yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia– untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya”.
Minta doa kepada yang sudah meninggal dunia? Lho kok bisa? Bisa saja… karena masalah takhayul memang tidak mengenal batas. Segala sesuatu yang tidak masuk akal pun bisa diterima dengan pola pikir jahiliyah semacam ini. Dia meyakini orang yang sudah mati bisa mendoakan yang masih hidup, padahal Allah U berfirman kepada Nabi e:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar (Faathir: 22).
Ayat di atas jelas sekali mengatakan bahwa Nabi e saja tidak dapat membikin orang yang sudah mati bisa mendengar, padahal beliau adalah manusia paling shalih. Artinya, jelas sekali bahwa siapapun yang sudah mati tidak bisa mendengar seruan orang yang masih hidup. Jadi percuma saja orang minta-minta kepada orang mati, sebab yang dia mintai tadi sama dengan batu yang tidak mendengar. Kalau ada yang membolehkan minta doa kepada orang mati, berarti ia meyakini bahwa orang mati bisa mendengar permintaan yang masih hidup. Nah, bukankah ini sama dengan menentang makna ayat di atas? Lalu perhatikan ayat berikut beserta penafsiran Imam Ibnu Jarir[1] atasnya: Allah U berfirman:
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ (13) إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ (14)
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.
Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau pun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.
Syaikhul Mufassirin[2] Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabary dalam tafsirnya mengatakan: Allah mengatakan bahwa jika kalian –wahai sekalian manusia- menyeru sesembahan-sesembahan yang kalian sembah selain Allah itu, mereka tidak akan mendengar seruan kalian karena mereka adalah benda mati yang tidak bisa memahami apa yang kalian katakan. Kalaupun mereka bisa mendengar, memahami dan tahu bahwa kalian menyeru mereka; mereka tidak akan menjawab seruan kalian karena mereka tidak bisa bicara, dan tidak setiap yang mendengar ucapan bisa menjawabnya dengan mudah. Kemudian Allah berfirman kepada orang-orang yang menyekutukannya dengan para aalihah dan autsaan[3]: “Lalu bagaimana kalian bisa menyembah selain Allah yang sifatnya seperti itu? Sedangkan sesembahan itu tidak punya manfaat apa-apa untuk kalian, dan tidak mampu mencelakai kalian, lalu kalian tinggalkan peribadatan Dzat yang dapat memberi manfaat dan kecelakaan bagi kalian, padahal Dia lah yang menciptakan dan memberi nikmat kalian? Demikianlah penjelasan para ahli tafsir…”, kemudian beliau menyebutkan nama & ucapan mereka satu persatu[4]. Lalu Allah berfirman kepada orang-orang musyrik penyembah watsan: Di hari kiamat nanti, sesembahan-sesembahan kalian yang selain Allah akan berlepas diri dari kalian. Mereka mengingkari kalau mereka dijadikan sekutu Allah ketika di dunia. Mereka tidak pernah mengakui perbuatan syirik tersebut dan tidak merestuinya. Dan tidak ada yang bisa bercerita kepadamu, hai Muhammad, –tentang sesembahan kaum musyrikin dan bagaimana keadaan mereka dan para penyembahnya di hari kiamat– seperti Allah yang tahu akan semua yang sedang dan akan terjadi. Demikianlah penjelasan para ahli tafsir”. Kata beliau mengakhiri ucapannya.[5] Dari uraian di atas, kita dapat menarik titik temu antara definisi Novel yang mengatakan bahwa istighatsah adalah minta tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang shalih walaupun sudah meninggal…dst; dengan keyakinan kaum musyrikin kepada berhala-berhala mereka. Di mana titik temunya? Ialah karena Novel dan orang-orang musyrik tersebut sama-sama meyakini bahwa para berhala maupun orang yang mati tadi bisa memberi manfaat, atau mendengar seruan orang yang menyerunya.
Na’udzubillahi minal kufri wasy syirki billaah (kami berlindung kepada Allah dari perbuatan kufur dan syirik kepada-Nya)!! Inikah yang kau ajarkan hai Novel?? Sungguh buruklah apa kau ajarkan selama ini…!! Engkau membolehkan kaum muslimin untuk minta doa dari orang yang sudah mati, dan menganggap mereka bisa memberi manfaat kepada yang masih hidup… lantas apa bedanya ajaran yang engkau bela tersebut dengan keyakinan musyrikin Mekkah yang selama 23 tahun ditentang habis-habisan oleh Kakekmu[6], Rasulullah Muhammad e beserta para sahabatnya? Toh musyrikin Quraisy pada hakikatnya tidak meyakini bahwa patung dan berhala yang mereka sembah mampu menolong mereka secara langsung, mereka tidak lain tidak bukan hanyalah menganggap sesembahan itu sebagai perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, karena berhala tersebut adalah lambang atau simbol dari orang-orang shalih yang pernah hidup di zaman dahulu[7]… inilah hakikat syirik yang mereka lakukan, yaitu menganggap bahwa dalam beribadah kita harus pakai perantara. Siapakah perantaranya? Yaitu berhala untuk musyrikin tempo dulu, atau kuburan ‘wali’, orang shalih, habib, kyai, dll untuk musyrikin zaman ini…. apa bedanya? Tidak ada. Jadi, saya tidak mengada-ada bila mengatakan bahwa Novel hendak mengembalikan ajaran jahiliyah yang dibungkus dengan indah dan dibumbui ayat-ayat dan hadits-hadits[8] agar bisa diterima masyarakat…. Toh banyak masyarakat kita masih banyak yang percaya dengan takhayul, tidak mengerti bahasa Arab, ilmu tafsir, musthalah hadits dan lain sebagainya. Hingga mudah bagi dia untuk mempermainkan akal mereka demi kepentingan pribadinya… Kalau engkau mengatakan (hal 127): “Saudaraku, kita semua meyakini bahwa hanya Allah lah yang dapat menolong kita. Hanya DIA lah yang dapat memberi manfaat dan mencegah keburukan. Itulah keyakinan semua umat Islam. Tetapi, apakah dengan demikian kita tidak boleh meminta tolong kepada makhluk yang IA beri keistimewaan?”
Saya katakan: engkau salah besar! Tidak semua orang yang mengaku Islam meyakini seperti itu, bahkan puluhan atau mungkin ratusan juta kaum muslimin masih meyakini bahwa para wali, orang shalih, atau haba-ib –yang kuburannya dibangun megah dan dikeramatkan di berbagai penjuru dunia– dapat memberi manfaat dan menyampaikan hajat mereka[9]. Kalaulah mereka tidak meyakini hal tersebut, niscaya tidak ada gunanya Rasulullah e melarang keras segala bentuk pengeramatan dan pengagungan terhadap orang shalih yang sudah mati. Kalaulah seluruh kaum muslimin meyakini seperti apa yang kau katakan, maka tolong jelaskan apa maksud ayat berikut?
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ [يوسف/106]
Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).
Adapun meminta tolong kepada orang yang DIA beri keistimewaan, maka sepanjang yang dimintai tolong adalah orang yang masih hidup dan mampu menolong, maka hal tersebut tidak mengapa dan tidak ada kaitannya dengan makna istighatsah dalam syari’at. Itu adalah isti’anah (minta tolong) biasa. Tapi jika yang dimintai tolong adalah orang mati, maka kemungkinannya hanya dua: pertama, dia telah mendustakan firman Allah di atas (Faathir: 22), atau dia orang gila karena menganggap orang mati bisa mendengar ucapannya.
Cara berdalil yang Aneh bin Ajaib ala Novel Alaydrus
Saya sengaja tidak menggubris dalil-dalil bolehnya istighatsah dengan orang yang masih hidup karena semuanya shahih tapi tidak ada kaitannya dengan pembahasan ini. Kecuali dalil ketiga yang disebutkan Novel (hal 130), yaitu hadits:
إِذَا ضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئاً أَوْ أَرَادَ عَوْناً وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيْهَا أَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ: يَا عِبَادَ اللهِ أَغِيثُونِي، يَا عِبَادَ اللهِ أَغِيْثُونِي، فَإِنَّ لِلَّهِ عِبَاداً لاَ نَرَاهُمْ
“Jika salah seorang di antara kalian menghilangkan sesuatu[10] atau menginginkan pertolongan, sedangkan ia berada di suatu tempat yang tidak ada teman di sana, maka hendaklah dia mengucapkan, ‘Wahai hamba-hamba Allah tolonglah aku, wahai hamba-hamba Allah tolonglah aku’. Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang tidak kita lihat.” (HR Thabrani). Ini bukti kedua akan ketidak jujuran Novel dalam menukil dan meriwayatkan suatu hadits. Ia sengaja mengabaikan penjelasan Al Haitsami yang disertakan di catatan kaki hadits tersebut. Al Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Ath Thabrani, dan para perawinya dianggap tsiqah meski sebagiannya memiliki kelemahan, akan tetapi Zaid bin Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah[11]. Selain sanad yang terputus tadi, hadits ini memiliki cacat lain karena salah seorang perawinya bernama Abdurrahman bin Syarik. Orang ini dinyatakan oleh Abu Hatim sebagai: ‘Waahil hadiets’ (=haditsnya sangat lemah), sedangkan Ibnu Hibban menyifatinya dengan kata-kata: ‘Rubbama akhtha’ (=terkadang keliru). Kemudian ia meriwayatkan dari ayahnya yang bernama Syarik bin ‘Abdillah Al Qadhi, yang disifati oleh Ibnu Hajar sebagai: ‘Shaduq yukhti’u katsieran, taghayyara hifdhuhu mundhu waliyal qadha’ (=Shaduq, banyak keliru, hafalannya melemah sejak menjabat sebagai Qadhi/hakim). Singkatnya, hadits ini adalah hadits mardud yang tidak boleh dijadikan dalil, apalagi bila menyangkut masalah aqidah seperti ini[12].
Istighatsah dengan yang telah meninggal dunia
Saya sempat tertegun membaca judul tersebut… ya, barangkali pembaca juga demikian. Memang, orang-orang sufi macam Novel Alaydrus tidak mungkin terlepas dari masalah khurafat dan takhayul semacam itu. Mengapa? Sebab dalam kamus tasawuf, seorang wali yang telah meninggal masih memiliki pengaruh hebat di ‘alam sana’. Mereka diyakini bisa mendengar dan mengabulkan doa orang yang menyerunya, bahkan banyak diantara firqah Sufi yang meyakini bahwa alam semesta ini berada di bawah kendali para wali Quthub… dan segudang keyakinan ‘aneh’ lainnya.
Oleh karena itu, Imam Syafi’i demikian tegas mencela orang yang belajar tasawuf secara umum. Dengarlah perkataan beliau tentang tasawuf dan orang-orang sufi di zamannya, yang notabene masih ‘jauh lebih bagus’ daripada orang-orang sufi zaman ini. Beliau mengatakan:
لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَوَّفَ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، لَمْ يَأْتِ عَلَيْهِ الظُّهْرُ إِلاَّ وَجَدْتَهُ أَحْمَقَ
Jika seseorang belajar tasawuf dari pagi, begitu menginjak dhuhur pasti kau dapati dia seorang yang tolol [13]. مَا رَأَيْتُ صُوفِياًّ عَاقِلاً قَطُّ إِلاَّ مُسْلِمٌ الخَوَّاصُ
Aku tidak pernah sekalipun melihat ada orang sufi yang berakal, kecuali Muslim Al Khawwash.[14] لاَ يَكُونُ الصُّوفِيُّ صُوْفِياًّ حَتىَّ يَكُونَ فِيْهِ أَرْبَعُ خِصَالٍ: كَسُولٌ أَكُولٌ نَؤُومٌ كَثِيرُ الفُضُولِ
Seorang sufi tidak akan benar-benar menjadi sufi hingga ia memiliki empat sifat: pemalas, banyak makan, banyak tidur dan banyak melakukan hal-hal yang tidak perlu.[15] مَا لَزِمَ أَحَدٌ الصُّوفِيِّيْنَ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً فَعَادَ عَقْلُهُ أَبَداً
Tidaklah seseorang bergaul dengan orang-orang sufi selama 40 hari, melainkan akalnya tidak akan kembali selamanya.[16] Nah, kalau kita sudah mengerti hakikat dari ajaran yang dibawa oleh orang-orang sufi model Novel, kita bisa sedikit maklum mendengar hal-hal yang ‘aneh’ semacam itu… kita cukup mengingat perkataan Imam Syafi’i di atas dan mengatakan: “Maklum… akalnya sudah tidak beres”.
Berangkat dari sini, kita tidak usah bertele-tele menjawab dalil-dalil yang disebutkan oleh orang yang akalnya sudah tidak beres tadi, toh semuanya tidak lepas dari hadits dha’if, maudhu’, atau qiyas yang kacau… yah, bagaimana tidak kacau? Kalau akal yang dipergunakan untuk mengqiyaskan sudah kacau, dijamin hasil qiyasnya seratus persen pasti kacau. Tidak percaya? Coba baca tulisannya berikut (hal 131-132):
Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah makam waliyullah, seorang yang saleh, kemudian berkata, “Wahai Syeikh Fulan, doakan agar kami dapat menjadi Muslim yang baik, dapat mendidik anak-anak kami dengan benar…” Dan hal-hal yang serupa. Pertanyaannya, bolehkah hal tersebut dilakukan? Apakah ini termasuk istighatsah?
Saudaraku, kalimat yang kami contohkan di atas merupakan salah satu bentuk istighatsah dengan yang telah meninggal dunia. Istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat. Sebab, pada intinya tidak ada perbedaan antara istighatsah dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia. Kami akan menjelaskannya secara singkat.
Pertama, pada hakikatnya, para Nabi dan kaum sholihin yang diridhai Allah adalah hidup di kuburnya. Allah U mewahyukan:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [آل عمران/169]
Dan Janganlah kamu kira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki (Ali Imran: 169).
Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa para syuhada itu hidup di alamnya sana. Jika para syuhada hidup dan mendapatkan kenikmatan di sisi Allah, maka para Nabi dan Rasul serta Para sahabat dan kaum sholihin yang berkedudukan lebih mulia dari mereka juga hidup seperti mereka. Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum sholihin, kepada para malaikat, maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita.
Saya katakan, inilah bukti ketidakberesan akal Novel… pertama, ayat diatas tidak ada sangkut pautnya dengan istighatsah dengan orang mati. Kedua, orang mati tidak sama dengan orang hidup, kecuali menurut orang gila! Ketiga, alasan yang disebutkannya juga sama sekali tidak nyambung dengan istighatsah… apakah mentang-mentang masih saudara kita lantas hukum yang mati harus disamakan dengan yang masih hidup? Kalaulah saudara kita yang mati hukumnya sama dengan yang masih hidup, niscaya hartanya tidak boleh dibagi waris, isterinya tidak boleh menikah lagi dan harus menjanda selamanya. Inilah rusaknya qiyas (baca: akal-akalan) orang sufi macam Novel Alaydrus…
Lebih dari itu, ayat yang disebutkan justeru menolak pendapatnya… kalaulah orang yang mati bisa memberi manfaat kepada yang hidup, lantas mengapa Allah mengatakan bahwa mereka ‘diberi rezeki’ dan tidak mengatakan ‘memberi rezeki’? Dan mengatakan bahwa mereka hidup ‘di sisi Tuhannya’, bukan ‘hidup di dunia’? Apakah firman Allah tadi tidak bermakna apa-apa?
Tentu Novel masih punya dalil lain, yaitu hadits dha’if jiddan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath Thayalisi (bukan Imam Abu Dawud yang menulis kitab Sunan!), bunyinya (hal 132-133):
إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى أَقْرِبَائِكُمْ وَعَشَائِرِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ فَإِنْ كَانَ خَيْراً اِسْتَبْشَرُوا بِهِ وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اَللَّهُمَّ أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ
“Sesunnguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, “Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepada-Mu.”
Saya katakan, dalam hadits ini ada perawi yang namanya Ash Shalt bin Dinar, darinyalah Abu Dawud meriwayatkan hadits ini[17]. Nah, perawi ini adalah matruk hingga hadits yang diriwayatkannya derajatnya dha’if jiddan (sangat lemah).[18] Adapun dalil lain yang disebutkan Novel ialah peristiwa isra’ dan mi’raj ketika Nabi Musa u memberi saran kepada Rasulullah e agar minta keringanan perintah shalat kepada Allah dari 50 waktu hingga menjadi 5 waktu. Kemudian Novel mengatakan (hal 133): “Lihatlah, Nabi Musa u masih bisa memberikan manfaat meskipun beliau telah meninggal dunia”. Kemudian Novel menyebutkan dalil-dalil lainnya sebagai berikut:
Ingatkah Anda pada kisah Nabi Musa dan Khidhir u yang berusaha untuk mendirikan rumah anak yatim yang akan roboh demi menyelamatkan harta warisan mereka yang tersimpan di dalamnya? Semua itu mereka lakukan karena ayah (kakek ketujuh) kedua anak yatim tersebut seorang yang saleh. Perhatikanlah, meskipun telah meninggal dunia, mereka masih dapat memberikan manfaat kepada yang hidup hingga Allah mengutus Nabi Musa dan Khidhir u untuk menjaga harta warisan tersebut.
Ibnu Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayidina ‘Umar t pernah terjadi paceklik. Saat itu Bilal bin Harits al Muzani berziarah ke makam Rasulullah e dan berkata, “Duhai Rasulullah e, mintakanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa.” Tak lama kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi e yang berkata kepadanya, “Temuilah ‘Umar, sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan memperoleh hujan…”. Ibnu Hajar Al Asqalani menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Para ulama yang meriwayatkan hadits ini juga tidak ada yang mencela isinya.[19] Saya katakan, kisah isra’ mi’raj yang disebutkan oleh Novel terjadi di akhirat bukan di dunia. Kemudian itu terjadi antara para Nabi, bagaimana ia hendak mengqiyaskan masalah akhirat yang terjadi di antara para Nabi dengan bolehnya orang yang masih hidup minta doa kepada orang yang mati ketika di dunia? Sungguh benar-benar qiyas yang aneh bin ajaib…
Demikian pula kisah Nabi Musa dan Khidhir u. Manfaat yang diberikan oleh si Kakek kepada cucunya ialah karena keshalihan kakek tersebut, dan ini khusus bagi seseorang untuk cucunya. Lantas bagaimana hendak diqiyaskan dengan istighatsah kepada orang mati? Dimanakah persamaannya? Kalaulah Si kakek dinyatakan shalih oleh Allah yang Maha Tahu (QS al Kahfi: 82), lalu siapa yang menjamin bahwa yang berada di dalam kubur tadi benar-benar orang shalih? Lepas dari itu semua, tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa orang yang sudah mati dapat mendengar seruan orang yang masih hidup, apalagi mendoakannya.
Kemudian tentang riwayat Ibnu Abi Syaibah, setelah merujuk ke kitab aslinya[20] ternyata dalam hadits tersebut tidak disebutkan nama Bilal bin Harits Al Muzani, berikut ini kami nukilkan riwayatnya lengkap dengan sanadnya, Ibnu Abi Syaibah berkata: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ مَالِكِ الدَّارِ , قَالَ: وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ عَلَى الطَّعَامِ , قَالَ: أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ , فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ e , فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ , اسْتَسْقِ لأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا , فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ : ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلامَ , وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مَسْقِيُّوْنَ، وَقُلْ لَهُ : عَلَيْك الْكَيْسُ , عَلَيْك الْكَيْسُ , فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ , ثُمَّ قَالَ : يَا رَبِّ لاَ آلُو إلاَّ مَا عَجَزْت عَنْهُ.
Artinya: Abu Mu’awiyah menceritakan kepada kami dari Al A’masy, dari Abi Shalih dari Malik Ad Daar, (Abu Shalih berkata): Konon dia (yakni Malik Ad Daar) adalah penjaga gudang makanan di masa Umar. Malik Ad Daar berkata: “Di zaman Umar, orang-orang mengalami paceklik, maka datanglah seseorang ke kubur Nabi e lalu mengatakan: “Ya Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah binasa”. Maka Beliau mendatangi orang tersebut dalam mimpinya lantas berkata kepadanya: “Datangilah Umar lalu sampaikan salamku kepadanya, dan kabarkan kepadanya bahwa kalian akan mendapat hujan. Lalu katakan kepadanya: “Hendaklah engkau bijaksana (2x)”. Kemudian orang tersebut mendatangi Umar dan mengatakan hal tersebut, maka Umar pun menangis dan mengatakan: “Ya Rabbi, aku tidaklah melalaikan kecuali apa yang tak sanggup kulakukan”.[21] Kemudian setelah mengecek ucapan Ibnu Hajar Al Asqalani dari sumber aslinya[22], ternyata beliau mengatakan: وَرَوَى ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي صَالِحٍ السَّمَّانِ عَنْ مَالِكِ الدَّارِي وَكَانَ خَازِنَ عُمَرَ…
Artinya: Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih sebagai riwayat Abi Shalih As Samman dari Malik Ad Daar, dan konon ia penjaga gudang Umar…dst.
Ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar tidak menshahihkan hadits tersebut secara mutlak, akan tetapi menshahihkannya dari riwayat Abu Shalih As Samman dari Malik Ad Daar[23]. Namun, berhubung Novel dan gurunya[24] sama-sama tidak mengerti musthalah hadits, ia tidak bisa memahami perkataan Ibnu Hajar tadi dengan benar, lantas memotong perkataan beliau seenaknya dan mengatakan bahwa beliau menshahihkan hadits tersebut. Singkatnya, Ibnu Hajar tidak menshahihkan riwayat tersebut secara keseluruhan, tapi hanya menshahihkan sejumlah perawinya, yaitu: Abu Mu’awiyah, Al A’masy dan Abu Shalih As Samman. Kalaulah beliau hendak menshahihkan riwayat tersebut secara keseluruhan, niscaya beliau mengatakan: وروى ابن أبي شيبة بإسناد صحيح أن مالك الدار…[25] Kemudian jika ditinjau dengan ilmu musthalah, hadits ini tidak bisa dianggap shahih. Karena kita tidak tahu siapakah orang yang mendatangi kuburan tersebut yang kemudian mimpi bertemu dengan Nabi… dst. Jelas sekali bahwa orang ini tidak diketahui identitasnya, lantas bagaimana hadits ini bisa dishahihkan, sedangkan pemeran utama dalam kisah tersebut adalah orang yang tidak dikenal…?
Thayyib, saya akan beritahu darimana Novel bisa mengatakan bahwa orang tersebut adalah sahabat Nabi yang bernama Bilal bin Harits Al Muzani… Novel menukil hal itu dari kitab ‘guru’nya yang menukil dari Saif bin Umar At Tamimi, yang meriwayatkan bahwa orang tersebut adalah Bilal bin Harits Al Muzani. Tapi sayangnya, Saif bin Umar adalah seorang yang dha’iful hadiets[26]. Jadi, riwayatnya otomatis mardud. Barangkali karena merasa bahwa dalil-dalil yang disebutkannya tidak ada yang cukup kuat, Novel pun menyebutkan dalil berikutnya. Ia mengatakan (hal 134): “Imam Darimi menceritakan bahwa pada suatu ketika warga Madinah mengalami musim kemarau yang sangat panjang. Mereka mendatangi Ummul Mukminin ‘Aisyah rha mengadukan keadaan mereka. Beliau berkata, “Pandanglah makam Nabi Muhammad e dan buatlah lubang (seperti jendela) di atap makam beliau, sehingga antara makam beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Masyarakat Madinah melaksanakan saran Ummul Mukminin ‘Aisyah rha dan tidak lama setelah itu turunlah hujan yang menyuburkan rerumputan dan menggemukkan onta. Atsar ini juga menyebutkan bahwa para sahabat beristighatsah dengan Rasulullah e setelah wafat beliau.
Saya heran, mengapa Novel tidak menyebutkan nomor jilid dan halaman dari kitab tempat dia menukil atsar tersebut? Tapi segera terlintas dalam benak saya bahwa atsar ini ia nukil dari sunan Ad Darimi, dan ternyata memang benar. Tapi masalahnya bukan di sini, rupanya Novel sengaja tidak menyebutkan nomor jilid dan halamannya karena khawatir jika kebohongannya terungkap, sebab dia mengatakan bahwa atsar ini juga menyebutkan bahwa para sahahat beristighatsah dengan Rasulullah setelah wafat beliau [27]. Dan saya sama sekali tidak mendapatkan apa yang dikatakan Novel tersebut. Bila pembaca ingin membuktikannya, silakan baca mukaddimah Sunan Ad Darimi, bab: Maa Akramallaahu Ta’ala Nabiyyahu e ba’da mautihi.[28] Bahkan dari penamaan bab-nya kita bisa menyimpulkan bahwa hadits diatas tidak ada hubungannya dengan istighatsah dengan orang yang sudah mati, akan tetapi sekedar menjelaskan bagaimana Allah memuliakan Nabi-Nya setelah beliau wafat.
[1] Penafsiran ini sengaja kami salin apa adanya secara selang-seling antara potongan ayat dengan tafsirnya agar mudah difahami. [2] Demikianlah julukan para ulama terhadap beliau, yang artinya “Gurunya para ahli tafsir”. Hal ini ialah karena kitab tafsir yang beliau susun adalah kitab tafsir paling agung dan paling awal, dan seluruh ahli tafsir setelah beliau pasti menukil dari kitab tersebut. Nama beliau adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir, Abu Ja’far Ath Thabary. Beliau lahir tahun 224 H dan memiliki ilmu, kecerdasan dan banyaknya karya tulis yang jarang ada tandingannya di zaman itu. Beliau mengatakan: “Aku istikharah dan minta tolong kepada Allah selama tiga tahun untuk mewujudkan niatku menyusun tafsir sebelum aku menulisnya, maka Allah pun menolongku”. Suatu ketika beliau berkata kepada murid-muridnya: “Tertarikkah kalian dengan tarikh sejak Nabi Adam hingga hari ini?”
“Seberapa panjang itu?” tanya mereka.
“Sekitar 30 ribu lembar“, jawab beliau.
“Wah, umur kita akan habis sebelum menyelesaikannya”, jawab mereka.
“Inna lillaah, semangat (dalam mencari ilmu) telah padam”, tukas beliau.
Maka beliau pun meringkasnya menjadi sekitar 3000 lembar. Kemudian ketika ingin meng-imla’kan (mendiktekan) kitab tafsirnya, beliau juga berkata seperti itu dan mendapat jawaban yang sama, maka beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar. Beliau wafat pada tahun 310 H, dan alhamdulillah, kedua kitab tersebut masih ada sampai hari ini. Demikianlah sekelumit biografi beliau, selengkapnya dapat saudara baca dalam Siyar A’laamin Nubala’ jilid 14 hal 267-282, tulisan Imam Adz Dzahabi.
[3] Inilah yang penting untuk difahami, apa makna aalihah dan autsaan? Yang pertama adalah bentuk jama’ dari kata ilaah, artinya sesuatu yang diibadahi, yang dalam konteks ini adalah shanam (patung/arca). Sedang yang kedua adalah bentuk jama’ dari kata watsan. Beda antara shanam dengan watsan ialah bahwa shanam memiliki tubuh atau wajah, sedangkan watsan tidak (lihat: Lisaanul ‘Arab, kata sha-na-ma (صنم) ). [4] Lihat: Tafsir Ath Thabary 20/453. [6] Ironis memang kalau sang cucu justeru mengkhianati perjuangan orang yang diklaim sebagai leluhurnya. Mudah-mudahan dia segera bertaubat dari kesesatannya agar tidak menjadi seperti anak Nabi Nuh yang durhaka dan kufur terhadap ajaran ayahnya, hingga binasa dalam kekufuran. Ya… karena Islam bukan agama nepotisme, tidak bisa mentang-mentang keturunan Nabi lantas dapat jaminan Surga, doanya manjur, banyak berkahnya dan sebagainya… TIDAK sama sekali. [7] Dalam surat Az Zumar ayat 3 Allah berfirman yang artinya: Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Lalu muncullah berhala seperti Laatta, ‘Uzza dan sebagainya. Tahukah Anda siapa itu Laatta? Simak penjelasan Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubeir, Mujahid berikut: Al Laatta konon seorang yang membikin adonan gandum untuk jemaah haji –diambil dari kata: latta-yaluttu fahuwa laattun, yang artinya mencampur tepung dengan air. Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya: “Setelah orang itu wafat, mereka mengeramatkan kuburannya dan menyembahnya!” (lihat: Tafsir Al Qurthubi, 17/100). [8] Tanpa peduli apakah itu shahih, dha’if atau bahkan palsu sekalipun. kalaupun ada yang shahih –dan itu sangat jarang— maknanya pasti tidak mengena dan dipelintir kesana kemari. [9] Sebagai rujukan, silakan baca kitab yang berjudul: Dam’atun alat tauhid (دمعة على التوحيد). Kitab ini dapat didownload dari internet, isinya tentang fenomena penyembahan terhadap berbagai kuburan di seluruh penjuru dunia. Anda mungkin tidak percaya jika di Mesir saja ada sekitar 6000 kuburan yang dikeramatkan, belum lagi di Pakistan, Bangladesh, Sudan dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya. [10] Begitu terjemahan Novel, sedangkan yang tepat adalah: kehilangan sesuatu. [11] Lihat: Al Majma’uz Zawa-id 10/133. [12] Lihat penjelasan Syaikh Al Albani tentang hadits ini dan bantahan beliau terhadap orang yang menjadikannya sebagai dalil bolehnya beristighatsah kepada yang sudah mati dalam Silsilah Al Ahadiets adh Dha’iefah wal Maudhu’ah 2/109 hadits no 656. [13] Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’i 2/208 dengan sanad yang shahih. [16] Diriwayatkan oleh Ibnul Jauzy dalam Talbis Iblis hal 371, dengan sanad yang shahih. [17] Lihat: Musnad Abu Dawud Ath Thayalisi 3/340, hadits no 1903. [18] Lihat catatan kaki muhaqqiq pada hadits tersebut. [19] Mana Dalilnya 1 hal133-134. Novel menukil dalil-dalil tersebut dari seorang Sufi sepertinya yang kacau dalam berpikir. Yaitu Muhammad ‘Alwi Al-Maliki dalam bukunya: Mafahim Yajibu An Tushahhah hal 151. [20] Tidak seperti biasanya, Novel kali ini tidak mencantumkan lafazh haditsnya, mengapa? Wallahu a’lam, barangkali karena lafazh hadits tersebut dhahirnya banyak mengandung ‘masalah’ hingga repot untuk dipelintir kesana kemari, karena itu ia cukup menulis terjemahannya saja yang berbeda dari aslinya. [21] Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 17/63-64. [22] Lihat: Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari 2/495, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani. [23] Artinya: sanadnya shahih sampai ke Abu Shalih As Samman saja. Adapun perawi yang disebutkan setelahnya tidak termasuk dalam ucapan beliau, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti. [24] Yaitu Muhammad ‘Alwi Al Maliki dalam bukunya Mafahiem Yajibu An Tushahhah. Novel banyak sekali menukil dari buku ini dalam menulis buku Mana Dalilnya 1. [25] Yang artinya: “Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Malik Ad Daar… dst”. [26] Lihat: Taqriebut Tahdzieb 1/408. lihat juga perkataan para ulama tentangnya dalam Tahdzibut Tahdzieb 4/297, keduanya tulisan Ibnu Hajar. Diantara para ulama bahkan ada yang menuduhnya sebagai pemalsu hadits. [27] Mana Dalilnya 1 hal 134 paragraf ke-3. [28] Lihat scan halaman terkait dalam lampiran.
Sumber: http://basweidan.wordpress.com/2011/04/23/ini-dalilnya-3/#more-566