Apakah Meminta Diruqyah Akan Mencemari (Membatalkan) Sifat Tawakkal????
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam حفظه الله berkata:
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini menjadi dua pendapat:
Sebagian berpendapat bahwa meminta diruqyah itu mencemari (membatalkan) sifat tawakkal.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa meminta diruqyah itu tidaklah mencemari tawakkal dan tidak pula membatalkannya.
Al-‘Allamah Ibnul Qayyim رحمه الله berkata dalam kitabnya “Zaad Al-Ma’ad” (4/15): “Dalam hadits-hadits yang shahih ada perintah untuk berobat, dan tindakan berobat itu tidaklah menghilangkan sifat tawakkal, sebagaimana tawakkal itu tidaklah hilang ketika orang mengobati rasa lapar, dahaga, panas, dan dingin dengan segala hal yang bertentangan dengan hal-hal tadi. Bahkan tidak akan sempurna hakikat suatu tawakkal kecuali dengan menempuh langsung sebab-sebab yang diletakkan oleh Allah تعالى untuk mencapai suatu hasil yang dikejar secara teori ataupun syar’i.
Dan meninggalkan sebab-sebab itu justru akan mencemari tawakkal itu sendiri, sebagaimana hal itu mencemari perintah dan hikmah. Dan juga melemahkannya dari sisi orang yang meninggalkan sebab itu menyangka bahwa meninggalkan sebab itu akan lebih kuat dalam bertawakkal. Maka meninggalkan sebab karena merasa lemah itu akan menghilangkan tawakkal, yang mana hakikat tawakkal adalah: “Bersandarnya kalbu kepada Allah تعالى dalam meraih perkara-perkara yang bermanfaat untuk agama dan dunianya, serta menangkal perkara-perkara yang merugikan agama dan dunianya.” Maka harus ada bersandarnya kalbu dan menempuh langsung sebab-sebab yang diletakkan, kalau tidak jadilah dia meniadakan hikmah dan pensyari’atan. Maka seorang hamba tidak boleh menjadikan rasa lemahnya itu sebagai tawakkal dan tidak boleh menjadikan tawakkalnya itu sebagai bentuk kelemhan.”
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) رحمه الله berkata dalam “Fath Al-Bary” (10/261): “Yang benar adalah bahwa orang yang percaya penuh kepada Allah تعالى dan merasa yakin bahwa ketetapan Allah تعالى itu yang berlaku, maka tidak akan mencemari tawakkalnya sikap dia menempuh suatu sebab, sebagai bentuk mengikuti sunnah Allah تعالى dan sunnah Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم. …. Beliau berkata kepada orang yang bertanya: “Apakah aku menambatkan ontaku atau membeirakannya?” Beliau berkata: “Tambatkan (ikatkan) dan betawakkallah.” Hal ini mengisyaratkan bahwa berusaha menjaga dengan sebab tersebut tidaklah menghilangkan tawakkal.”
Aku (Asy-Syaikh Muhammad) berkata: Asal dari perbedaan ini adalah hadits Al-Mughirah bin Syu’bah رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنِ اكْتَوَى أَوِ اسْتَرْقَى فَقَدْ بَرِئَ مِنَ التَّوَكُّلِ
“Barangsiapa melakukan kay atau meminta diruqyah, maka dia telah terlepas dari tawakkal.”
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy (2055), Ahmad (4/249), Ibnu Majah (3489). Dan ini hadits yang hasan.
Maknanya adalah menghilangkan kesempurnaan tawakkal, bukan menghilangkan tawakkal secara keseluruhan.
Al-‘Allamah As-Sindy رحمه الله berkata:
“Telah terlepas dari tawakkal” artinya adalah bukanlah dari kesempurnaan tawakkal sikap terkait dengan sebab-sebab yang jauh, seperti ruqyah dan kay. Orang-orang yang yang bergantung kepada sebab-sebab semacam ini bukanlah merupakan orang yang sempurna tawakkalnya.
Dinukilkan dari catatan kaki terhadap Musnad Al-Imam Ahmad (3/117) dengan tahqiq Syu’aib.”
(Jawaban dinukil dari kitab “Ahkam At-Ta’amul Ma’a Al-Jin Wa Adab Ar-Ruqa Asy-Syar’iyah” hal. 83-86 dengan sedikit peringkasan.)
Dan silahkan lihat pada “Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah” (1/82-84).
Abu Zubair ‘Umar Al-Indunisy
Sumber:
http://thalibmakbar.wordpress.com/2011/07/10/apakah-meminta-diruqyah-akan-mencemari-sifat-tawakkal/#more-580