Sesungguhnya telah banyak kitab-kitab yang ditulis berdasarkan dalil dan hujjah yang kokoh yang menjelaskan tentang kebatilan bid’ah dan pendukungnya. Akan tetapi terkadang ada sebagian orang yang tetap pada pendiriannya meyakini bahkan membela bid’ah. Berikut ini akan saya turunkan sebuah tulisan dari buku “Mengapa Anda Menolak Bid’ah Hasanah?” pada bagian penutup yang berisi 10 kalimat yang seandainya orang yang adil mau memikirkan dan memeperhatikannya, niscaya akan tampak baginya bahwa semua bid’ah itu adalah sesat. Berikut ini nukilannya :
Setelah menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwasanya bid’ah itu seluruhnya jelek dan buruk, dan setelah mendiskusikan syubhat¬syubhat orang-orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dan membatalkannya, maka menjadi jelaslah bahwa perkataan tentang adanya bid’ah hasanah adalah perkataan bathil yang bertentangan dengan nash-nash dan atsar-atsar (dari para sahabat,pent), maka pada bagian penutup ini akan saya sebutkan sepuluh kalimat, jika satu saja yang akan saya sebutkan dan ini diperhatikan dengan baik, maka sudah cukup untuk menjelaskan tentang kebathilan perkataan tentang bid’ah hasanah, apalagi kalau seluruhnya dirampungkan, dan bagaimana pula jika ditopang dengan nash-nash terdahulu.
Dengan demikian maka tidak akan tersisa sedikitpun syubhat bagi pelaku bid’ah dan tidak pula ada peluang baginya untuk berkomentar.
Pertama: Bahwasanya dalil-dalil tentang celaan terhadap bid’ah sangat banyak, dan semuanya datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat di dalamnya pengecualian sedikitpun dan tidak pula terdapat di dalamnya sesuatu yang menghendaki (yang terkandung makna) bahwa dalam bid’ah itu ada yang berupa petunjuk (dan ada yang merupakan kesesatan,pent) dan tidak pula terdapat di dalamnya perkataan :”setiap bid’ah itu sesat”, kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna dengannya. Seandainya ada bid’ah yang dipandang oleh syara’ sebagai bid’ah hasanah niscaya akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits, namun tidak ada, maka ini menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan, pada hakikatnya bersifat umum dan menyeluruh yang tidak seorangpun dapat menyelisihi tuntutannya.
Kedua: Bahwasanya telah di tetapkan dalam ushul ilmiah bahwa setiap kaidah kulliyyah atau dalil syar’i kulliyi jika terulang pada banyak tempat dan waktu yang berbeda-beda serta bermacam-macam kondisi dan belum dihubungkan dengan suatu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut, tetap pada apa yang di kehendaki oleh lafazhnya yang bersifat umum dan mutlaq.
Hadis-hadits yang mencela dan memperingatkan tentang bid’ah termasuk dalam bentuk seperti ini. Sungguh Nabi صلى الله عليه و سلم sering mengulang-ulang di atas mimbar terhadap sejumlah kaum muslimin dalam banyak waktu dan kondisi yang bermacam-macam bahwa: “setiap bid’ah itu sesat”. Dan tidak terdapat dalam suatu ayat maupun hadits suatu taqyid takhshish (penghususan), dan juga tidak terdapat, sesuatupun yang bisa dipahami darinya yang menyelisihi kenyataan kulliyyah dari keumuman yang terdapat di dalamnya, sehingga hal tersebut secara jelas menunjukkan dalil (hadits) tersebut masih tetap dipahami menurut keumuman dan kemutlakannya
Ketiga: Salafus shaleh dari Para sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka telah sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bid’ah orang-orang yang melakukan bid’ah, mereka tidak pernah berhenti, dan tidak pernah mereka memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut, sehingga ijma tersebut -sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan ijma’ yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bid’ah itu seluruhnya buruk dan tak ada satupun yang baik.”‘
Keempat: Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah dengan sendirinya menghendaki demikian, sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap pembuat syari’at dan membuat syari’at baru, dan setiap apa saja yang terkumpul di dalam hal seperti ini, mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk,dan ada di antaranya sesuatu yang dipuji dan ada yang dicela, sebab akal sehat dan dalil syari’at tidak ingin menganggapnya baik.”
Kelima: Bahwasanya perkataan tentang bid’ah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bid’ah terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak suatu bid’ah apapun, sebab setiap ahlul bid’ah itu pasti akan menganggap bahwa bid’ah yang di lakukannya itu “hasanah” (baik). Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bid’ah mereka itu “hasanah”, demikian pula Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khawarij dan lain-lain. Karena itulah maka wajib bagi kita untuk membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : “setiap bid’ah itu sesat”.
Keenam: Apakah standar untuk megatakan bahwa bid’ah itu baik? Dan siapakah yang menjadi rujukannya?
Jika dikatakan bahwa standarnya adalah kese¬suaiannya dengan syari’at, maka kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syari’at itu bukanlah bid’ah.
Dan jika dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masaalah tersebut dan yang mana yang di terima hukumnya? Sebab setiap pelaku bid’ah akan menganggap bahwa bid’ahnya itu hasanah menurut akal.
Ketujuh: Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bid’ah: “jika penambahan dalam agama itu dibolehkan atas nama bid’ah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi sesuatu dari agama ini juga dapat dianggap baik dengan mengatasnamakan “bid’ah hasanah” tersebut. Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bid’ah itu terkadang berupa perbuatan atas sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan di hilangkan disebabkan penambahan dan pengurangan tersebut, dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan.
Kedelapan: Sebahagian mereka mengatakan : seandainya di dalam syari’at ini ada bid’ah hasanah, maka sesungguhnya kita akan melakukan bid’ah untuk meninggalkan bid’ah hasanah tersebut dan kami melihat meninggalkannya lebih bermanfaat bagi agama kita di dunia dan lebih menyatukan kalimat kita serta lebih menjauhkan kita dari perpecahan dan perselisihan. Maka jika perkataan kami ini ada dalilnya, maka tidak boleh diselisihi, namun bila tidak ada dalilnya, maka itu berarti bahwa ia adalah bid’ah hasanah, dan bid’ah hasanah itu bisa diamalkan menurut kalian. Karena itulah maka bid’ah menurut seluruh syari’at adalah bathil, dan inilah yang kita inginkan.
Kesembilan: Bahwasanya perkataan tentang adanya “bid’ah hasanah” akan mernbawa kepada penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok, mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan “bid’ah hasanah”, dan dengan perkataan tersebut bid’ah-bid’ah akan menjadi banyak dan semakin bertambah dalam ibadah-ibadah yang telah disyari’atkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup semua pintu-pintu bid’ah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai penyimpangan.
Kesepuluh: Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul صلى الله عليه و سلم adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri beliau صلى الله عليه و سلم kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak untuk itu. Dan bersamaan denan kesempurnaan ilmu, kemampuan dan kehendak tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan demikian orang tersebut akan tau bahwasanya perkataan beliau صلى الله عليه و سلم adalah perkataan yang paling “baliigh” (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan-urusan agama ini.
Maka barangsiapa yang menanamkan keyakinan seperti ini dalam qalbunya dan beriman dengannya dengan keimanan yang kuat, niscaya ia akan mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa seandainya bid’ah hasanah itu ada niscaya Rasulullah صلى الله عليه و سلم akan menjelaskan dan menyampaikannya kepada kita. Maka ketika beliau tidak menyampaikannya, tahulah kita bahwa setiap bid’ah itu adalah kesesatan.
Selanjutnya :
Sesungguhnya orang yang munshif (adil dalam menilai) jika ia memperhatikan kesepuluh kalimat tersebut, maka telah cukup baginya untuk menjelaskan kebathilan perkataan yang mengatakan bahwa ada yang dinamakan dengan “bid’ah hasanah”, apalagi bila sebelumnya ia telah mendengar ayat-ayat dan hadits-hadits serta atsar-atsar yang diambil sebagai nash dalam pembahasan ini.
Dengan demikian, maka tidak akan tinggal syubhat (keraguan) dalam dirinya -kalau dia memang munshif – namun pada hawa nafsu itu terdapat rahasia yang tidak dapat diketahui oleh orang lain.
Aku memohon kepada Allah semoga Dia memperlihatkan kebenaran kepada kita semua dengan sejelas-jelasnya dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya serta memperlihatkan kepada kita kebathilan dengan sejelas-jelasnya serta memberikan kekuatan kepada kita untuk menjauhi¬nya.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam serta shalawat dan salam semoga selalu dicurahkan kepada Nabi صلى الله عليه و سلم kita Muhammad صلى الله عليه و سلم , kepada keluarga dan para shahabatnya.
Ditulis oleh seorang yang sangat mengharapkan ampunan Rabb-nya:
ABU HAFSH ABDUL QAYYUM BIN MUHAMMAD BIN NASHIR AS-SAHIBANY.
Tulisan ini diselesaikan pada waktu ashar
di hari Jum’at, 30 Syawal 1415 H di Madinah Al Munawwarah.
Dan selesai diterjemahkan oleh:
Abu Hafsh Muhammad Tasyrif Asbi Al-Ambony,
Syawal 1422 H / 11 januari 2001, pukul 11.00 WITeng. Malam Sabtu.