Studi Syar'i Tentang Beberapa Muamalat Kekinian
Oleh: Al-Ustadz Al-Fadhil, Abu Muhammad Zulqarnain bin Sunusi -hafizhahullah-
Pendahuluan
Syari’at Islam yang mulia telah meletakkan suatu garis lurus yang sangat jelas menerangi seluruh sisi dan aspek kehidupan manusia, sehingga tidak ada celah dan bagian dari kehidupan manusia kecuali tercakup dalam penjelasan syari’at Islam dan tidak keluar dari naungan hukum-hukum Al-Qur`an dan Sunnah yang suci lagi penuh berkah dan rahmat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al-Kitab”. (QS. Al-An’am : 38)
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur`an) sebagai penjelas atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl : 89)
Dan dalam hadist ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلَّا كَانَ حَقًا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Sesungguhnya tidak seorang nabipun sebelumku kecuali wajib atasnya untuk menunjukkan kepada ummatnya segala kebaikan yang ia ketahui bagi mereka dan memperingatkan kepada mereka segala kejelekan yang ia ketahui atas mereka”.
Termasuk dari masalah yang mendapatkan perhatian sangat besar dalam syari’at Islam masalah mu’amalat dan perekonomian dalam kehidupan. Syari’at Islam menegakkan mu’amalat dan perekonomian ini di atas asas yang sangat kokoh dan nilai yang amat tinggi serta maksud dan tujuan yang paling mulia. Al-Qur`an telah menjelaskan dasar-dasarnya dan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam telah merinci kaidah dan pondasinya. Karena itu, tidaklah pantas seorang muslim lalai dari tuntunan agamanya dalam masalah seperti ini yang tiada lepas darinya dalam kehidupan dan kesehariannya.
Pembahasan kita kali ini berkaitan dengan beberapa mu’amalat yang banyak dilakukan oleh orang-orang saat ini. Pembahasan ini dalam bahasa Arabnya disebut dengan “Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh”. Yang secara umum pembahasan ini akan dibagi sebagai berikut :
1. Definisi Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh.
2. Beberapa dhobith (pijakan/kaidah) dalam bab mu’amalat.
3. Studi syar’i tentang beberapa mu’amalat masa kini.
Definisi Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh:
Satu : Definisi Mu’amalat.
Suatu hal yang dimaklumi bahwa kebanyakan ‘ulama menbagi masalah Fiqh menjadi empat bagian :
1. Fiqh Ibadah. Seperti Thoharah, Sholat, Zakat, Puasa, Haji dan lain-lain.
2. Fiqh Mu’amalat. Seperti Jual-Beli, sewa, Wakaf, Wasiat dan lain-lain.
3. Fiqh Munakahat (Nikah). Seperti Nikah, Talak, Zhihar dan lain-lain
4. Fiqh Ahkamul Janayat (Hukum-hukum pelanggaran/pidana) dan perhakiman.
Mu’amalat (مُعَامَلَاتٌ) secara bahasa adalah bentuk jamak dari kata Mu’amalah (مُعَامَلَةٌ) yang berarti interaksi atau hubungan kepentingan.
Secara istilah, Mu’amalat adalah Hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan interaksi dalam perkara dunia.
Mu’amalat meliputi dua perkara :
1. Ahkamul Mu’awadhot (Hukum-hukum pergantian/pertukaran). Yaitu Mu’amalat yang dimaksudkan dengannya mengambil ganti berupa keuntungan, usaha, perdagangan dan lain-lainnya. Maka tercakuplah di dalamnya masalah jual-beli, sewa, serikat, tawar menawar dan lain-lainnya.
2. Ahkamut Tabarru’at (Hukum-hukum derma). Yaitu Mu’amalat yang dimaksudkan dengannya berbuat baik dan kasih sayang seperti masalah Hibah, pemberian, Wakaf, Wasiat dan lain-lainnya.
Dua : Definisi Al-Maliyah.
Al-Maliyah (الْمَالِيَّةُ) asalnya dari kata Al-Mal (الْمَالُ). Para ‘ulama memberikan definisi yang tidak terlalu berbeda yaitu setiap harta benda yang bisa dimanfaatkan maka itu adalah Al-Mal (harta) kecuali apa yang diperkecualikan oleh syari’at.
Para ‘ulama menggunakan kalimat harta pada tiga penggunaan :
1. Barang dagangan. Seperti rumah, mobil, makanan, pakaian dan lain-lain.
2. Manfaat. Seperti manfaat tinggal disuatu rumah atau manfaat jual-beli di sebuah toko dan seterusnya.
3. Benda. Seperti emas, perak dan yang menduduki kedudukannya seperti uang (walaupun yang terkenal dikalangan ahli fiqh bahwa uang termasuk dari jenis pertama).
Tiga : Definisi Al-Mu’ashiroh.
Makna Al-Mu’ashiroh disini adalah waktu/masa sekarang ini.
Kesimpulan Definisi:
Jadi Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh adalah Hukum-hukum syari’at tentang beberapa masalah harta yang nampak atau terjadi di zaman kita.
Beberapa Dhobith Dalam Bab Mu’amalat
Dhobith (ضَابِطٌ) berasal dari kata Adh-Dhobth (الْضَبْطُ) yang berarti tetap dan komitment diatas sesuatu.
Adapun secara istilah, kalimat para ‘ulama beraneka ragam dalam mendefinisikannya. Tapi yang paling dekat definisinya dalam bab mu’amalat adalah segala sesuatu yang mengumpulkan bagian-bagian perkara tertentu atau ukuran/pijakan yang setiap bagian dari suatu bab bisa kembali kepadanya
Dhobith kadang bisa diterjemah dengan makna kaidah walaupun para ulama membedakan antara kaidah dan dhobith.
Kalau kaidah itu adalah ukuran/pijakan yang bisa dipakai dalam seluruh bab/permasalahan. Adapun dhobith hanya dipakai dalam bab tertentu saja.
Kalau dikatakan ada kaidah begini, maka itu berarti bahwa kidah tersebut bisa digunakan dalam seluruh bab, baik dalam sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lainnya.
Tapi kalau dikatakan dhobith dalam masalah ini adalah begini, maka itu menunjukkan bahwa dhobith tersebut hanya dipakai dalam bab itu secara khusus. Kalau dipakai dalam bab sholat maka dhobith itu khusus dalam bab sholat, kalau digunakan dalam bab puasa maka dhobith itu hanya dalam bab puasa.
Mengetahui kaidah dan dhobith adalah perkara yang sangat penting dalam setiap masalah agama. Dan dengan kaidah dan dhobith seorang muslim akan mempunyai gambaran yang baik pada setiap permasalahan, bisa melepaskannya dari berbagai masalah dan menjaganya dari kesalahan.
Dhobith pertama : Asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh kecuali kalau ada dalil yang mengharamkan atau melarang.
Kandungan dhobith pertama ini adalah pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama’ termasuk Imam empat dan tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Al-Abhary dari kalangan Malikiyah dan Ibnu Hazm dari Mazdhab Azh-Zhohiriyah.
Banyak dalil yang menunjukkan kuatnya pendapat ini, diantaranya :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqorah : 275)
Sisi pendalilan : Allah menghalalkan jual beli dan perdagangan dengan seluruh jenisnya dan mengharamkan riba karena didalamnya terdapat bentuk kezholiman dan memakan harta manusia dengan kebatilan. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal sepanjang tidak mengandung kezholiman atau makan harta manusia dengan kebatilan.
Dan didalam tanzil-Nya, Allah menyatakan :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah”. (QS. Al-Jumu’ah : 10)
Sisi pendalilan : Jual beli memiliki larangan khusus yaitu ketika adzan jum’at telah dikumandangkan. Namun setelah jum’at kita diperintah dengan perintah umum untuk bertebaran di muka bumi mencari karunia Allah. Maka ini menunjukkan bahwa asal dalam mu’amalat adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang menunjukkan tentang haramnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 29)
Sisi pendalilan : Dalam ayat ini tidak disyaratkan dalam perdagangan kecuali saling ridha, menunjukkan bahwa sepanjang satu bentuk perdagangan dan jual beli sesuai dengan tuntunan dan tidak ada larangannya maka asalnya adalah boleh dan halal.
Dan Rabbul ‘Izzah berfirman :
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu”. (QS. Al-An’am : 119)
Sisi pendalilan : Segala sesuatu yang telah diharamkan ada rincian penjelasan haramnya dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Maka ini menunjukkan bahwa asal dari mu’amalat adalah boleh dan halal dan tidaklah boleh mengharamkan sesuatu kecuali kalau ada penjelasannya dari Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Dan Allah Jalla Sya’nuhu menyatakan :
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
“Katakanlah: “Tiadalah aku dapatkan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi”. (QS. Al-An’am : 145)
Sisi pendalilan : Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya membatasi perkara-perkara yang diharamkan dalam ayat ini, maka apa saja yang tidak diketahui pengharamannya maka ia adalah halal.
Asal Syarat Dalam Muamalah Adalah Boleh
Karena kaidah ini tidak tersebut dalam tulisan Al-Ustadz Zulqarnain, maka untuk menyempurnakan faidah, kami menyisipkan satu kaidah ini, yang kami ambil dari tulisan Asy-Syaikh Khalid bin Ali Al-Musyaiqih yang berjudul ‘Al-Mu’amalah Al-Maliyah Al-Mu’ashirah, berikut terjemahan ucapan beliau:
Perbedaan pendapat dalam dhabith ini sama seperti perbedaan pendapat yang terdapat dalam shabith sebelumnya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum asal semua syarat dalam muamalah adalah halal. Karenanya syarat apa saja yang dipersyaratkan oleh salah satu dari dua pihak yang bertransaksi, baik syarat itu merupakan kelaziman dari akadnya, ataukah syarat itu dimunculkan guna kemaslahatan akad, ataukah syarat itu berupa persyaratan sifat tertentu atau persyaratan pengambilan manfaat -sebagaimana yang akan datang pada pembagian syarat-syarat insya Allah-, maka hukum asal dari semua itu adalah halal.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah -Azza wa Jalla-, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah: 1) Perintah untuk memenuhi akad mengandung perintah untuk memenuhi akad itu sendiri dan sifat dari akad tersebut, dan termasuk dari sifat akad adalah syarat-syarat yang ada di dalamnya.
Juga ditunjukkan oleh firman Allah -Azza wa Jalla-, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra`: 34) Perintah ini mengandung kewajiban untuk memenuhi syarat-syarat yang ada.
Yang dimaksudkan dengan syarat-syarat dalam jual beli adalah apa yang dipersyaratkan oleh salah satu dari dua pihak yang bertransaksi guna mewujudkan maslahat bagi dirinya. Dan letak persyaratan dalam akad adalah sebelum terjadinya akad, maksudnya: Jika kedua belah pihak telah menyepakati syarat tersebut. Misalnya penjualnya mensyaratkan agar sebelum menjualnya dia bisa memanfaatkan dulu barang tersebut selama sekian waktu, ataukah pihak pembeli mensyaratkan pembayarannya bisa diundur. Intinya, tempat dinyatakannya syarat dalam akad adalah sebelum terjadinya akad jika memang kedua belah pihak telah menyetujuinya, bisa juga di tengah-tengah berlangsungnya akad, dan bisa juga dalam masa ikhtiyar (masa pembolehan pembatalan akad).
Di tengah akad misalnya dia katakan: Saya menjual mobil ini kepadamu dengan syarat saya pakai dulu selama sehari atau dua hari, selama dalam masa khiyar -baik khiyar majlis maupun khiyar syarth-. Sebagaimana jika dia membeli mobil tersebut kemudian setelah itu -di dalam majlis yang sama- dia berkata: Dengan syarat saya gunakan dahulu selama sehari atau dua hari. Demikian pula jika masih dalam masa khiyar syarth, maka dia boleh mensyaratkan ketika dia membeli mobilnya dengan mengatakan: Saya punya hak khiyar (boleh membatalkan akad) selama tiga hari. Kemudian ketika khiyar ini berjalan (sebelum hari ketiga), dia lalu mensyaratkan agar dia bisa memakai dahulu mobil tersebut selama sepekan atau dua pekan. Maka kita katakan: Syarat ini syah.
Dhobit kedua: Dalam mu’amalat harus berbuat adil dan tidak berlaku zhalim.
Dhobit ini merupakan ketentuan yang disepakati dalam seluruh syari’at Nabi dan Rasul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS. Al-Hadid : 25)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْأِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”. (QS. An-Nahl : 90)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”. (QS. An-Nisa : 58)
Dan dalam Muhkami Kitabih, Rabbul ‘Izzah menyatakan :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah : 188)
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Setiap muslim atas muslim (lainnya) adalah haram darah, harta dan kehormatannya”.
Dan dalam hadits Qudsi dari Abu Dzar Al-Gifary radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, Allah Tabaraka wa Ta’ala menyatakan :
يَا عِبَادِيْ إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
“Wahai para hambu-Ku, sesungguhnya Aku telah menharamkan kezholiman atas diri-Ku dan telah Ku-jadikan hal tersebut sebagai perkara yang diharamkan antara sesama kalian maka janganlah kalian saling berbuat zholim”.
Dalil-dalil dari Al-Qur`an dan hadits yang berkaitan dengan dhobit yang kedua ini sangatlah banyak. Dan dalam bab Mu’amalat terlihat bahwa banyak perkara yang disyari’atkan untuk mewujudkan keadilan dan banyak perkara yang dilarang karena terdapat bentuk kezholiman didalamnya.
• Itulah sebabnya, syari’at Islam telah mengharamkan riba karena bentuk zholim yang melekat padanya dan jauhnya dari prilaku adil.
• Karena itu pula, syari’at Islam mengharamkan Al-Gasy (penipuan) dalam jual beli dan lainnya.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
أَنَّ النبَِّيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِرَجُلٍ يَبِيْعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهِ فَإِذَا هُوَ مَبْلُوْلٌ, فَقَالَ : (( مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ))
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melewati seorang lelaki yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya kedalamnya dan ternyata basah, maka beliau bersabda : Siapa yang menipu kami maka bukanlah termasuk dari kami ”.
Dan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهَ
“Tidak halal bagi seorang muslimpun (untuk) menjual kepada saudaranya suatu jualan dan padanya ada ‘aib kecuali harus ia terangkan ‘aib tersebut”. (HR. Ahmad).
• Karena itu Islam mensyari’atkan adanya khiyar (memilih/tawar-menawar) antara penjual dan pembeli dalam suatu mu’amalat.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا تَبَايَعَا الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Apabila dua orang saling jual beli, maka setiap dari keduanya ada khiyar selama belum berpisah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
• Karena itu ada larangan talaqqir rukban yaitu menyongsong para pedagang dan membeli barang darinya sebelum masuk ke dalam kota atau ke pasar dan jika telah terjadi dan ia merasa harga jualnya terlalu murah, maka boleh baginya untuk khiyar dengan membatalkan transaksi tersebut.
• Demikian pula syari’at Islam mengharamkan An-Najs yaitu seseorang menambah harga barang dan dia sendiri tidak ingin membelinya, hanya sekedar memberi keuntungan untuk si penjual atau merugikan pembeli.
Contoh kasus masalah ini biasa terlihat pada acara lelang, ketika pelelang telah menetapkan harga maka datanglah pelaku An-Najs lalu menambah/menaikkan harga, kadang karena penjual/pelelang adalah temannya dan kadang untuk merugikan pembeli yang merupakan musuhnya.
Tidaklah diragukan bahwa An-Najs ini adalah perkara yang diharamkan dan bisa menyebabkan kebencian dan permusuhan antara kaum muslimin. Karena itu dalam hadits Abu Hurairah riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
وَلاَ تَنَاجَشُوْا
“Dan janganlah kalian berbuat An-Najs”.
Dari prinsip menjaga berlaku adil dan mencegah kezholiman, maka siapa yang merasa tertipu atau membeli barang dengan harga yang mahal menurut standar kebiasaan maka boleh baginya untuk khiyar dengan mengembalikan barang tersebut.
• Demikian pula disyari’atkan khiyar dalam masalah mustarsil yaitu orang yang membeli barang dengan tidak mengetahui harga sebenarnya dipasaran. Seperti orang yang membeli barang dengan harga Rp. 200.000,-, setelah itu dia ketahui ternyata barang tersebut hanya dijual dengan harga Rp. 80.000,-. Maka dalam kaedaan seperti ini, boleh baginya untuk khiyar dengan mengembalikan barang tersebut atau minta harganya diturunkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ : لاَ خَلاَبَةَ
“Kalau kamu membeli maka katankan : Tidak ada tipuan dalam jual beli ini”.
Demikian segelintir contoh yang menunjukkan betapa terjaganya dhabit kedua ini dalam bab mu’amalat. Wallahu a’lam.