Sebelum menguraikan beberapa syubhat dan jawabannya, perlu diketahui letak perselisihan antara Ahlus Sunnah dan kelompok-kelompok yang menyimpang dalam masalah ini. Dan uraiannya sebagai berikut :
Tidak ada perbedaan pendapat diantara seluruh kelompok dari kalangan Ahlus Sunnah dan selainnya akan penetapan ‘Uluwul Qadr (Ketinggian derajat/kekuatan) dan ‘Uluwul Qahr (Ketinggian kekuasaan dan keperkasaan).
Letak perselisihan Ahlus Sunnah dan seluruh kelompok yang menyimpang adalah dalam menetapkan ‘Uluwudz Dzat (Ketinggian Dzat). (Lihat Mukhtashor Ash-Showa‘iqh 1/275).
Berikut ini beberapa syubhat dan jawabannya :
Syubhat Pertama
Dan sungguh banyak dari ahli bid’ah yang memahami bahwasanya Ahlus Sunnah menta`wil ayat-ayat ma’iyah (yang menunjukkan bahwa Allah bersama dengan makhluk-Nya) dan memalingkannya dari zhohirnya agar mengharuskan Ahlus Sunnah untuk menyetujui ta`wil (yang mereka lakukan) tersebut atau (Ahlus Sunnah) bergampangan dalam masalah tersebut. Mereka mengatakan : “Bagaimana bisa kalian wahai Ahlus Sunnah mengingkari kami dalam menta`wil apa-apa yang kami ta`wil padahal kalian juga melakukan yang semisalnya (menta`wil) pada apa-apa yang kalian ta`wil ?!”.
Berkata Al-Juwainy : Bila mereka –yaitu Ahlus Sunnah- berdalil dengan zhohir firman Allah :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
maka sisi kritikian terhadap mereka yaitu adanya beberapa ayat yang mendukung kami untuk menta`wilnya, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”. (QS. Al-Hadid : 4)
maka kita tanyakan kepada mereka (Ahlus Sunnah) tentang makna ayat tersebut. Maka jika mereka membawanya kepada makna Al-Ihathoh (meliputi) dan ilmu maka tidaklah terlarang untuk membawa makna Istiwa` kepada makna kekuasaan dan mengalahkan”. (Al-Irsyad karya Al-Juwainy hal 40)
Ayat-ayat yang mereka inginkan adalah : Surah Al-Hadid ayat 4, Al-Mujadilah ayat 7, Al-An’am ayat 3 dan selainnya dari ayat-ayat ma’iyah, mereka mengatakan : ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah bersama kita dengan Dzat-Nya dan sesungguhnya Dia berada di setiap tempat.
Dan kita jawab syubhat ini dari beberapa sisi :
1. Apa-apa yang disebutkan oleh para ulama Salaf dalam tafsir ayat-ayat ini. Mereka mengarahkan “kebersamaan Allah” dalam ayat-ayat ini kepada makna “kebersamaan ilmu-Nya”. Mereka mengatakan : “Sesungguhnya Allah bersama kita dengan ilmu-Nya. Dan (penafsiran) ini adalah penafsiran Al-Qur`an dengan menggunakan Al-Qur`an, dan tidak ada keraguan bahwa penafsiran seperti ini merupakan cara yang paling tinggi dan paling benar dalam penafsiran, karena firman Allah, satu sama lainnya saling menafsirkan dan saling memperjelas satu dengan yang lainnya serta saling membenarkan satu dengan yang lainnya. Maka kalam Allah tidaklah saling bertentangan dan tidak pula saling berlawanan dan tidak saling bertolak belakang.
Adapun ayat yang pertama :
مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada.”. (QS. Al-Mujadilah : 7)
maka Allah Subahanahu telah memulainya dengan ilmu, dalam firman-Nya :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi?.”. (QS. Al-Mujadilah : 7)
dan Allah juga menutup ayat tersebut dengan ilmu, dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”. (QS. Al-Mujadilah : 7)
Berkata Imam Ahmad : “Allah membuka khobar (ayat) ini dengan ilmu-Nya dan menutupnya dengan ilmu-Nya”. (Lihat Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah waz Zanadiqoh karya Imam Ahmad, hal. 137).
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya : “Oleh karena itulah, lebih dari satu orang telah menghikayatkan Ijma’ bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kebersamaan ilmu-Nya (Allah) Ta’ala, tidak ada keraguan bahwa (makna) ini yang dimaksud. Akan tetapi pendengaran Allah juga bersama ilmu-Nya mengetahui makhluk-Nya dan penglihatan-Nya sampai kepada mereka, maka Allah Maha Mengetahui keadaan para makhluk-Nya, tidak ada yang luput dari-Nya dari perkara-perkara mereka sedikitpun juga”.
Adapun ayat yang kedua :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”. (QS. Al-Hadid : 4)
Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata (tentang tafsir ayat) : “(Allah) Maha Mengetahui tentang kalian dimanapun kalian berada”. Ad-Durrul Mantsur karya As-Suyuthy 8/49.
Dan Sufyan Ats-Tsaury menafsirkan bahwa makna hal tersebut adalah ilmu-Nya. Lihat As-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad 1/207 dan Al-Asma` wa Ash-Shifat karya Al-Baihaqy 2/172, Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah 2/401, Khalqu Af’alil ‘Ibad hal. 130 dan selainnya.
Dan berkata Al-Qurthuby (17/237) : “Dan Dia bersama kalian” yaitu kemampuan dan kekuasaan-Nya.
Berkata Ibnu Jarir (27/216) : “Dan Dia menyaksikan kalian wahai manusia dimanapun kalian berada, Dia mengetahui kalian dan mengetahui amalan-amalan kalian, tempat kalian beusaha dan tempat tinggal kalian sedangkan Dia berada di atas Arsy-Nya di atas langit-Nya yang tujuh.
2. Dan telah tetap dalam Al-Qur`an pada tempat-tempat yang sangat banyak bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas langit, tinggi dan menetap dai atas Arsy-Nya, dan ayat-ayat tentang hal itu sangatlah banyak dan telah berlalu sebahagiannya.
Demikian pula hadits-hadits yang sangat jelas dalam menunjukkan akan ketinggian Allah Ta’ala juga sangat banyak dan juga telah berlalu sebahagiannya.
3. Di sana ada ayat-ayat yang sangat banyak, yang sangat tegas menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala meliputi seluruh makhluk-Nya dengan ilmu-Nya dan bukan dengan Dzat-Nya. Dan diantaranya adalah firman Allah Ta’ala :
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”. (QS. Ath-Tholaq : 12)
Dan firman-Nya Ta’ala :
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau”. (QS. Ghofir : 7)
Dan firman-Nya Ta’ala :
عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ
“Yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi”. (QS. Saba` : 3)
Oleh karena itulah, para ulama Salaf sepakat bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas Arsy-Nya dan bahwa makna kebersamaan (dalam ayat itu) adalah “kebersamaan ilmu” dan bahwa ilmu-Nya meliputi semua tempat, dan telah berlalu penjelasan tentang hal ini.
4. Perkataan bahwa Allah Ta’ala berada di semua tempat memunculkan kelaziman-kelaziman yang batil dan sesat berupa ittihad (bersatunya Allah dengan makhluk) dan hulul (menitisnya Allah dalam makhluk) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang zindiq (pura-pura masuk Islam untuk menghancurkan Islam) dan orang-orang tasawwuf. Dan perkataan inilah yang mengantarkan pengikut madzhab wihdatul wujud (bersatunya Allah dengan makhluk) dari kalangan ahli tasawuf kepada akhir yang menyedihkan seperti ini.
Dan demikian pula (perkataan kalian bahwa Allah ada di semua tempat) mengharuskan kalian (wahai ahli tasawuf) untuk mengatakan bahwa Allah berada di tempat-tempat sampah, di dalam perut-perut manusia dan di kamar-kamar mandi, Maha Tinggi Allah dari hal-hal yang seperti itu.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Penafsiran ma’iyyah Allah dengan makhluk-Nya dengan penafsiran yang menunjukkan bahwa Allah melebur/berdiam (masuk) pada makhluk dan bercampur dengannya adalah bathil, tidak dapat dibenarkan dengan alasan :
1. Penafsiran ini menyelisihi Ijma’ salaf, sebab tidak ada seorangpun dari salaf yang menafsirkan demikian. Bahkan mereka bersepakat untuk menolak penafsiran ini.
2. Penafsiran ini bertentangan dengan kemaha tinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, akal, fitrah dan Ijma’ salaf. Dan apapun yang bertentangan dengan kebenaran yang berdasar pada dalil adalah bathil. Atas dasar ini maka penafsiran ma’iyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya dengan pengertian yang menunjukkan bahwa Allah melebur (berdiam/masuk) bersama makhluk dan bercampur dengannya adalah bathil berdasarkan Kitab, Sunnah, akal, fitrah dan Ijma’ salaf.
3. Penafsiran ini menimbulkan beberapa konsekwensi yang bathil pula yang tidak layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Lihat : Al-Qowa‘idul Mutsla hal. 52)
Berkata Imam Ahlus Sunnah, Imam Ahmad : “Bila kamu ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyah berdusta atas nama Allah tatkala dia menyangka sesungguhnya Allah berada di semua tempat dan tidak berada pada satu tempat saja, maka katakan (kepadanya) : “Bukankah Allah sudah ada dari dahulu dan tidak ada sesuatupun (yang bersama-Nya) ?”, maka dia akan menjawab : “Betul”, maka katakan kepadanya : “Tatkala Allah menciptakan makhluk, (apakah) Allah menciptakannya di dalam diriNya atau di luar diriNya ?”, maka dia pasti akan menjawab dengan salah satu dari tiga jawaban:
Bila dia menyangka sesungguhnya Allah menciptakan makhluk di dalam dirinya maka dia kafir tatkala dia menyangka sesungguhnya jin, manusia dan syetan-syetan berada di dalam diri-Nya.
Dan bila dia menjawab : “Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah masuk kepada mereka”, ini juga merupakan kekafiran tatkala dia menyangka sesungguhnya Dia masuk ke tempat sunyi, kotor dan buruk.
Dan bila dia menjawab : “Allah menciptakan mereka di luar dirinya kemudian tidak masuk kepada mereka” maka berarti dia rujuk dari perkataannya itu kepada perkataan Ahlus Sunnah. Lihat Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah waz Zanadiqoh hal. 96.
Maka kesimpulan dalam masalah ini seperti kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : Tafsiran ma’iyah berdasarkan zhohirnya menurut hakikat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah bertentangan dengan ketetapan bahwa Allah Maha Tinggi berada di atas Arsy dengan beberapa alasan :
1. Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan secara bersamaan kedua masalah ini untuk Diri-Nya dalam Kitab-Nya yang jelas yang tidak terkandung didalamnya pertentangan. Dan apa yang telah disebutkan secara bersamaan oleh Allah dalam Kitab-Nya berarti tidak ada pertentangan di antara keduanya.
2. Bahwa hakekat pengertian kebersamaan Allah dengan makhluk tidak bertentangan dengan keberadaan Allah di atas Arsy, soalnya perpaduan antara kedua hal ini bisa terjadi pada makhluk. Contohnya seperti dikatakan : “Kami masih meneruskan perjalanan dan bulanpun bersama kami”. Ini tidak dianggap kontradiksi dan tidak seorangpun yang memahami dari perkataan tersebut bahwa bulan turun di bumi. Apabila ini bisa terjadi pada makhluk maka bagi Al-Khaliq Yang Meliputi segala sesuatu -sekalipun berada di atas Arsy- tentu lebih patut lagi, karena hakekat pengertian ma’iyah (kebersamaan) tidak berarti berkumpul dalam satu tempat.
3. Andaikata mustahil bagi makhluk perpaduan antara ma’iyah dan ‘uluw, tidak berarti hal ini mustahil bagi bagi Al-Khaliq Yang telah menyebutkannya bersama-sama untuk Diri-Nya, sebab Allah Ta’ala tidak serupa dan semisal dengan makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy-Syura : 11)
(Lihat : Al-Qowa’idul Mutsla hal. 58-60)
Dan Al-Imam Muhammad bin Al-Husain Al-Ajurry dalam kitab beliau Asy-Syari’ah telah membuat bab dalam mentahdzir dari madzhab-madzhab al-Hululiyah, beliau berkata didalamnya : “Amma ba’du, maka sesungguhnya saya mentahdzir saudara-saudaraku dari kalangan kaum mukminin dari madzhab-madzhab Al-Hululiyah yang syaithon mempermainkan mereka maka merekapun –dengan sebab jeleknya madzhab mereka- keluar dari jalan ahlil ‘ilmi kepada madzhab-madzhab yang rusak yang (madzhab ini) tidak terdapat kecuali pada setiap orang yang terfitnah dan binasa. Mereka menyangka bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menitis pada segala sesuatu sampai-sampai kejelekan madzhab mereka ini mendorong mereka untuk berbicara tentang Allah ‘Azza wa Jalla dengan pembicaraan yang diingkari oleh para ulama dan orang-orang yang berakal. Perkataan mereka tidak sesuai dengan Kitab, Sunnah dan perkataan para Imam kaum muslimin.
Syubhat Kedua
Mereka berkata : Dalam bahasa Arab, boleh kita maknakan secara umum kata Al-Istiwa` kepada Al-Istaula (berkuasa dan mengalahkan sesuatu), sebagaimana perkataan seorang penyair tentang Bisyr bin Marwan :
قَدِ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلَا دَمٍ مِهْرَاقِ
“Sungguh Bisyr telah berkuasa atas Irak,
Tanpa senjata ataupun pertumpahan darah”
Lalu mereka berkata : Adapun Al-‘Arsy, maka dikhususkan penyebutannya karena ia merupakan makhluk yang paling besar dan agung sehingga Allah memberikan penegasan dengan menyebut makhluk yang tinggi terhadap makhluk-makhluk yang lain yang lebih rendah atau lebih kecil, artinya apabila Allah Ta’ala telah berkuasa atas Al-‘Arsy –sementara dia adalah makhluk yang agung- maka mengharuskan akan kekuasaan Allah terhadap yang lebih rendah di bawah adalah lebih pantas lagi.
Jawaban atas syubhat-syubhat tersebut dengan point-point berikut :
1. Bahwasanya dari sisi bahasa, ta`wil (pemalingan makna) ini tidak memperoleh dukungan. Sebab Istiwa` dalam lisan orang Arab dimaksudkan dengan Al-‘Uluw dan Al-Irtifa’ (berada di atas, ketinggian).
- Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan dari Al-Kholil bin Ahmad (salah seorang pakar bahasa,-red.) bahwasanya dia berkata : “Saya mendatangi Abu Robi’ah Al-A’raby –dan dia adalah orang yang paling pintar dari yang pernah saya lihat- sedang berada di atas atap. Maka kami memberi salam kepadanya dan diapun menjawab salam kami. Dia berkata kepada kami : “Istawuu (Naiklah kalian) !”, maka kami terdiam keheranan dan tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Maka seorang A’raby berkata kepada kami yang berada di sampingnya : “Sesungguhnya dia menyuruh kalian untuk naik”. Al-Khalil berkata : Ini dari firman Allah ‘Azza wa Jalla :
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap”. (QS. Fushshilat : 11)
maka kamipun naik kepadanya”.
- Imam Al-Lalika`iy meriwayatkan dari Abu Bakr bin Nadhr beliau berkata : “Dulu Abu ‘Abdillah Ibnul A’raby adalah tetangga kami, dan disebutkan kepada kami bahwasanya Ibnu Abid Du`ad bertanya kepada Ibnul A’raby : “Apakah orang Arab mengetahui dalam bahasa mereka Istawa` bermakna Istaula ?”, Ibnul A’raby menjawab : “Saya tidak mengenalnya”.”
- Dan diriwayatkan dari Abul ‘Abbas Tsa’lab (salah seorang pakar bahasa,-red.) bahwasanya dia berkata : “… Istawa` ‘alal ‘arsy artinya ‘alaa (tinggi)”, kemudian berkata : “Inilah yang dikenal dalam pembicaraan orang Arab”.
Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah 2/399-400), Al-‘Uluw karya Adz-Dzahaby hal. 133 dan Ijtima’ul Juyusy hal. 264-265.
- Berkata Muhammad bin Nadhr : Saya mendengar Ibnul A’raby ahli bahasa berkata : “Ibnu Abid Du`ad menginginkan saya untuk mengambil darinya sebagian dari bahasa Arab dan makna-maknanya :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
Istawa bermakna Istaula, maka saya berkata kepadanya : “Demi Allah, bukan begini maknanya dan saya tidak mendapati makna itu (dalam bahasa Arab)”.
Lihat Ijtima’ul Juyusy hal. 260 dan Fathul Bary 13/406.
- Berkata Al-Akhfasy (salah seorang pakar bahasa,-red.) tentang firman Allah Ta’ala :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
artinya ‘alaa (tinggi), sebagaimana dikatakan :
اسْتَوَيْتُ فَوْقَ الدَّابَّةِ وَعَلَى ظَهْرِ الْبَيْتِ
“Saya Istiwa` di atas kendaraan dan di atas atap rumah”.
Maksudnya ‘alautuhu (saya berada diatasnya).
Lihat Tahdzibul Lughoh 13/125 dan Ijtima’ul Juyusy hal. 267.
- Dan Al-Khalil ditanya : “Apakah anda mendapati dalam bahasa Arab Istawa bermakna Istaula ?”, beliau menjawab : “Orang Arab tidak mengenalnya dan hal ini tidak boleh dalam bahasa mereka”.
Lihat Al-Fatawa : 5/146.
Mereka semua ini para imam (ahli) bahasa dari orang-orang yang perkataan mereka merupakan hujjah dan rujukan, semuanya bermazhab bahwasanya Istiwa` bermakna Al-‘Uluw dan Al-Irtifa’ (Tinggi, berada di atas) dan semuanya mengingkari orang-orang yang memalingkan maknanya ke makna Istaula (berkuasa)
2. Adapun jawaban terhadap pendalilan mereka dengan perkataan seorang penyair adalah sebagai berikut :
@ Bait syair ini tidak tsabit (tidak shohih) bahwasanya itu adalah syair orang Arab dan telah diingkari oleh sejumlah imam (ahli) bahasa dan mereka menyebutkan bahwa bait syair itu adalah palsu, tidak dikenal dalam bahasa Arab. Dan andaikata ada orang yang berhujjah dengan hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam maka suatu keharusan untuk memastikan keshohihan haditsnya, maka bagaimana halnya dengan bait syair yang tidak diketahui sanadnya dan siapa yang mengucapkannya ?
@ Seandainyapun syair ini shohih, maka tidak ada sisi pendalilan didalamnya. Sebab Bisyr adalah saudara ‘Abdul Malik bin Marwan yang mana dulunya adalah seorang pemimpin Iraq, sehingga Bisyrpun berada di atas singgasananya sebagaimana ini adalah kebiasaan dari raja-raja dan para pengganti mereka. Mereka duduk di atas singgasana kerajaan, berada diatasnya.
@ Bahwasanya ta`wil (pemalingan makna) Istawa dengan Istaula mengharuskan adanya mughalabah (satu mengalahkan yang lainnya) dan munaza’ah (pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya).
Imam Al-Lalika`iy meriwayatkan dari Abu Sulaiman Daud bin ‘Ali beliau berkata : “Adalah kami berada di sisi Ibnul A’raby, maka datang seorang laki-laki dan berkata kepadanya : “Apa makna firman Allah ‘Azza wa Jalla :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.” (QS. Thoha : 5)
Maka Ibnul A’raby menjawab : “Dia berada di atas Arsy-Nya sebagaimana yang Allah Ta’ala kabarkan”. Maka orang itu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, bukan ini maknanya, tetapi maknanya adalah Istaula. Maka Ibnul A’raby menjawab : “Diam kamu, apa kamu ini ?!, tidaklah dikatakan sesuatu Istaula diatasnya kecuali bila dia memiliki lawan tandingan, bila salah satunya lebih berkuasa, maka barulah dikatakan Istaula, tidakkah kamu mendengarkan perkataan penyair :
إلَّا لِمِثْلِكَ أَوْ مَنْ أَنْتَ سَابِقُهُ سَبَقَ الْجَوَّادُ إِذَا اسْتَوَى عَلَى الْأَمَدِ
“Kecuali terhadap orang yang sepertimu (setingkat denganmu) atau orang yang engkau dahului, maka orang-orang yang pemurah (pasti) akan lebih dahulu (memimpin) ketika dia berkuasa pada hari yang dituju”.
Lihat : Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah 2/399, Tarikh Baghdad 5/283, Al-‘Uluw hal. 133, Al-Asma` wa Ash-Shifat 2/157, Ijtima’ul Juyusy hal. 265 dan lain-lain.
@ Para imam dari dahulu sampai sekarang mengingkari bila makna Istawa diartikan Istaula (berkuasa), sehingga tidak ada perbedaan antara ‘Arsy dengan selainnya dari para makhluk. Dan cocok bila dikatakan Istawa ‘alal ardh (Istawa di atas bumi), Istawa ‘alal Jibal (Istawa di atas gunung), dan seterusnya.
Kalau mereka katakan : Dikhususkan penyebutan Arsy karena dia adalah makhluk yang paling agung/besar.
Maka dijawab : Bahwasanya tidak ada larangan atau tidak ada hal yang menghalangi penyebutan selain Arsy, sebagaimana dalam firman-Nya :
رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Rabb Pencipta langit dan bumi”.
رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ
“Rabb Musa dan Harun”.
@ Bahwasanya ‘Arsy telah ada sebelum penciptaan langit dan bumi dan Istiwa` itu setelah penciptaan langit dan bumi. Andaikata Istiwa bermakna Istaula, maka hal ini terjadi sebelum dan sesudahnya. Maka apakah mungkin ‘Arsy yang telah sempurna selama selang waktu sementara Allah Ta’ala tidak berkuasa atasnya ??!.
Lihat Al-Fatawa 5/145-146 dan hl. 314-315 dan Mukhtashor Ash-Showa’iq 2/129-130.
@ Ta`wil ini merupakan perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), tidak datang riwayatnya dari Rasul shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, tidak juga dari seorangpun dari para shahabat dan tidak juga dari salah seorang salaf umat ini.
Wallahu Waliyut Taufiq Wa’alaihit Tuklan.
[sumber: Majalah An-Nashihah, edisi I, rubrik: Aqidah]
Judul Asli: Dua Kerancuan Dalam Masalah Keberadaan Allah