Dalam tulisan ini akan kami uraikan jenis-jenis pernikahan yang dilarang oleh syariat. Uraian ini kami kutip dari kitab Shahih Fikih Sunnah karya Syaikh Abu Malik Kamal As-Sayyid Salim, dimana kitab ini diberi komentar oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bi Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahumullahu ta'ala-
Berikut ini jenis-jenis pernikahan yang terlarang:
1. Nikah syighar
Adalah seorang laki-laki menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki tersebut menikahkan anak perempuan, saudara perempuan atau budak perempuannya kepadanya, baik ketika adanya maskawin maupun tanpa maskawin dalam kedua pernikahan tersebut
Para ulama telah sepakat mengharamkan nikah syighar, hanya saja mereka bereda pendapat mengenai keabsahan nikah syighar. Jumhur ulama berpendapat nikah syighar tidak sah, berdasarkan dalil:
1. Hadits dari Jabir radiallahuanhu, dia berkata: “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar“(HR Muslim)
2. Hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radiallahuanhu, dia berkata “Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarang nikah syighar” Abu Hurairah radiallahuanhu berkata “Nikah syighar bekata kepada laki-laki lain, ‘Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan anak perempuanku’ ” Atau dia mengatakan “Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu dan sebagai gantinya aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku“(HR Muslim, An Nasa’i, dan Ibnu Majah)
3. Hadits dari Al Araj, dia berkata : Al Abbas bin Abdullah bin Abbas pernah menikahkan Abdurrahman dengan anak perempuannya, dan sebaliknya Abdurrahman juga menikahkan Al Abbas dengan anak perempuannya. Dalam kedua pernikahan itu keduanya membayar maskawin. Setelah mendengar pernikahan ini, Mu’awiyah menulis surat kepada Marwandan menyuruhnya untuk menceraikan pernikahan itu. Dalam surat itu Mu’awiyah berkata, “ini mereupakan nikah syighar yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam” (HR Abu Dawud)
4. Sabda Nabi Shallallahu alayhi wasalam:
“Barang siapa mensyaratkan sesuatu yang tidak terdapat dalam kitab Allah (al-Qur’an), maka ia tidak sah, sekalipun ia mensyaratkan 100 syarat. Syarat dari Allah itu lebih haq dan lebih kuat“(HR Bukhari dan Muslim)
5. yang menyebabkan pernikahan ini tidak sah adanya persyaratan yang mengharuskan tukar menukar (anak atau saudara perempuan). Di dalam syighar terdapat suatu kekejian yang sangat besar, yaitu adanya pemaksaan terhadap perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Permasalahan ini menyimpulkan anjuran kepada para wali agar memperhatikan perasaan anak-anak perempuannya, karena perbuatan ini dapat menzalimi mereka. Disamping itu pernikahan ini juga menghalangi mereka dari kemungkinan mendapatkan mahar yang seyogyanya. Kasus seperti ini sering terjadi dikalangan orang-orang yang mempraktekkan model pernikahan seperti ini. Pernikahan syighar juga sering menimbulkan perselisihan dan persengketaan. Apa yang disebutkan diatas merupakan balasan dari Allh didunia bagi orang-orang yang tidak melaksanakan aturan-Nya.
2. Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah seorang laki-laki (perantara) yang menikahi seorang perempuan yang sudah dicerai oleh suaminya sebanyak tiga kali, (setelah menikahi) kemudian menceraikannya dengan tujuan agar suami yang pertama dapat menikahinya kembali.
Nikah ini (muhallil) termasuk dosa besar, yang dilarang oleh Allah. Orang yang menjadi perantara dan diperantarai dalam nikah muhallil dilaknat oleh Allah. Dalil yang melarang nikah muhallil:
1. Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: “Rasulullah melaknat al-Muhallil (laki-laki yang menikahi perempuan dan menceraikannya) dan muhallalah(orang yang menyryu muhallil)“(HR Tirmidzi, an Nasa’i dan Ahmad).
Jumhur ulama seperti Mali, Syafi’i -dalam salah satu pendapatnya-, Ahmad, Al laits, at-Tsauri, Ibnu Mubarak dan ulama lainnya berpendapat nikah ini tidak sah. Umar bin Khaththab, Abdullah bin Umar dan Ustman bin Affan juga berpendpat demikian. (Lihat Al Bidayah Al Mujtahid2/120, Al Mughni 6/149)
a. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dia berkata “Tidaklah dilaporkan kepadaku mengeni seorang muhallil dan muhallalah melainkan aku akan merajam keduanya“(HR Abdurrazaq dan Sa’id bin Mansur).
b. Ibnu Umar pernah ditanya tentang seseorang yang menikahi wanita yang sudah dicerai sebanyak tiga kali oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat menikahinya kembali. ibnu Umar menjawab : “perbuatan itu adalah zina“(HR Abdurrazaq).
3. Nikah Mut’ah
Adalah seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan untuk waktu tertentu -sehari, dua hari atau lebih- dengan memberikan imbalan kepada pihak perempuan berupa harta atau lainnya.
Nikah mut’ah pernah diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alayhi wasalam kemudia dihapus oleh Allah melalaui sabda Nabi shallallahu alayhi wasalam dan beliau telah mengharamkan nikah mut’ah samapi hari kaiamat.
Terdapat perbedaan mengenai hadits-hadits yang menjelaskan tentang informasi waktu dihapuskannya nikah mut’ah.
Diantara hadits-hadits shahih yang menjelaskannya adalah:
1. Nikah mut’ah dihapus pada saat perang Khaibar
Diriwayatkand ari Ali bahwa dia pernah berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alayhi wasalam telah mengharamkan nikah mut’ah dan mengharamkan memakan daging keledai piaraan pada waktu perang khaibar ” (HR Bukhari dan Muslim).
Setelah itu Nabi shallallahu alayhi wasalam memberi keringanan lagi dengan membolehkan nikah mut’ah. hanya saja informasi tentang keringanan ini tidak sampai kepada Ali bin abi Thalib, sehingga dia melandaskan pendapatnya berdasarkan apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah shallallahu alayhi wasalam tentang diharamkannya nikah mut’ah pada peristiwa khaibar.
2. Nikah Mut’ah dihapus pada tahun penaklukan kota Mekah.
Diriwayatkan dari Ar-Rabi’ bin Subrahbahwa ayahnya, Subrah pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu alayhi wasalam pada saat penaklukan kota Mekah. Dia berkata: “Kami tinggal diMekah selama lima belas hari, lalu Rasulullah shallallahu alayhi wasalam membolehkan kami menikah secara mut’ah. Kemudian aku menikah secara mut’ah dengan seorang gadis dan aku tidak keluar (berpisah dengannya) sampai Rasulullah shallallahu alayhi wasalam melarangnya“(HR Muslim).
dalam Riwayat lain disebutkan “….wanita-wanita yang kami nikahi secara mut’ah itu bersama kami slema tiga hari, kemudia Rasulullah memerintahkan kami agar mencerai mereka” (HR Muslim dan Baihaqi).
Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi “Rasulullah memerintahkan kami menikah secara mut’ah pada tahun penaklukan kota Mekah ketiak kami memasuki kota Mekah dan kami tidak keluar dari kota Mekah sampai Nabi shallallahu alayhi wasalam melarangnya” (HR Muslim).
3. Nikah Muta’h dihapus pada tahun Authas
Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’, dia berkata “Rasulullah memberi kelonggaran untuk nikah mut’ah selaam tiga hari pada tahun Authas (tahun penaklukan kota Mekah) kemudia beliau melarangnya” (HR Muslim, Albaihaqi dan Ibnu Hibban).
Pernikahan tahun ini (Authas) adalah pengharaman secara permanen sampai hari kiamat.
CATATAN.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radiallahuanhu, dia berkata “kami pernah menikah secara mut’ah dengan segenggam kurma dan gandum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, hingga akhirnya Umar bin Khaththab melarangnya ketika terjadi kasus Amru bin Harits” (HR Muslim dan Abu Dawud).
Hadits ini ditafsirkan, bahwa orang yang melakukan nikah mut’ah pada zaman Abu Bakar mungkin karena berita mengenai pengharamannya tidak sampai kepada mereka. (lihat syarah Ma’ani Al Atsar 3/27 dan Syarah Muslim 3/555).
Lalu bagaimana dengan orang yang sudah terlanjur nikah mut’ah ? apa yang harus dilakukan ?
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa nikah mut’ah adalah tidak sah. Dengan demikian dia harus bercerai. Sebab Nabi shallallahu alayhi wasalam menyuruh orang yang melakukan nikah mut’ah untuk menceraikan isterinya, sebagaimana dengan hadits yang diriwayatkan oleh Subrah.
4. Nikah Sirri
Pernikahan yang tidak diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada hakiktnya ini adalah zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.
Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah adanya wali. Pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan.
Disalin dari kitab Shahih Fikih Sunnah Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, dikomentari oleh Syaikh Nashiruddin Al- Albani. Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin Pustaka Azzam 3/144.
Sumber: abiyazid.wordpress.com