Copas (copy-paste) artikel atau link (dari blog lain) dalam dunia bloging sudah merupakan hal yang lumrah dan merupakan salah satu cara para bloger untuk mengisi content blog mereka. Dan sudah diketahui bersama bahwa ketika sebuah blog menukil artikel atau link dari blog lain, maka itu sama sekali tidak menunjukkan kalau kedua blog tersebut mempunyai koneksi atau hubungan atau kerjasama yang lebih khusus. Dan ini insya Allah yang dipahami oleh para bloger dan para pembaca blog. Hal itu karena terkadang seorang bloger menukil artikel dari blog lain dikarenakan dia setuju dengan isi artikel tersebut dan dia tidak bisa menulis sendiri atau dia tidak mempunyai referensi yang lengkap sebagaimana artikel yang akan dia nukil tersebut. Karenanya kita tidak bisa memastikan dua blog atau lebih itu mempunyai hubungan ‘khusus’ hanya berdasarkan salah satunya menukil artikel atau link dari blog yang lainnya.
Ini jika artikel yang dinukil adalah dalam masalah keduniaan, insya Allah bisa dipahami. Hanya saja permasalahan itu muncul jika artikel yang dinukil itu berkenaan dengan agama, dimana sebagian orang yang tidak jelas lagi jahil serta merta menghukumi dua blog atau lebih itu mempunyai koneksi dan hubungan ‘khusus’ hanya karena salah satunya menukil artikel keagamaan dari yang lainnya. Padahal alasan bloger yang menukil dari blog lain biasanya juga sama seperti alasan penukilan artikel keduniaan di atas. Yakni: Karena bloger tersebut memandang isi artikel itu adalah kebenaran dan dia tidak mempunyai waktu untuk menulis seperti itu ataukah dia tidak mempunyai referensi yang dimiliki oleh artikel yang akan dinukil tersebut. Wallahul Musta’an. Dan tentunya, sudah menjadi etika dalam dunia bloging secara umum dan copas secara khusus, bahwa blog yang menukil haruslah menyertakan link asal artikel, sebagai bentuk amanat ilmiah darinya.
Demikian gambaran permasalahannya secara umum. Adapun secara khusus, masalahnya adalah: Ketika sebuah blog ahlussunnah menukil atau copas dari blog selain ahlussunnah, apakah langsung divonis jika kedua blog ini mempunyai koneksi dan hubungan ‘khusus’?
Dari sisi kebiasaan yang berkembang dan ‘kode etik’ dalam dunia bloging sebagaimana yang tersebut di atas, jawabannya saya rasa sudah jelas bahwa: Kita tidak bisa langsung memvonis hal itu hanya karena masalah copas artikel atau penukilan link, dengan alasan yang sudah dijelaskan di atas.
Adapun dari sisi hukum syar’i keagamaan, maka jawabannya sebenarnya juga sudah jelas, yakni boleh menukil ucapan selain ahlussunnah selama itu merupakan kebenaran dan itu tidak menunjukkan ahlussunnah tersebut mentazkiyah (merekomendasi) selain ahlussunnah tersebut. Jadi, sebenarnya hukum masalah ini sudah jelas. Akan tetapi ucapan dan tindakan dari sebagian orang yang tidak jelas yang dibangun di atas ketergesa-gesaan, kejahilan, dan kedengkian, membuat semuanya menjadi tidak jelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Ilmu itu hanya setitik, akan tetapi dibuat banyak oleh orang-orang yang jahil.”
Karenanya artikel ini sengaja kami buat untuk meluruskan kesalahpahaman dan kejahilan yang terjadi dalam masalah ini, juga sebagai jawaban pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang masuk kepada kami mengenai masalah ini, dan sekaligus sebagai panduan bagi para bloger secara umum. Berikut penjabarannya:
Dalil-dalil akan wajibnya menerima kebenaran dan bahwa menerima kebenaran dari siapapun berada merupakan sifat orang-orang yang beriman.
Allah Ta’ala berfirman:
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka siapa saja yang Allah Subhanahu berikan hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran dimanapun kebenaran itu berada dan bersama siapapun kebenaran itu berada -walaupun kebenaran itu bersama dengan orang yang dia benci dan dia musuhi- dan untuk menolak kebatilan bersama siapapun kebatilan tersebut -walaupun kebatilan itu bersama dengan orang yang dia sayangi dan dia tolong-, maka orang seperti inilah yang tergolong ke dalam orang-orang yang diberi hidayah menuju kebenaran dalam setiap masalah yang diperselisihkan. Inilah orang yang paling berilmu, paling benar jalannya, dan paling kuat ucapannya.” (Ash-Shawa’iq Al-Mursalah: 2/516)
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوأَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah:
Dan di antara bentuk berbuat adil kepada musuh adalah menerima dan menyetujui kebenaran yang ada pada mereka. As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya menafsirkan ayat di atas, “Sebagaimana kaliam bersaksi menguatkan teman kalian maka kalian juga harus bersaksi melawan teman kalian (jika dia memang salah, pent.). Dan sebagaimana kalian bersaksi melawan musuh kalian maka kalian juga harus bersaksi mendukungnya (jika dia memang benar, pent.). Maka walaupun musuh itu adalah orang kafir atau penganut bid’ah maka tetap wajib berlaku adil kepadanya dan wajib menerima kebenaran yang mereka bawa. Kita terima kebenaran itu bukan karena dia yang mengucapkannya (akan tetapi karena ucapannya itu memang kebenaran, pent.). Dan kebenaran tidak boleh ditolak hanya karena dia (musuh) yang mengucapkannya, karena perbuatan seperti ini adalah kezhaliman terhadap kebenaran.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا لَنَا لاَ نُؤْمِنُ بِاللّهِ وَمَا جَاءنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَن يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ الصَّالِحِينَ
“Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Maidah: 84)
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33)
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka wajib atas setiap manusia untuk membenarkan (baca: menerima) kebenaran yang diucapkan oleh orang lain, sebagaimana jika kebenaran itu diucapkan oleh dirinya sendiri. Dia tidak boleh mengimani makna ayat yang dia gunakan berdalil namun dia menolak makna ayat yang digunakan berdalil oleh lawannya. Dia tidak boleh menerima kebenaran hanya dari satu kelompok lalu dia menolak kebenaran dari kelompok lainnya.” (Dar`u At-Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql: 8/404)
Dari Qutailah radhiallahu anha -seorang wanita dari Juhainah-, bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata:
أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
“Sesungguhnya kalian membuat tandingan (untuk Allah) dan sungguh kalian telah berbuat syirik. Kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak kamu’. Dan kalian katakan, ‘Demi Ka’bah’.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah untuk mengucapkan, ‘Demi Tuhan Pemilik Ka’bah’, dan mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak kamu’.” (HR. An-Nasai no. 3713)
Hadits ini jelas menunjukkan bagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima kebenaran yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi. Lalu beliau menetapkan hukum berdasarkan kebenaran yang beliau dengar dari Yahudi tersebut. Kebencian beliau kepada orang-orang Yahudi tidak menjadikan beliau menolak kebenaran yang mereka ucapkan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia bercerita:
وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنْ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskanku untuk menjaga harta zakat. Lalu pada suatu hari ada seseorang yang menyusup hendak mengambil makanan, maka aku pun menyergapnya seraya berkata, “Aku benar-benar akan menyerahkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam..” lalu ia bercerita dan berkata, “Jika kamu hendak beranjak ke tempat tidur maka bacalah ayat kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan syetan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta. Si penyusup tadi sebenarnya adalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 4624)
Hadits ini yang paling sering digunakan oleh para ulama untuk berdalil wajibnya menerima kebenaran dari siapapun walaupun dari pihak musuh. Sisi pendalilannya jelas, bagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam membenarkan dan menyetujui ucapan setan yang menganjurkan Abu Hurairah untuk membaca ayat kursi sebelum tidur.
Dan sebaliknya, di antara karakteristik orang-orang kafir adalah menolak kebenaran jika kebenaran tersebut tidak diucapkan oleh golongan mereka.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ نُؤْمِنُ بِمَآ أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرونَ بِمَا وَرَاءهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنبِيَاء اللّهِ مِن قَبْلُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 91)
Allah Ta’ala berfirman:
فَقَدْ كَذَّبُواْ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَسَوْفَ يَأْتِيهِمْ أَنبَاء مَا كَانُواْ بِهِ يَسْتَهْزِؤُونَ
“Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Quran) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-An’am: 5)
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُل لَّسْتُ عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ
“Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: “Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu.” (QS. Al-An’am: 66)
Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
“Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam keadaan kacau balau.” (QS. Qaf: 5)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa menolak kebenaran, di pihak manapun kebenaran itu berada merupakan tindakan kesombongan yang nyata. Di dalam sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain.” (HR. Muslim no. 131)
Menerima kebenaran dari siapapun merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan kami tunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. Al-Balad: 10)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Manusia dilahirkan secara fitrah untuk menerima kebenaran.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Syirkiyat wa ‘Aqa`id Shufiah (1/1), “Maka tidak ada seorangpun di antara kita kecuali Allah telah memberinya fitrah untuk menerima dan mencintai kebenaran.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Karena Allah Ta’ala telah menciptakan hamba-hambaNya dalam keadaan hanif (bertauhid) dan mereka difitrahkan untuk menerima dan lebih mendahulukan kebenaran.”
Karenanya orang yang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu diucapkan oleh selain ahlussunnah, maka sungguh dia telah melenceng dari fitrahnya yang lurus, wallahul musta’an.
Ucapan para ulama ahlussunnah dalam wajibnya menerima kebenaran dari selain ahlussunnah.
Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata:
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ كَافِراً – أَوْ قَالَ فَاجِراً –
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang kafir -atau beliau berkata: Orang fasik-.” (Riwayat Al-Baihaqi)
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Dan Allah memerintahkan kita untuk berlaku adil dan lurus. Karenanya, jika ada orang yahudi atau nashrani -apalagi hanya orang syiah rafidhah- yang mengucapkan kebenaran, maka kita tidak boleh meninggalkannya atau menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi yang kita tolak hanyalah yang mengandung kebatilan, bukannya yang mengandung kebenaran.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiah: 2/342)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Terimalah kebenaran dari setiap orang yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu benci. Dan tolaklah kebatilan dari siapa saja yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu sayangi.” (Madarij As-Salikin: 3/522)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata dalam sebuah artikel yang berudul Qubul Al-Haq, “Kalian sudah mengetahui -semoga Allah menjaga kalian- bahwa dakwah ahlussunnah tegak di atas kebenaran: Mencari kebenaran, mempelajarinya, menerimanya, berdakwah kepadanya, bersabar menapakinya, dan membuang yang menentangnya.” Beliau juga berkata, “Maka terimalah kebenaran secara mutlak, baik kebenaran itu mendukungmu maupun kebenaran itu menentangmu.” [Artikel selengkapnya bisa dibaca di: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=237449]
Harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran.
Maka harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran, dan antara menerima ilmu yang benar dengan menuntut ilmu yang benar. Pembedaan ini dari sisi bahwa menerima kebenaran dan ilmu yang benar itu dari siapa saja -walaupun dari selain ahlussunnah- berdasarkan semua dalil yang telah berlalu. Sementara mencari kebenaran dan menuntut ilmu yang benar harus hanya kepada para ulama ahlussunnah, tidak kepada selain mereka.
Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya dengan nash pertanyaan:
Apakah ucapan berikut ini benar? Dan tolong ditambahkan penjelasan tentangnya, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan, amin. Ucapan yang dimaksud adalah: Kebenaran diterima dari siapa saja yang mengucapkannya dan kebatilan ditolak dari siapa saja yang mengucapkannya. Karenanya jika seorang penganut bid’ah -bahkan walaupun itu setan- mengucapkan ucapan yang benar, maka kebenaran ini diterima dan disetujui darinya. Hal ini sebagai pengamalan dari firman Allah Ta’ala:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah:
Akan tetapi tidak boleh mengambil ilmu dan mencari kebenaran dari penganut bid’ah tersebut, sebagaimana yang sudah menjadi manhaj as-salaf ash-shaleh. Akan tetapi kebenaran hanya dicari dari para ulama yang beramal dengan kebenaran tersebut, yaitu para ulama ahlussunnah, bukan selain mereka.
Maka beliau menjawab:
Kaidah ini benar insya Allah. Kebenaran diterima dari siapapun yang membawanya, namun tidak semua orang mengucapkan kebenaran itu menjadi imam dalam kebenaran. Setan yang mengajari Abu Hurairah radhiallahu anhu ayat kursi, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentangnya,
“Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta.” Dan juga sang rahib yahudi yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“Wahai Abu Al-Qasim, sesungguhnya kami mendapati di dalam Taurat bahwa Allah mengangkat langit-langit di atas satu jari,” sampai akhir hadits. Mendengar hal itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bertasbih dengan membaca,
“Subhanallah, subhanallah,” seraya tertawa hingga nampak geraham beliau karena membenarkan ucapan sang rahib.” (Dhawabith fi Mu’amalah As-Sunni li Al-Bid’i, pertanyaan no. 6)
Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahullahu berkata, “Kebenaran diterima dari siapa saja yang datang membawanya walaupun dia adalah orang kafir. Sebagaimana diterimanya kebenaran dari setan, seperti yang tersebut dalam kisah yang masyhur antara Abu Hurairah bersama setan di dalam peristiwa penjagaan zakat fithri. Dimana setan datang mengambil (baca: hendak mencuri) namun Abu Hurairah menangkapnya. Kemudian dia datang lagi namun ditangkap lagi, kemudian dia datang lagi namun ditangkap lagi. Kemudian setan berkata kepadanya, “Maukah engkau aku tunjukkan sebuah ucapan yang apabila engkau mengucapkannya maka engkau akan menjadi aman atau kamu akan terjaga sepanjang malam? Bacalah ayat kursi setiap malam karena sesungguhnya engkau akan senantiasa pendapatkan penjagaan dari Allah sampai datangnya waktu pagi.” Kemudian Abu Hurairah mengabarkan hal ini kepada Nabi alaihishsholatu wassalam. Lalu Nabi alaihishsholatu wassalam bersabda: “Dia telah jujur padamu padahal dia adalah pendusta.” Beliau menerima pengajaran (setan) ini dan beliau mengambilnya padahal pengajaran ini berasal dari setan.” (Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982)
Menukil dari selain ahlussunnah bukanlah tazkiah (rekomendasi) terhadap mereka.
Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh hafizhahullah berkata, ”Dan hal ini termasuk manhaj yang bersifat umum dalam penegakkan hujjah dan penjelasan hujjah dalam semua bab-bab permasalahan agama. Yaitu bahwasanya tidaklah melazimkan seseorang yang menukil dari sebuah buku bahwa itu artinya dia mentazkiyahnya secara mutlak. Seseorang terkadang menukil darinya yang sesuai dengan kebenaran dalam rangka menyokong kebenaran, walaupun dia (penulis buku itu) menyelisihi kebenaran dalam masalah lainnya. Maka tidaklah tercela orang yang menukil dari buku yang mengandung kebenaran dan kebatilan, apabila yang dia nukil adalah bagian mengandung kebenaran. Lagipula, memperbanyak penukilan (sebuah kebenaran, pent.) dari orang-orang bersamaan dengan berbeda-bedanya mazhab dan pemikiran mereka, hal ini menunjukkan bahwa kebenaran (yang dinukil) itu bukanlah hal yang tersembunyi, namun kebenaran tersebut sudah banyak tersebar luas.” (Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982)
Kami juga pernah bertanya langsung kepada Asy-Syaikh Abdullah Mar’i tentang hukum membaca dan mengambil manfaat dari kitab yang ditulis oleh ulama yang dulunya ahlussunnah lalu belakangan dia menyimpang dari ahlussunnah, sementara kitab tersebut ditulis ketika dia masih berada dalam mazhab ahlussunnah.
Maka beliau hafizhahullah menyatakan bolehnya dengan catatan tetap mengingatkan (jika dia mengajarkan buku itu) bahwa penulisnya sekarang bukan lagi ahlussunnah. Maka ini juga menunjukkan kalau beliau membenarkan mengambil kebenaran yang ditulis oleh selain ahlussunnah.
Insya Allah inilah manhaj yang benar dan sikap yang inshaf serta adil dalam permasalahan ini, yaitu:
a. Wajib menerima kebenaran walaupun yang mengucapkannya adalah selain ahlussunnah.
b. Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah tidak sama seperti menuntut ilmu dari selain ahlussunnah. Yang pertama dibenarkan dan yang kedua dilarang.
c. Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah bukanlah bentuk dukungan dan rekomendasi terhadap selain ahlussunnah tersebut, akan tetapi ini merupakan penunaian hak dari kebenaran. Dimana hak kebenaran adalah dia harus diterima darimanapun datangnya.
Contoh amalan ulama dalam masalah ini:
Karenanya, kita mendapati para ulama ahlussunnah dari dahulu hingga belakangan, mereka tidak segan-segan untuk menukil ucapan selain ahlussunnah di dalam tulisan atau ucapan mereka, jika ucapan tersebut memang mengandung kebenaran. Berikut di antara contohnya:
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah mengumpulkan hal-hal yang baik dari kitab Ihya` Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali rahimahullah lalu menyusunnya menjadi kitab Minhaj Al-Qashidin. Dan para ulama menyatakan bahwa Al-Ghazali rahimahullah tidak pernah menulis karya apapun setelah dia bertaubat. Sementara status kitab Al-Ihya` ini saya rasa sudah cukup jelas di kalangan para penuntut ilmu, mengenai banyaknya kekeliruan dan kesalahan yang tersebut di dalamnya, dan kitab itu jelas ditulis oleh Al-Ghazali rahimahullah sebelum dia bertaubat. Maka amalan Ibnu Qudamah ini jelas menunjukkan bolehnya menukil kebenaran dari buku yang ditulis oleh selain ahlissunnah.
Di dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Asy-Syaikh Al-Mubarakfuri, beliau mengutip ucapan dari kitab Husain Haikal, Sayyid Quthub, dan selainnya.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah menukil ucapan Sayyid Quthb dan Umar At-Tilmisani dalam Manhaj Al-Anbiya` fi Ad-Da’wah ilalllah hal. 181-186, yang berisi anjuran keduanya kepada para politikus untuk memperhatikan akidah.
Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan hafizhahullah di dalam kitab Al-Ath’imah beberapa kali menukil ucapan Sayyid Quthb dari tafsir Fii Zhilal Al-Qur`an.
Dan masih banyak lagi contoh lainnya, insya Allah akan ditambahkan jika memang dirasa perlu untuk ditambahkan. Akan tetapi insya Allah contoh-contoh ini sudah mencukupi bagi orang yang berakal dan yang inshaf dalam berbuat. Wallahu a’lam bishshawab.
Sumber:
http://al-atsariyyah.com/menukil-kebenaran-dari-selain-ahlussunnah.html#more-3433